Pada tanggal 14-16 Maret 2017, Rifka Annisa menyelenggarakan pelatihan “Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak bagi Pendidik Sebaya” yang berlokasi di Omah nDeso, Desa Bleberan, Kabupaten Gunung Kidul. Peserta kegiatan ini berjumlah 32 orang siswa dan siswi kelas X yang berasal dari empat sekolah, yaitu SMKN 1 Wonosari, SMKN 1 Gedangsari, SMKN 1 Ngawen dan SMKN 1 Saptosari. Selama kegiatan ini berlangsung, para peserta pelatihan juga diberikan kesempatan untuk menginap di rumah penduduk sekitar sehingga memberikan pengalaman dan pembelajaran baru bagi mereka.
Pelatihan ini memiliki beberapa tujuan diantaranya meningkatkan pemahaman peserta tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, meningkatkan kemampuan peserta dalam melakukan fasilitasi di kalangan teman sebayanya, serta meningkatkan pemahaman dan keterampilan peserta dalam merancang kegiatan sosialisasi dan kampanye dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak di kalangan teman sebayanya.
Kegiatan pelatihan ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak di Kabupaten Gunung Kidul. Hal ini dibuktikan dengan sambutan baik yang disampaikan Kepala Desa Bleberan, Supraptono, pada saat acara pembukaan pelatihan. Beliau menyampaikan apreasiasi yang tinggi terhadap Rifka Annisa atas inisiatifnya menyelenggarakan kegiatan ini. Acara ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Kabupaten Gunung Kidul secara umum, khususnya dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tak lupa, beliau juga memberikan pesan dan motivasi bagi peserta pelatihan agar mengikuti pelatihan dengan maksimal. Selain dari Kepala Desa Bleberan, sambutan lain juga diberikan oleh perwakilan dari Rifka Annisa dan FPK2PA yang dalam sambutannya menyampaikan apresiasi dan dukungan atas terselenggaranya kegiatan ini.
Dalam kegiatan pelatihan ini, para peserta dibagi menjadi dua kelas yaitu kelas perempuan dan kelas laki-laki. Pemisahan kelas ini dilakukan karena materi yang disampaikan untuk laki-laki dan perempuan agak berbeda. Selain itu, faktor kenyamanan juga menjadi salah satu aspek penting mengapa kelas laki-laki dan perempuan dipisah mengingat isu kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah isu yang sensitif. Meksipun materi yang disampaikan sama-sama tentang isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, namun pendekatan yang digunakan di tiap kelas berbeda mengingat masalah dan pengalaman yang dialami laki-laki dan perempuan berbeda.
Selama kegiatan ini berlangsung, para peserta terlihat begitu antusias dalam menjalani tiap sesi pelatihan. Hal ini tidak terlepas dari bantuan para fasilitator dari Rifka Annnisa yang berusaha memandu tiap sesi pelatihan dengan menarik dan menyenangkan, misalnya dengan menggunakan fasilitas video dan musik, bahkan bermain game bersama. Tak hanya itu, para peserta juga diajak untuk berefleksi tentang pengalaman dan lingkungan sekitarnya sehingga mereka menjadi lebih peka terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Untuk menyiapkan mereka menjadi pendidik sebaya, para peserta pelatihan juga dibekali informasi tentang metode komunikasi efektif yang diharapkan dapat membantu mereka dalam merespon masalah-masalah yang diceritakan teman-teman sebayanya.
Secara umum, para peserta memberikan respon dan apresiasi positif selama kegiatan pelatihan ini berlangsung. Harapannya, pelatihan ini dapat membekali diri mereka untuk menjadi pendidik sebaya yang baik dan mampu memberikan informasi yang tepat bagi teman-teman sebayanya. Semoga dengan adanya kelompok pendidik sebaya ini dapat membantu upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya di Kabupaten Gunung Kidul. []
Yogyakarta (24/2) – Rifka Annisa mendapat kunjungan singkat dari mahasiswa yang tergabung dalam ACICIS (Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies) sebanyak 16 orang. Kegiatan Kunjungan ini berupa diskusi umum yang dipandu oleh Defirentia One selaku Manager Humas dan Media Rifka Annisa. Diskusi yang berlangsung selama 2 jam ini membahas terkait profil Rifka Annisa mulai dari Sejarah Pendirian, visi misi Program-program, hingga kesempatan melakukan Magang dan Penelitian bagi para Mahasiswa.
