Gunungkidul- Lahirnya undang-undang desa no 06 tahun 2014 tentang desa. Mendorong kebijakan baru di level desa, hal ini menegaskan bahwa desa bukan hanya wilayah administratif semata melainkan sebagai sumber daya yang dapat membangun desa. Cara pandang ini memberi harapan dan peluang terhadap visi pembaharuan desa menuju perubahan yang jauh lebih besar dan lebih baik dari pada sebelumnya. Implementasi undang-undang ini mendorong partisipasi maysarakat dalam pembangunan yang dilaksanakan dengan menggunakan paradigma pemberdayaan baik perencanaan, maupun pelaksanaan pembangunan di desa. Pemberdayaan dalam hal ini tentunya juga melibatkan para perempuan untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan desa. Inilah yang menginisiasi Rifka Annisa untuk mengadakan pelatihan partisipasi perempuan dalam pembangunan desa 28 s.d 30 Juli 2017 lalu.
Pelatihan yang bertempat di Desa Pengok, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul ini bertujuan supaya peserta memahami implementasi undang-undang desa dan pentingnya partisipasi perempuan dalam pembangunan desa, memahami mekanisme perencanaan dan penganggaran desa, serta memahami pemetaaan desa secara partisipatif. Kegiatan yang diikuti oleh 23 peserta ini mengundang Tenti Novira Kurniawati dari Institute of Development and Economic Analysis (IDEA) sebagai fasilitator. Tenti mengawali sesi peltihan dengan menyampaikan materi terkait gender dan hak asasi perempuan. Dalam sesi ini peserta diajak untuk mengidentifikasi dan memetekan peran laki-laki dan perempuan di 4 ranah, yakni domestik, publik, reproduktif, produktif. Selain itu, peserta juga diajak untuk memetakan siapa yang paling dominan dan memiliki akes dan kontrol lebih atas sumber daya yang ada.
Sebagai gambaran praktek nyata bagi peserta, Rifka Annisa juga mengundang Nunik dari kelompok Mitra Sehati, Desa Nglipar. Dalam hal ini, Nunik berbagi cerita dan pengalamannya berpartisipasi dalam pembangunan desa, termasuk pengalamannya bisa terlibat dalam Koalisi Perempuan Indonesia. Selain itu di hari ketiga Pelatihan, Rifka Annisa mengundang Doni dari Indonesian Society for Social transformation (INSIST) untuk menjelaskan perencanaan pertisipasi perempuan dalam pembangunan desa, di mana social mapping menjadi dasar social planning. Dalam hal ini peserta cukup antusias, karena Doni berhasil membawakan cerita-cerita best practice dengan bahasa yang mudah difahami.
Kegiatan ini diakhiri dengan rencana tindak lanjut (RTL) terkait apa saja yang bisa dilakukan di wilayah masing-masing berdasarkan berbagai paparan narasumber maupun faslitator. Salah satu peserta, Eka Ariestya dari kelompok Setia Mitra Desa Wareng, mengungkapkan bahwa pelatihan ini memberikan banyak manfaat dan pengetahuan. Dia melihat masih banyak yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan dalam upaya pembangunan desa maupun pemberdayaan perempuan. []
Penulis : Vina Anggraini Relawan Magang
Editor : Khoirun Ni’mah
Gunungkidul- Pernikahan usia anak merupakan salah satu persoalan yang seringkali mengancam terpenuhinya hak-hak anak. Karena, ketika mereka harus menikah di usianya yang masih anak-anak, tentu mereka akan kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan, perlindungan, pengasuhan maupun hak-hak lain seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 yang telah diubah ke dalam UU PA Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Hal ini juga sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Khoirun Ni’mah, narasumber dari Rifka Annisa, dalam acara Road Show Pendewasaan Usia Perkawinan di Kecamatan Paliyan, kabupaten Gunungkidul, pada kamis 27 Juli 2017 lalu. Dia menjelaskan bahwa pernikahan usia anak seringkali dipicu oleh relasi yang tidak sehat antar remaja yang berujung pada kehamilan tidak dikehendaki. Acara yang dihadiri sekitar 60 orang ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi pernikahan usia anak yang masih cukup tinggi.
