Minggu, 24 Jun 2018 13:35

Biasanya kita membayangkan kekerasan adalah sebentuk pemukulan atau penganiayaan. Bagaimana dengan umpatan, hinaan, ataupun sikap merendahkan? Apalagi jika itu dilakukan seorang yang kita cintai, kekasih atau pacar kita. Pacar yang hanya ingin kita menjadi boneka-nya?

Kasus:

"Saya Uli, mahasiswa semester IV sebuah PTN di Jawa Barat. Saya ingin menyampaikan persoalan kakak saya, mahasiswa di kampus yang sama dengan saya.

Kakak saya berpacaran dengan dosen muda. Rasa tertarik itu karena dosen tersebut cerdas, akrab dengan mahasiswa, dan terkenal sebagai aktivis demokrasi. Ternyata dalam proses pacaran, kakak saya diperlakukan tak lebih sebagai budak, pemanis. Maaf kalau kata-kata saya kasar. Kakak saya dipaksa berdandan mencolok dan berpakaian sangat seksi dengan alasan biar orang tahu pacar dosen tersebut cantik dan seksi. Saat sedang berkumpul dengan teman-temannya, kakak saya disuruh menunggui, tetapi tidak boleh ikut dalam diskusi dan mesti duduk manis. Persis seperti Barbie.

Pernah suatu ketika kakak saya protes dan nekat ikut dalam obrolan itu. Pak dosen mukanya ditekuk sepanjang acara dan saat pulang, kakak saya dicaci. Sering kakak direndahkan sebagai cewek enggak bermutu, cuma modal cantik tetapi otak bego, seperti tong kosong, dan sebagainya. Yang keterlaluan adalah pernyataannya bahwa kakak saya mendapat nilai bagus karena berpacaran dengan dosen itu. Padahal, saya tahu pasti sejak SD hingga SMA nilai kakak saya selalu bagus.

Saya makin kesal saat melihat kakak saya hanya diam. Ketika saya minta melawan, malah dia menangis. Kakak jadi seperti orang lain, berubah pendiam, sensitif, dan gampang menangis. Hari-hari hanya diisi kuliah dan pergi bersama dosen itu. Dia seperti kehilangan kepercayaan diri. Apa yang harus saya lakukan? Terima kasih."

(Uli,Bandung)

Jawaban:

  • Dear Uli, dari ceritamu kami menyimpulkan, kakakmu terjebak dalam hubungan cinta (pacaran) yang diwarnai kekerasan psikologis.

Kami yakin kakakmu merasakan ketidaknyamanan, tetapi karena sifat kekerasan psikologis laten atau tidak tampak, maka terasa relatif sulit mengidentifikasi secara gamblang hubungan itu tidak sehat. Hal itu membuat kekerasan psikologis berbahaya karena perlahan tetapi pasti merusak kondisi psikologis sasarannya, seperti yang kamu lihat pada kakakmu.

Bahwa kejadian itu berlangsung terus, memang demikian dinamikanya, yaitu kekerasan dalam hubungan cinta bersiklus. Jadi, apabila siklus kekerasan tidak diputuskan, bukan tidak mungkin akibatnya semakin parah. Kami tidak bermaksud menakutimu, tetapi fakta menunjukkan banyak korban kekerasan psikologis berakhir penderitaannya di rumah sakit jiwa atau meninggal dunia.

Hubungan kakakmu dengan sang dosen adalah salah satu bentuk relasi tidak sehat. Tandanya, tidak ada penghargaan, ketakutan, kecemburuan, dan sifat posesif (mengekang). Pelaku menggunakan hal-hal itu untuk menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan. Pada titik inilah terjadi kekerasan emosional yang menurut Pamela Brewer, MSW, PhD adalah keadaan emosi yang sengaja dibuat untuk mengendalikan pasangan. Paling tidak, ada tiga elemen yang biasanya terjadi. Pertama, tekanan yang bentuknya mulai dari banyak mengkritik, berkata kasar, teriak-teriak, intimidasi, hingga cemoohan. Kedua, kekerasan berupa penyerangan baik secara fisik dan seksual. Ketiga, rayuan berupa permintaan maaf berulang serta janji tak mengulangi.

Pelaku biasanya menyalahkan korban sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas banyak hal dalam hubungan itu. Jika terjadi pertengkaran dan kemudian pelaku menghina serta merendahkan korban, biasanya pelaku akan menyalahkan korban atas pertengkaran itu dan kemudian mengatakan korbanlah yang menstimulasi pelaku melakukan (penghinaan) itu. Akibatnya, korban melihat dirinya sebagai orang pertama yang mesti bertanggung jawab atas pertengkaran dan penghinaan pacarnya, walaupun jelas bukan korban penyebabnya.

Dengan demikian, mereka akan terus menyalahkan dirinya dan semakin tergantung secara psikologis kepada pasangannya. Situasi ini membuat seseorang merasa tidak berdaya jika tidak bersama pasangannya. Maka, seperti kakak Uli, meski dia merasa sakit dihina terus dan menyadari lambat laun kehilangan dirinya, tetapi sulit putus dari pacarnya karena dikondisikan pelaku untuk tergantung secara psikologis.