Dian Marin Purnama, selaku ketua Divisi Development Studies Immersion ACICIS sekaligus pendamping kunjungan menjelaskan bahwa ACICIS (Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies) merupakan non-profit consortium di Yogyakarta yang beranggotakan 24 universitas di negara Australia, Selandia Baru, Inggris dan Belanda yang memfasilitasi mahasiswa asing, terutama universitas yang menjadi anggota konsorsium, untuk menjalani studi selama satu atau dua semester di instansi pendidikan Indonesia. Tujuan malakukan kegiatan ke rifka Annisa adalah untuk Memperkenalkan kepada Mahasiswa Asing terkait dengan isi-isu yang ada di indonesia. Salah Satunya adalah Isu mengenai Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan dan anak yang saat ini masih dihadapi oleh Rifka Annisa.
“Diskusi ini sangat menarik, membuatku mengetahui lebih dalam Rifka Annisa dan aku mendapatkan pengetahuan baru, Aku juga berniat untuk melakukan Magang disini, setelah menyelesaikan proposalku.” ujar Mira, salah satu peserta diskusi.
Hari perempuan Internasional adalah hari yang diperingati untuk merayakan perjuangan kaum perempuan. Memperingati hari perempuan merupakan salah satu bentuk penghargaan bagi sejarah perjuangan perempuan. Kemajuan dunia saat ini yang terlihat begitu pesatnya tidak lepas dari berbagai peran perempuan didalamnya. Banyak kita ketahui adanya pergeseran yang ditunjukkan dengan adanya kemajuan perempuan dalam berbagai aspek. Namun, kemajuan perempuan tersebut berbanding terbalik dengan banyaknya kasus kekerasan pada perempuan yang terjadi. Setiap tahun di Indonesia kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, berdasarkan catatan komisi Nasional Perempuan yang dirilis tahun 2017 menyebutkan bahwa terdapat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan selama tahun 2016. Hal tersebut menunjukkan tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan belum menjadi perhatian penuh oleh berbagai pihak.
Kemudian ada pun peristiwa lainnya yang terjadi pada 8 Maret 1857 yang kemudian diperingati sebagai hari perempuan sedunia di New York City. Kala itu, kaum perempuan dari pabrik pakaian tekstil mengadakan protes karena apa yang mereka merasakan kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Para pengunjuk rasa kemudian diserang dan dibubarkan oleh polisi. Kaum perempuan ini kemudian membentuk serikat buruh pada bulan yang sama dua tahun setelah peristiwa tersebut. Di tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja inilah gagasan perayaan International Women’s Day ini tercetuskan.
Namun, sekitar tahun 1910 dan 1920-an, peryaan ini sempat menghilang tanpa alasan yang jelas. Perayaan ini dihidupkan kembali dengan bangkitnya feminisme pada tahun 1960-an. Lalu, pada tahun 1975, PBB mulai mensponsori peringatan Hari Perempuan Sedunia. Seiring berjalannya waktu, peringatan ini semakin menggema karena semakin banyak perempuan-perempuan yang merayakannya. Para perempuan di masing-masing negara mengadakan berbagai acara yang diharapkan dapat memotivasi para perempuan untuk lebih mengembangkan dirinya sesuai dengan bidang yang diminatinya. Di Yogyakarta sendiri masih banyak pembangunan yang dilakukan namun selalu mengacu kepada pembangunan fisik dan infrastruktur, namun pembangunan dari sisi mental dirasa masih sangat kurang terutama dalam pembangunan dan kebijakan yang adil gender. Pada 8 Maret 2017 lalu telah dilaksanakan momentum perayaan hari perempuan sedunia. Salah satunya bertempat di titik nol kilometer Yogyakarta. Acara diawali dengan tarian adaptasi “Jampi Gugat” yang di tarikan oleh perempuan-perempuan yang tengah berkumpul disana. Kegiatan tersebut berlangsung meriah, terlihat para perempuan menunjukkan ekspresi keceriaan mereka.
