Jumat, 09 Jun 2017 12:45

Saya masih ingat betul pagi itu. Saya mendatangi rumah Suwar dan Mei dan mendapat sambutan yang ramah. Saya sampaikan kepada mereka bahwa saya dari Rifka Annisa. Saya mendapat rekomendasi dari pak dukuh Garang untuk mengajak Suwar dan Mei terlibat dalam serial diskusi dua jam program pelibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak serta peningkatan kesehatan ibu dan anak. Suwar menyanggupi ajakan tersebut tetapi Mei masih ragu-ragu karena bekerja di pabrik wig di Kulon Progo.

Pada pertemuan pertama, Suwar (30 tahun) bercerita, lima tahun lalu, dia menikahi Mei yang berusia lebih tua dua tahun dan telah mempunyai dua anak dari mantan suaminya. Mereka bertemu ketika sama-sama menjadi karyawan di sebuah pabrik garmen di Yogyakarta. Ini menarik, fenomena perjaka menikahi janda jarang terjadi karena akan muncul gunjingan-gunjingan di masyarakat. Namun, selama saya berinteraksi dengan pasangan tersebut, mereka asyik dengan hubungan tersebut dan menikmati kemesraannya. Ini yang dinamakan jodoh, demikian yang terlintas dalam benak saya. Dari pernikahan tersebut, Suwar dan Mei dikaruniai satu anak laki-laki.

Suwar aktif mengikuti diskusi kelas ayah, sayangnya tidak demikian dengan Mei. Pada 2014, dia tidak dapat mengikuti kelas ibu karena jadwal diskusi terbentur dengan jam kerjanya di pabrik. Sebaliknya, Suwar, hanya satu pertemuan yang tidak ia hadiri karena harus rewang[1]. Pada sesi kesehatan ibu dan anak, saya mengundang Kartiyem, bidan praktik mandiri di Desa Tawangsari, dan Thonthowi dari Rifka Annisa. Bidan Kartiyem menjelaskan pentingnya suami memperhatikan kesehatan ibu dan anak, termasuk pemilihan alat kontrasepsi. Pada kelas ayah tersebut dijelaskan pula macam-macam alat kontrasepsi pria. Bidan Kartiyem menekankan, jika ada istri yang mengalami keluhan gemuk dan/atau mual saat memakai KB pil atau suntik, suami harus peka. Pada pertemuan tersebut juga ditekankan, laki-laki dapat memakai KB vasektomi (MOP) maupun kondom. Pada pertemuan-pertemuan tersebut, saya melihat Suwar serius memperhatikan.

Saat ada pertemuan pasangan di Hotel Galuh yang diselenggarakan oleh Rifka Annisa, mereka datang bersama anak sebagai salah satu perwakilan Desa Tawangsari. Setelah mendapatkan materi pengasuhan ayah dan konseling pasangan, pada penutupan acara, Suwar menjabat tangan saya seraya berkata, “Terima kasih, Mas Rohim, Rifka Annisa telah membuat saya menjadi lebih perhatian pada anak, lebih mesra dengan istri.” Sambil memasuki bus untuk peserta, Mei juga menyampaikan rasa terima kasihnya.

Semenjak acara tersebut, saya tertarik mengikuti lebih dalam lagi perubahan pasangan Suwar-Mei. Menjelang akhir penutupan diskusi tahun 2014, saya menyempatkan diri datang ke rumah mereka. Mei bercerita, “Sehabis mendapatkan materi kesehatan ibu dan anak, suamiku bilang, ia dapat informasi macam-macam KB pria seperti vasektomi dan kondom. Menjelang tidur, suamiku tanya apakah saya ada keluhan ikut KB pil. ‘Ya,’ jawab saya, ‘Kok tumben Mas nanya itu?’ Kemudian saya ceritakan efek gemuk, kadang pusing. Suamiku lalu menawarkan untuk memakai kondom dan saya iya-kan.” Cerita yang sama menguatkan tutur Mei. Pada sesi penutupan dan evaluasi kelas ayah tahun 2014, Suwar mengatakan, “Semenjak ikut diskusi, saya mulai mengkomunikasikan pemakaian KB dengan istri. Kata istri saya, efeknya gemuk dan mual. Jadi, saya coba pakai kondom.”

Pada awal 2016, tepatnya Februari, Rifka Annisa mendokumentasikan pengalaman mengorganisasi di komunitas. Saya mendapat pekerjaan rumah mengetahui proses negosiasi pasangan Suwar-Mei mengkomunikasikan alat kontrasepsi. Saya pun berkunjung ke rumah mereka. Kami bercakap-cakap mengenai kejadian pada 2014 tersebut.

“Berapa lama memakai kondom?”

“Hanya bertahan satu bulan, Mas, waktu itu rasanya kok agak risih, jadi nggak betah.”

“Sekarang memakai kontrasepsi apa?”

“Setelah tanya bidan Kartiyem, akhirnya pakai KB kalender. Memang harus teliti tapi kami sama-sama senang, tidak ada yang terbebani, misalnya sakit, gemuk, dan lainnya.”

Mengenai perubahan setelah ikut diskusi, Suwar menuturkan, “Dulu tidak pernah bahas masalah KB. Pokoknya kata bu bidan, ‘KB pil dan suntik,’ ya, dilakukan. Saya, ya, oke saja. Kalau sekarang, kan, dibicarakan bersama. Melihat istri mengeluh mual atau kegemukan, ya, tidak ada salahnya saya yang pakai kondom, meskipun hanya bertahan satu bulan.”

Dalam konteks pasangan ini, isu seksualitas menjadi menarik, karena menjadi persoalan bersama dan kontrasepsi bukan semata-mata menjadi kewajiban istri. Penentuannya menjadi keputusan bersama. Ketika istri mengeluh mual dan gemuk akibat KB pil, suami memahami dan terlibat mengatasi persoalan tersebut. Negosiasi bermula dari komunikasi suami dan istri yang menandai keterbukaan dan kepedulian masing-masing. Pengetahuan yang didapatkan selama mengikuti serial diskusi, mereka terapkan dalam kehidupan rumah tangga. Adanya ruang bersama seperti inilah yang kemudian menjadi peluang untuk membangun ketahanan rumah tangga, dan keharmonisan serta kebahagiaaan menjadi tujuan hidup yang dirujuk.

Komunikasi dua arah menjadi dasar keduanya menjalani negosiasi dan menjadi kebutuhan dalam pembuatan keputusan bersama. Saling melengkapi, tidak ada yang dirugikan, dan tidak saling menyakiti menjadi kunci dalam upaya membangun pondasi keluarga yang kukuh. Perubahan demikian menjadi peluang positif bagi pihak terkait untuk mengajak para laki-laki terlibat di dalam keluarga berencana. Keterlibatan laki-laki pada area tersebut tentu bermanfaat dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak. Hal ini juga dapat dilihat dari keberhasilan KB pria vasektomi di Kulon Progo yang mendapat penghargaan dari Presiden Jokowi pada 2015. Di satu sisi, meskipun akhirnya memilih KB kalender, mereka telah melakukan komunikasi dan negosiasi yang dapat menjadi contoh bagi keluarga lain yang ingin menumbuhkan kebersamaan di dalam semua aspek kehidupan rumah tangga.


[1] membantu tetangga yang punya hajatan

46416898
Today
This Week
This Month
Last Month
All
5668
90706
269143
306641
46416898