Tentang pelaku, tidak jarang mereka memang berpenampilan charming, punya kedudukan, dan dihormati di komunitasnya. Dengan demikian, memutus lingkar kekerasan adalah jalan satu-satunya. Pertama, menyadarkan kakak Uli atas situasi ini. Jika dibutuhkan, minta bantuan psikolog untuk bersama-sama mengajak kakak melihat dirinya secara gamblang. Atau minta bantuan women’s crisis center di tempat Uli tinggal. Uli juga perlu minta bantuan anggota keluarga lain untuk mendukung langkah terbaik bagi kakak karena akan sangat membantu proses ini. Intinya, bantu kakak Uli dengan membangun sistem yang memberi dukungan bagi upaya memutus lingkaran kekerasan ini.

Yang mesti dihindari, jangan menyalahkan dan memaksa korban membuat keputusan yang bukan dari kesadaran dirinya karena hanya akan membuat korban semakin terpuruk.

Kompas, 27 Agustus 2005

Kamis, 30 April 2015 14:50

Cita Kartini terhadap kaumnya adalah kemerdekaan. Kaum perempuan yang merdeka, kaum perempuan yang dapat menentukan sendiri pilihan-pilihan dalam hidupnya tanpa adanya paksaan atau ketakutan.

Kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia adalah ketika didengungkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, hingga 2015 ini ternyata belum sepenuhnya perempuan Indonesia merdeka. Sumber data Rifka Annisa WCC menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2014, ada 21 (dua puluh satu) perempuan yang mengalami kekerasan dalam pacaran, perempuan yang belum bebas dari kekerasan.

Kekerasan dalam pacaran adalah fenomena kekerasan terhadap perempuan yang sangat memprihatinkan. Fakta kekerasan dalam pacaran menunjukkan bahwa ternyata perempuan rentan terhadap kekerasan bukan hanya dalam lingkup keluarga, namun dalam hubungan pacaran. Hubungan pacaran yang seyogyanya bertujuan untuk mengenal secara lebih dekat antara laki-laki dan perempuan sebelum memasuki hubungan pernikahan, ternyata malah menjadi arena konflik yang berujung pada tindakan kekerasan.

Bercermin pada pendampingan klien Rifka Annisa yang mengalami kekerasan dalam pacaran, tidak jarang ditemui klien yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akibat pemaksaan hubungan seksual oleh pacar. Bermula dari kekerasan seksual ini, klien kemudian dinikahkan dengan pacar. Klien berharap akan ada perubahan perilaku dari pacar setelah menikah, namun ternyata tidak. Setelah menikah bukan hanya kekerasan seksual, namun juga kekerasan fisik dan juga psikis. Itulah mengapa penting bagi perempuan untuk mengenali apa itu kekerasan dalam pacaran. Setelah mengenali apa itu kekerasan dalam pacaran, sebagai perempuan yang merdeka, tentunya kita dapat membebaskan diri dan sahabat-sahabat kita dari kekerasan tersebut.

Awal dari kekerasan dalam pacaran adalah perasaan tidak nyaman. Apabila perempuan sudah merasa tidak nyaman dalam suatu hubungan, maka sampaikanlah. Jangan pernah menduga atau merasa orang lain akan tahu apa yang membuat kita merasa tidak nyaman tanpa menyampaikan hal tersebut. Itulah mengapa komunikasi asertif sangat penting dalam suatu hubungan.

Dampak dari kekerasan dalam pacaran bagi perempuan sangat kompleks, terutama pada kasus kehamilan tidak diinginkan. Berbeda dengan laki-laki yang tidak mengalami kehamilan, perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan bukan hanya gelisah karena hamil, namun juga perasaan malu dan kekhawatiran menjadi orangtua tunggal pada saat ia tidak siap.

Belum lagi ditambah dengan fakta yang menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan sebagai akibat kekerasan dalam pacaran ketika dilakukan penyelidikan oleh kepolisian, ternyata tidak terbukti ada kekerasan. Temuan polisi karena hubungan tersebut didasari pada rasa suka sama suka. Padahal, tidak ada kesetaraan dalam hubungan. Apalagi jika disertai ingkar janji dari salah satu pihak yang kemudian merugikan pihak lain.

Belajar dari fakta tersebut, penting bagi perempuan untuk bersikap kritis. Penting juga bagi perempuan untuk mempunyai kemerdekaan pemikiran bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan kesetaraan. Hubungan sebagai partner yang setara, bukan relasi subordinasi antara yang dominan dan yang patuh.

Ketika pacar berperilaku kekerasan dan tidak menunjukkan perubahan perilaku; suka mengancam untuk bunuh diri atau menyebarkan berita kita secara tidak baik, maka berpikirlah ulang tentang hubungan tersebut. Tentunya sebagai perempuan merdeka sebagaimana cita-cita Kartini, kekerasan apapun terhadap perempuan tidak dapat ditolerir. Perempuan yang merdeka harus dapat mengatakan stop terhadap segala macam bentuk kekerasan terhadap dirinya atau terhadap orang lain. Sudah saatnya perempuan bangkit dari relasi tidak setara atas nama cinta atau pun janji manis. Karena pada dasarnya, di balik perempuan yang kuat adalah dirinya sendiri. Diri yang merdeka, yang berani menentukan hidupnya sendiri tanpa rasa takut dan paksaan. (*)

*) Penulis adalah relawan di Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Dapat dihubungi melalui email Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya..

 

44071012
Today
This Week
This Month
Last Month
All
2348
32293
135133
276576
44071012