Menantang Kuasa Predator Seksual Featured

Written by  Tian Adhia Nugraha Kamis, 29 Desember 2022 15:10

Fenomena kekerasan seksual dewasa ini marak terjadi, terutama di lembaga pendidikan. Kasus kekerasan seksual bukan hanya satu-dua, bahkan lebih dari itu. Kasus kekerasan seksual terhadap 13 santriwati pondok pesantren di Bandung pada 2021 merupakan puncak gunung es dari kasus yang lebih mengerikan lagi yang menjadi dasar dari gunung es tersebut. Komnas Perempuan pada 2021 mencatat bahwa kasus kekerasan seksual di sekolah berasrama dan berbasis agama cenderung lebih tinggi kasusnya dibandingkan dengan sekolah berbasis umum. Komnas perempuan juga menambahkan terdapat kerentanan khusus bagi anak perempuan untuk menjadi korban kekerasan seksual diantaranya; pemilik dan guru lembaga memiliki pengaruh terhadap para muridnya, masyarakat memposisikan pemilik dan guru lembaga pada posisi yang terhormat, serta ancaman yang menjadikan korban tidak dapat bersuara karena kekuasaan pemilik dan guru lembaga lebih tinggi dan berpengaruh. Ditengah tantangan tersebut, Komnas Perempuan mengapresiasi upaya dari 13 santriwati yang menjadi korban untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di salah satu pondok pesantren di Bandung tersebut.

Kekuasaan Berlapis

   Kasus kekerasan seksual yang terjadi kadang kala atau bahkan lebih sering disebabkan oleh relasi kuasa antara pelaku dan korban. Kekuasaan dalam analisis Michel Foucault berkaitan dengan hubungan seseorang terhadap orang lain, kekuasaan tidak dimaknai sebagai bentuk pemaksaan untuk seseorang dalam melakukan hal tertentu, namun kekuasaan berhubungan dengan relasi antar individu (Kelly, 2009:66). Relasi kekuasaan diidentifikasi sebagai hubungan dimana seseorang berupaya untuk mengendalikan perilaku orang lain. Itu juga dimaknai sebagai upaya dalam mempengaruhi perilaku orang lain dengan tindakan yang individu lakukan (Kelly, 2009). Kekuasaan ini tidak dipahami sebagai sesuatu yang telah dimiliki, melainkan sesuatu yang dijalankan dalam hubungan dengan orang lain melalui penolakan dan kepatuhan terhadap wacana yang dimiliki oleh suatu individu (Phillips, 2000:20). Definisi lain mengenai kekuasaan identik dengan kapasitas ‘A’ untuk mempengaruhi ‘B’ dan ‘B’ melakukan sesuatu yang diperintah oleh ‘A’ dalam kondisi ‘B’ ingin melakukan maupun terpaksa melakukan.

Kuasa pelaku cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan korbannya. Sebagai contoh, dikutip dari Tempo, kasus kekerasan seksual di Universitas Riau pada tahun 2021 yang dialami seorang mahasiswi pada saat bimbingan skripsi. Pelaku kekerasan seksual sudah jelas seorang dosen pembimbingnya, bila dilihat secara kedudukan, dosen memiliki pengaruh dan kekuasaan lebih tinggi di sebuah lembaga pendidikan, apalagi peristiwa kekerasan seksual tersebut terjadi di lingkungan kampus yang melegitimasi kekuasaan dosen. Nahasnya, dosen tersebut divonis bebas oleh hakim PN Pekanbaru dengan alasan tidak terbukti secara sah bersalah atas dakwaan baik primer dan subsider. Contoh lain, dikutip dari Detik News, Pendiri Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) ditahan atas kekerasan seksual pada Siswanya selama 12 tahun penjara. Dari dua kasus yang disebutkan, terdapat kesenjangan kuasa antara dosen/pengajar dengan mahasiswi/pelajar. Dalam hal ini, kekuasaan dosen berada pada tingkat yang lebih tinggi sehingga korban akan lebih sulit untuk menolak kekuasaan diatasnya. Kekuasaan ini lebih sulit untuk dilihat dan dirasakan, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah sadar bahwa dalam kondisi tertentu korban sedang berada dalam kekuasaan dan pengaruh pelaku.

Kekuasaan dalam hal ini berada dalam nilai maupun norma yang berada dalam tubuh seseorang. Nilai maupun norma ini mempengaruhi individu dalam menentukan tindakannya. Nilai yang berada di lingkungan pendidikan seperti kepatuhan terhadap guru atau seseorang yang lebih senior menjadi halangan untuk memberontak atau berkata tidak saat diminta sesuatu. Apalagi pengajar memiliki kekuasaan dalam menentukan nilai atau peringkat muridnya. Kekuasaan dalam memberi nilai kadang menjadi ancaman bila murid tidak mengikuti arahan dari pengajarnya. Sebagai seorang korban, ancaman-ancaman yang datang menjadikan tidak memiliki pilihan selain mengikuti arahan, hal ini menegaskan bahwa korban tidak memiliki persetujuan atau bahkan menyukai, namun bertindak karena terpaksa.

