Bagaimana Kekerasan Berbasis Gender terjadi pada Perempuan HIV/AIDS? Featured

Written by  Syaima Sabine F Jumat, 09 Desember 2022 11:06

HIV/AIDS dapat mengintai siapa saja. Adapun kelompok yang berisiko tertular adalah pengguna jarum suntik, petugas kesehatan yang terpapar darah penderita, penerima donor darah tanpa screening, bayi yang tertular dari ibu, dan pasangan yang melakukan hubungan seksual dengan tidak aman.

HIV sendiri merupakan kependekan dari Human Immunodeficiency Virus. Ini adalah virus yang menginfeksi sel darah putih dan merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga rentan diserang berbagai penyakit. Sedangkan AIDS yang merupakan kependekan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV. Dengan kata lain, HIV yang tidak segera ditangani dapat berkembang menjadi stadium akhir, yang disebut dengan AIDS tersebut. Ini adalah kondisi di mana kemampuan tubuh untuk melawan infeksi hilang sepenuhnya.

Kementerian Kesehatan RI menerangkan bahwa orang dengan HIV/AIDS (ODHA) memerlukan pengobatan dengan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh agar tidak masuk ke dalam stadium AIDS, ODHA membutuhkan pengobatan ARV untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengemukakan bahwa HIV ini dapat ditularkan melalui pertukaran berbagai cairan tubuh dari orang yang terinfeksi. Seperti darah, ASI (Air Susu Ibu), sperma, dan cairan vagina. HIV juga dapat ditularkan dari seorang ibu ke anaknya selama kehamilan dan persalinan. Di samping itu, orang tidak dapat terinfeksi melalui kontak sehari-hari. Seperti mencium, berpelukan, berjabat tangan, dan berbagi benda pribadi, makanan, atau air.

Di Indonesia sendiri, sesuai catatan Kementerian Kesehatan RI, jumlah kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan Maret 2021 cenderung meningkat setiap tahun. Jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Maret 2021 sebanyak 131.147 orang. Sedangkan untuk kasus HIV, tercatat sejumlah 427.201 orang.

Adapun dari sekian banyak kasus, ditinjau dari aspek gender, kasus HIV/AIDS menimbulkan dampak yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan jumlah kasusnya, menurut Kementerian Kesehatan, kasus HIV maupun AIDS lebih banyak terjadi pada laki-laki. Persentase kasus HIV pada laki-laki adalah sebesar 62% dan perempuan sejumlah 38%. Sementara pada kasus AIDS, persentasenya pada laki-laki adalah sebanyak 59% dan perempuan 33%, di mana 8% sisanya tidak melaporkan keterangan jenis kelamin.

Fenomena demikian antara lain didorong karena adanya norma patriarkis di masyarakat yang memberi ruang pada laki-laki untuk berperilaku seksual secara lebih terbuka daripada perempuan. Terdapat perbedaan respons lingkungan terhadap laki-laki dan perempuan yang aktif dan terbuka secara seksual. Masyarakat patriarkis yang melekatkan nilai maskulinitas beserta sifat dominan dan agresif pada laki-laki, cenderung mewajarkan perilaku seksual yang terbuka. Namun, sebaliknya pada perempuan. Ketimpangan gender yang dikonstruksi budaya patriarki membuat laki-laki tidak perlu berkomunikasi dengan perempuan sebagai pasangan seksualnya. Maka, perempuan dimungkinkan tidak berdaya untuk melakukan komunikasi seksual, termasuk negosiasi menggunakan kondom dalam hubungan seksual. Apalagi bila perempuan merasa tergantung penuh kondisi ekonominya pada pasangannya, maka ia semakin berada dalam posisi lemah.

Pada gilirannya, kondisi tersebut memicu terjadinya kasus HIV/AIDS pada perempuan yang disebabkan karena adanya penularan dari laki-laki, lebih spesifik yang terdapat pada relasi hubungan pernikahan. Ditinjau dari segi usia, hal ini selaras dengan data Kementerian Kesehatan yang menunjukkan bahwa baik pada HIV maupun AIDS, kasus dengan persentase tertinggi terjadi pada usia legal perkawinan yang umum di Indonesia. Pada kasus HIV, persentase infeksi tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (70,7%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (15,7%), dan kelompok umur ≥ 50 tahun (7,1%). Sedangkan pada kasus AIDS, persentase infeksi tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun (31,9%), diikuti kelompok umur 30-39 tahun (31,3%), 40-49 tahun (14,2%), dan 50-59 tahun (5,5%).

Situasi demikian diperjelas dengan data yang dihimpun Kemenkes RI sejak tahun 1987 hingga 2021, bahwa ibu rumah tangga merupakan kelompok individu dengan angka AIDS tertinggi kedua (18.848 jiwa), setelah kelompok tenaga non profesional/karyawan (21.249 jiwa). Terkhusus pada perempuan, kondisi HIV/AIDS menimbulkan dampak tersendiri, terlebih lantaran selama ini tindakan mengkotak-kotakkan ODHA berdasarkan jenis pekerjaan atau perilaku tertentu masih umum terjadi, sebagaimana dilaporkan oleh Tirto.id (2020). Lingkungan masyarakat masih melekatkan status HIV/AIDS pada kelompok tertentu, yakni kelompok pekerja seks komersial (PSK), kelompok LGBT, dan pengguna narkoba suntik.