Salah satu peserta yaitu ibu sopiyah yang berprofesi sebagai buruh gendong di Giwangan, beliau menyebutkan bahwa aksi ini dapat menambah semangat untuk mencari pengakuan dari masyarakat dan perempuan mendapat tempat yang sejajar dengan laki-laki. para peserta yang mengikuti aksi ini tidak hanya perempuan, banyak juga laki-laki yang mengikuti seperti bapak Ahmad asal makasar yang menyebutkan sangat senang dengan acara ini karena beliau dapat melihat kesadaran perempuan akan pentingnya kedudukan perempuan dalam kehidupan. Dalam aksi tersebut terdapat beberapa kegiatan diantaranya penulisan surat 1000 bangau yang diisi oleh peserta para perempuan tentang apa yang diinginkan untuk kemajuan perempuan, dilanjutkan dengan beberapa penampilan mulai dari nyanyian hingga musikalisasi puisi yang bertemakan pembelaan terhadap perempuan. []
Tiada henti, badai derita menimpa rumah tanggaku hingga aku jungkir balik menyelesaikannya. Aku menikah dengannya pada tahun 2001. Sejak awal menikah, suamiku adalah seorang pecandu narkoba. Namun aku tetap mencintainya walau ia sempat masuk jeruji besi.
Selepas ia keluar dari penjara, ia sudah tidak menafkahiku dan anak-anaknya secara layak sehingga aku nekad berdagang. Bahkan ia membatasiku dalam bergaul terutama setelah aku mempunyai handphone Android. Ia selalu cemburu padaku karena aku telah memiliki akun facebook dan aku suka aktif like-comment status fb teman-temanku. Dan suamiku menuduhku berselingkuh dengan teman-teman lamaku.
Aku selalu berusaha coba jelaskan fakta sesungguhnya pada suami. Tapi ia tetap tidak percaya. Tiba-tiba, ia mau memaafkanku asal aku mau tidur bersamanya. Memang sudah kewajibanku untuk melayani suami dalam segala hal sepanjang itu adalah baik. Namun, dua hari setelah aku tidur bersamanya tiba-tiba keponakanku dari Jakarta mengirim pesan via WA kepadaku dan menyuruhku untuk melihat facebook suamiku. “Astaga”, aku shok. Aku tak percaya. Aku tak menyangka akan perbuatan suamiku itu. Aku lihat ada beberapa foto telanjangku di facebook-nya yang ia lengkapi dengan kata-kata “tante-tante pelacur dan penipu”. Aku gak bisa bayangin berapa ribu orang yang melihat foto tersebut termasuk keluarga besarku.
Tak hanya di akun fb, bahkan ada nomor tak dikenal yang masuk ke WA-ku dan mengecamku sebagai perempuan tak punya malu. Aku tak mau orang lain berpikir miring tentang aku. Aku pun jelaskan semua itu pada mereka karena aku tak mau hal itu berlanjut. Aku kembali berdialog dengan suamiku di fb dan aku share foto keluargaku di akun fb suamiku. Harapanku, semoga orang lain yang melihat foto-foto itu tahu bahwa aku adalah istri suamiku.
Masalah baru pun datang. Anakku memarahiku karena ada wajahnya di foto keluarga itu. Keluarga besarku semua pun menelponku dan menanyakan apa yang terjadi. Aku sampaikan bahwa aku ingin berpisah dengan suami dan aku ingin melaporkannya ke polisi. Namun, bercerai bukan solusi utama untuk menyelesaikan masalah ini karena pernikahan kami tidak dicatatkan di kantor catatan sipil dan kami hanya menikah di gereja. Aku pun memilih melaporkannya ke POLDA DIY dengan alasan pencemaran nama baik atas cyber crime. Sementara itu, kakak iparku terus menerus membujukku untuk mencabut laporan tersebut. Dan akhirnya, aku pun mencabut laporan itu demi anak dan keluarga. * Sebagaimana diceritakan kepada Purnawati, Relawan Divisi Pendampigan Rifka Annisa.
Dari cerita tersebut kita dapat pembelajaran bahwa kekerasan itu seperti siklus yang berputar. Dan kekerasan ini akan terjadi secara terus menerus ketika siklus atau rantai kekerasan tersebut tidak diputus. []