Yogyakarta- Salah satu permasalahan yang juga sedang menjadi sorotan adalah masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Remaja yang masih dikategorikan sebagai anak, rentan menjadi korban kekerasan, karena posisinya yang dianggap lebih rendah di masyarakat. Selain itu, masa remaja merupakan masa perkembangan secara fisik dan psikologis, kadang belum begitu mengenal diri dan lingkungannya, sehingga mengakibatkan remaja rentan menjadi korban kekerasan, dan sekaligus rentan menjadi pelaku kekerasan.
Melihat potensi dan kerentanan pada remaja, tentu dibutuhkan kepedulian dari berbagai pihak agar remaja berdaya dalam menangkal pengaruh negatif. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kesadaran remaja akan pencegahan dan penanganan kekerasan. Kesadaran tersebut selanjutnya juga perlu dibarengi dengan meningkatkan jiwa kepemimpinan mereka agar konsep diri semakin kuat, memilki kepedulian, serta berani beraksi mencegah permasalahan yang menimpa remaja. Untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut, Rifka Annisa bekerjasama dengan Balai Pendidikan Menengah Kabupaten Gunungkidul untuk mengadakan pelatihan ‘Kepemimpinan untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak’ pada tanggal 28 s.d 30 Agustus 2017 lalu.
Kegiatan yang bertempat di Wisma Bukit Surya Kaliurang ini melibatkan 32 murid dari 4 Sekolah Menengah Kejuruan, yakni SMK N 1 wonosari, SMK N 1 Gedangsari, SMK N 1 Ngawen, dan SMK N 1 Saptosari. Pelatihan ini bertujuan untuk membentuk perspektif atau cara pandang baru pada remaja atas persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk meningkatkan jiwa kepemimpinan peserta didik dalam rangka pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hal ini didasari untuk dapat membentuk pendidik sebaya dalam rangka pencegahan kekerasan di sekolah.
Pada sesi pelatihan, peserta dibagi menjadi dua kelas, kelas laki-laki dan kelas perempuan. Setelah memasuki kelas, fasilitator mengajak peserta untuk memikirkan harapan terhadap pelatihan ini, serta membuat kontrak belajar bersama. Sesi berikutnya, baik di kelas laki-laki maupun perempuan, diajak untuk berdiskusi melalui permainan, tentang bagaimana mereka dibesarkan menjadi perempuan atau laki-laki. Setelah itu peserta diajak untuk memahami akar penyebab kekerasan dengan membuat pohon kekerasan. Selain itu mereka juga diajak menggali peristiwa kekerasan akibat konstruksi budaya yang ada di sekitarnya. Acara berikutnya, peserta diajak berdiskusi melalui film yang diputar. Kemudian, pada akhir sesi, peserta menjadi lebih terbuka dalam berbicara terkait kekerasan, dan menimbulkan rasa empati satu sama lain. Dalam sesi rencana tindak lanjut, beberapa peserta training berinisiatif untuk melakukan sosialisasi pada teman-teman di dalam organisasinya. []