Pengelompokkan tersebut tidak menjadi problem selama hanya untuk kebutuhan data/statistik. Persoalan muncul ketika hanya kelompok tertentu saja yang diprioritaskan mengikuti program-program terkait HIV/AIDS, di samping realitas bahwasanya HIV/AIDS bisa mengintai siapa saja, termasuk perempuan ibu rumah tangga. Lebih lanjut, Manajer Advokasi Lentera Anak Pelangi—sebuah program pendampingan anak yang terdampak HIV dan AIDS di DKI Jakarta—Natasya Sitorus mempertegas, pengkotak-kotakan tersebut turut berkontribusi terhadap penularan infeksi kepada ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga yang tidak diprioritaskan dalam program pencegahan/penanggulangan HIV menyebabkan terbatasnya pengetahuan mereka mengenai penyakit ini. Kelompok perempuan ibu rumah tangga dan juga pelanggan PSK tidak menjadi target sasaran program.

Adapun posisi perempuan terbilang rentan mengalami kekerasan dalam kondisi ini. Status positif HIV/AIDS meningkatkan kerentanan perempuan dan berpotensi mengalami kerentanan berlapis. Kerentanan berlapis ini bisa disebabkan karena identitas perempuan, hidup dalam kemiskinan, dan stigma bahwa perempuan dengan HIV/AIDS (PDHA) sering dikaitkan dengan moralitas, misalnya dianggap suka berganti-ganti pasangan dalam hubungan seksual. Studi Secretariat of State for The Support and Socio-Economic Promotion of Women 2015-2017 memperlihatkan bahwa kerentanan mereka 4 kali lipat terhadap kekerasan seksual dan 6 kali lipat rentan terhadap kekerasan fisik saat hamil (Catahu Komnas Perempuan, 2021). 

Komnas Perempuan juga mencatat bahwa dalam kurun waktu 2017-2021, ada 229 kasus kekerasan terhadap PDHA, di mana 89%-nya mengalami lebih dari 1 bentuk kekerasan. Sementara 97% PDHA melaporkan kekerasan psikis, dalam bentuk stigma dan pengucilan, juga 12 kasus pengusiran dan 88% mengalami kekerasan seksual. PDHA juga melaporkan kekerasan fisik yang dialami dalam bentuk penganiayaan. Selain itu, mereka juga mengalami kekerasan ekonomi, misalnya ditinggalkan dan ditelantarkan oleh pasangan. Pelaku terjadinya kekerasan tersebut adalah anggota keluarga sebanyak 93% dengan mayoritas pelaku adalah suami (86%). Hasil studi lain, yakni QoC & Gender-Based Violence (2022) yang disampaikan Jaringan Indonesia Positif  juga menemukan sebanyak 32% dari 247 perempuan dengan HIV di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat pernah mengalami kekerasan dari pasangan. Namun, kasus kekerasan yang dialami sebagian besar selesai dengan cara kekeluargaan atau mediasi. 

Dalam posisi ini, perempuan menjadi demikian lemah karena perempuan yang terinfeksi HIV mengalami pelanggaran hak asasi baik dalam kesehatan, terutama untuk mengakses pelayanan kesehatan yang lebih baik, akses terhadap pendidikan dan informasi, serta kemandirian ekonomi. Adapun pelanggaran terhadap hak untuk memperoleh pengetahuan berhubungan langsung dengan asumsi kultural mengenai siapa yang terbaik dalam menentukan pertimbangan (Kristianto, 2021). Bagaimanapun, kurangnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan bisa makin memperburuk kualitas kehidupannya. Sehingga, publik juga perlu menempatkan kerentanan perempuan terhadap HIV dalam konteks posisi strukturalnya dalam masyarakat. 

Maka, pemberdayaan PDHA perlu berfokus pada peningkatan akses informasi, ketrampilan, pelayanan teknologi, dan membangun partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan di segala aspek. Lebih lanjut, penelitian oleh Paulus Eko Kristianto dalam "Biarkanlah Perempuan dengan HIV/AIDS Berbicara! Teologi Interkultural Feminis Poskolonial dalam Ketidakadilan Gender" menemukan bahwa pemberdayaan ini perlu dilakukan untuk membangun citra diri yang positif dan percaya diri, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, membangun perpaduan kelompok, berani mengambil keputusan dan melaksanakannya. Dengan kata lain, pemberdayaan diharapkan membuat mereka berani mengambil kendali atas kehidupan mereka, melakukan suatu perubahan, dan mendefinisikan agendanya sendiri. Artinya, pendekatan penanggulangan HIV tidak bisa dipisahkan dari peningkatan kapasitas perempuan dalam perlindungan hak-haknya. Pendekatan yang bersifat mengotal-kotakkan juga harus ditinggalkan untuk melihat posisi perempuan dan laki-laki secara holistik.



Sumber Referensi

Artikel Jurnal Khazanah Teologia  Vol. 3 No. 3: 147-160 “Biarkanlah Perempuan dengan HIV/AIDS Berbicara! Teologi Interkultural Feminis Poskolonial dalam Ketidakadilan Gender” oleh Paulus Eko Kristianto (2021)

Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2021 “Bayang-Bayang Stagnasi: Daya Pencegahan dan Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah, Ragam dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan” oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2022)

Infodatin: Pusat Data dan Informasi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (2020)

Laporan Perkembangan HIV AIDS & Penyakit lnfeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan I Tahun 2021 oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (2021)

Read 7703 times Last modified on Jumat, 28 Juli 2023 22:40
46775453
Today
This Week
This Month
Last Month
All
10110
10110
283820
343878
46775453