Hal yang serupa juga disampaikan oleh Retno, narasumber dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) Daerah Istimewa Yogyakarta. Retno mengatakan bahwa Kasus pernikahan dini di Gunungkidul ini seperti gunung es, di mana kasus yang tidak terlaporkan jauh lebih besar dan tidak kelihatan. Dia juga menambahkan bahwa sejak tahun 2014 kasus pernikahan dini telah mencapai 1728 kasus di Gunungkidul, dan di DIY sendiri jumlah ibu meninggal saat melahirkan sekitar 49 kasus karena ibu masih tergolong muda (remaja). Selain dampak pernikahan usia anak berkontribusi pada penurunan kualitas generasi selanjutnya, Retno juga menjelaskan bahwa remaja yang belum tumbuh secara sempurna dan masih mengalami proses perkembangan, maka secara fisik, mental, dan spiritual mereka masih belum siap untuk melahirkan dan melakukan pengasuhan.
Sementara itu, Sabit Mustamil selaku ketua Kantor Urusan Agama (KUA) Paliyan menyebutkan bahwa para remaja telah mendapatkan edukasi dan sosialisasi terkait pencegahan pernikahan usia anak baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Akan tetapi kasus pernikahan usia anak di kecamatan Paliyan masih tercatat 2 angka. Menurutnya, persoalan mendasar mendorong pernikahan usia anak adalah pola pengasuhan orang tua, budaya masyakat, dan faktor ekonomi. Selain itu, Sabit juga menjelaskan bahwa resiko pernikahan usia anak antara lain; remaja rentan stres dan tertekan, memiliki beban sosial, komitmen pasangan yang cenderung tidak dipenuhi, dan pembagian peran dalam rumah tangga yang tidak seimbang.
Melihat kondisi tersebut, Marwatahadi sebagai Camat Paliyan mengajak seluruh pihak dan elemn masyarakat untuk bersama-sama melakukan upaya pencegahan pernikahan usia anak di Kecamatan Paliyan. Kesepakatan ini dilanjutkan dengan penandatanganan Memorandum Of Understanding (MOU) oleh berbagai pihak yang hadir dalam acara sosialisasi tersebut di antaranya camat, para dukuh, KUA, kepala sekolah, PKK, polsek, Babinkamtibmas, remaja, dan lain sebagainya.[]
Penulis : Ana Widiawati adalah mahasiswa magang dari Hubungan Internasional Universitas Brawijaya.
Editor : Khoirun Ni'mah
Gunungkidul- Selasa & Rabu, 25 & 26 Juli 2017, Rifka Annisa menjadi pelaksana sekaligus fasilitator workshop untuk diskusi terkait UU Desa Nomor 6 Tahun 2014. Kegiatan yang berlangsung di Hotel Cikaraya Gunungkidul ini dihadiri oleh 20 peserta perwakilan dari Desa Jetis, Desa Kepek, dan Desa Ngalang. Kegiatan ini bertujuan supaya peserta mendapatkan penguatan mengenai pemetaan desa secara partisipatif dan tehnik membangun data desa, sebagai basis perencanaan desa.
Sesi hari pertama dimulai dengan pemaparan terkait peraturan-peraturan yang menjadi turunan dari UU Desa oleh Farhad dari Dinas Perlindungan, Perempuan dan Anak Kabupaten Gunungkidul. Dalam hal ini, Farhad memaparkan beberapa peraturan sebagai turunan dari UU Desa, seperti misalnya PP Nomor 43 Tahun 2014 yang diubah menjadi PP Nomor 47 Tahun 2015, kemudian PP Nomor 60 Tahun 2014 yang diubah menjadi PP Nomor 22 Tahun 2015 serta PP Nomor 8 Tahun 2016 terkait Dana Desa. Terkait banyaknya peraturan turunan ini, Farhad tetap menekankan lima pokok substansi UU Desa, yaitu rekognisi dan subsidiaritas, demokratisasi desa, modal sosial dan kreatifitas desa, keuangan desa, serta ekonomi kerakyatan.
Berbeda dengan hari pertama, tiga orang narasumber pada hari kedua menekankan pentingnya Sistem Informasi Desa untuk perencanaan desa partisipatif terutama terkait pentingnya kebutuhan kaum marjinal seperti perempuan, anak-anak, dan kelompok difabel. Topik ini disampaikan oleh Muhammad dari Indonesian Society for Social Transformation (INSIST), Agus Hermanto perakilan komunitas dari Desa Beji, dan Dina Mariana dari Institute for Research and Empowerment (IRE). Selanjutnya di akhir sesi, Direktur Rifka Annisa, Suharti, menyampaikan terkait cerita pengalaman Rifka Annisa dalam menjalanan berbagai program kegiatan yang diharapkan dapat membantu peningkatan partisipasi perempuan di level pemerintahan desa.
Dua hari berdiskusi mengenai UU Desa, para peserta tampak antusias, terutama ketika sesi materi terkait penerapan sistem informasi dan kesetaraan gender dalam pemerintahan tingkat terbawah. Diskusi yang cukup menarik di antara peserta dan faslitator telah mewarnai berlangsungnya kegiatan ini, meskipun masih terdapat beberapa perbedaan terkait pemahaman konseptual kesetaraan gender dengan pelaksanaannya terkait UU Desa yang seringkali terjadi di lapangan.
Penulis : Vina Anggraini relawan magang dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.
Editor : Khoirun Ni'mah
Gunungkidul- Sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, Rifka Annsia bekerjasama dengan berbagai pihak termasuk Pemerintah Desa. Salah satu desa di Gunungkidul yang menjadi mitra kerja Rifka Annisa adalah Desa Jetis, kecamatan Saptosari. Desa Jetis ini memiliki Forum Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (FPK2PA) yang cukup aktif. FPK2PA tersebut sudah terbentuk sejak November 2015 lalu bersamaan dengan deklarasi pencegahan pernikahan usia Anak di Kecamatan Saptosari. Mereka melakukan kerja-kerja untuk pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan melibatkan berbagai pihak di antaranya; pemerintah desa, PKK, Remaja, dan lain sebagainya.
Senin, 24 Juli 2017 lalu, Rifka Annisa diundang untuk menjadi narasumber dalam acara koordinasi dan pembentukan pengurus baru FPK2PA Desa Jetis. Dalam hal ini Nurmawati narasumber dari Rifka Annisa memaparkan tugas pokok dan fungsi dari kepengurusan FPK2PA. Acara yang berlangsung dari pukul 13.00 s.d 16.00 WIB ini bertujuan untuk mengevaluasi bentuk keberhasilan dan berbagai tantangan yang dialami oleh forum tersebut. Selain itu, tujuan dari pertemuan ini adalah untuk membentuk kepengurusan baru dan mendiskusikan kembali terkait kerja-kerja dari FPK2PA. Hal ini dilakukan karena melihat pentingnya sebuah forum yang menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak perlu ditingkatkan kualitasnya, bidang pelayanannya, terlebih dalam penambahan personil-personilnya. Peserta yang hadir dalam pertemuan ini kurang lebih sekitar 41 orang, di antaranya Ibu Lurah, Ketua FPK2PA, Sekretaris desa, Kesra, perwakilan dari lembaga Rifka Annisa dan anggota-anggota lainnya.
Pada awalnya, FPK2PA ini hanya terdiri dari dua bidang pelayanan saja, yaitu bidang pencegahan dan penanganan. Akan tetapi saat ini, bidang pelayanan FPK2PA bertambah, salah satunya bidang kesehatan dengan melibatkan warga desa yang berprofesi dalam bidang kesehatan, seperti bidan, perawat, apoteker dan sebagainya. Selain itu, pembentukan pengurus baru ini melibatkan tokoh agama dan para dukuh di Desa Jetis. Yatinah wakil ketua FPK2PA mengungkapkan bahwa selama ini kegiatan FPK2PA kurang semangat, tapi dengan adanya pengurus baru diharapkan forum menjadi lebih aktif dan juga Forum Anak Desa (FAD) bisa dihidupkan kembali. Yatinah juga menambahkan bahwa FAD dapat menjadi ruang-ruang berkegiatan positif bagi anak-anak dan remaja, sehingga mereka dapat menghindari kerentanan-kerentanan untuk menjadi korban maupun pelaku kekerasan. []
Penulis : Sarahtua Simanungkalit Relawan Magang dari Medan
Editor : Khoirun Ni'mah