Rape Culture

            Selain pengaruh kekuasaan yang tidak dapat dihindari oleh korban kekerasan seksual, faktor lain yang berkaitan dengan budaya, budaya patriarki. Widiantini dalam jurnalnya “Kekerasan Seksual di Tingkat Perguruan Tinggi: Sebuah Tinjauan Feminisme Filosofis” (2021), menggarisbesarkan dominannya rape culture dalam kontribusi kekerasan seksual di perguruan tinggi. Rape culture berkaitan dengan budaya patriaki yang mendahulukan posisi mastery dari seorang laki-laki atas kontrolnya terhadap fenomena pemerkosaan. Budaya dalam kehidupan sehari-hari yang memposisikan dominasi maskulin dalam kekerasan seksual merupakan penjelasan singkat dari rape culture. Ketika kita dalam posisi “membiarkan” pembicaraan yang berkaitan dengan diskriminasi dan kekerasan seksual ini disebabkan oleh pengaruh dari rape culture. Perilaku menormalisasi tersebut menjadikan masyarakat melihat fenomena kekerasan seksual sebagai hal yang biasa dan tidak penting. Widiantini menambahkan, dengan masyarakat memiliki pola pikir “membiarkan” fenomena kekerasan seksual menjadikan masyarakat terjebak dalam pola pikir victim blaming, lebih menyalahkan korban dibandingkan dengan pelaku. Menyalahkan korban akan berkaitan dengan budaya misogini dalam pengertian misogini versi istilah lama (istilah yunani kuno, miso berarti hatred, gyne berarti woman). Diskriminasi atas perempuan maupun melemahkan posisi perempuan berkaitan erat dengan misogini. Buku Down Girl: The Logic of Misoginy oleh Kate Manne (2017) memberikan penjelasan lengkap mengenai misogini, bahwa perempuan sedang berada dalam satu sistem penindasan patriarki yang mengatur kehidupan perempuan tentang norma sosial, harapan, dan konsekuensi. Budaya tersebut kemudian menjadi satu dengan tubuh para aktor kekerasan seksual (Pelaku maupun korban) yang menjadikan fenomena kekerasan seksual semakin mudah terjadi.

            Untuk memahami rape culture, terdapat piramida yang memudahkan untuk memahami lebih dalam. Sebelumnya telah disebutkan beberapa perilaku rape culture seperti membiarkan pembicaraan yang berkaitan dengan diskriminasi dan kekerasan seksual, pola pikir victim blaming, dan terjadinya kekerasan seksual. Bila disusun dalam sebuah piramida, terdapat tahapan dari bawah yang dimulai dari menormalisasi kemudian merendahkan dan piramida puncaknya yaitu terjadinya kekerasan. Menormalisasi hal-hal seperti candaan yang mengarah pada seksual dan membiarkan terjadinya cat calling menjadi dasar terjadinya kekerasan seksual. Masyarakat mungkin tidak sadar tindakan-tindakan ‘membiarkan’ akan mengarah kepada terjadinya kekerasan seksual. Selanjutnya, karena masyarakat telah menormalisasi hal-hal tersebut, munculah perilaku yang diskriminatif seperti menyalahkan korban atas tindakannya. Seringkali perempuan yang memakai pakaian tidak tertutup menjadi alasan pelaku melakukan tindak kejahatan, padahal pola pikir pelaku yang perlu dibenarkan. Beberapa hal lain seperti revenge porn, mengirim foto maupun video yang tidak ada persetujuan (non-consent) menjadi tindakan diskriminatif dalam piramida rape culture. Terakhir, kekerasan seksual yang terjadi menjadi puncak atas normalisasi dan diskriminasi yang terjadi di masyarakat.

Sadar Telah Dikuasai

            Untuk mencegah situasi yang mengarah pada kekerasan seksual, yang dapat dilakukan adalah dengan menyadari bahwa seseorang tengah berada dalam penguasaan predator seksual. Sebenarnya yang perlu dilakukan sebelum menyadari adalah memilih wacana (discourse) yang dimasukkan kedalam tubuh. Michel Foucault memperlihatkan wacana berada dalam seorang individu yang menentukan perilaku dan keinginan berdasarkan aturan-aturan tertentu yang diyakini individu tersebut. Bagi Faucault, ketika seseorang tidak diprogram atau dikendalikan oleh insting, pemikiran atau tindakan kita telah dikendalikan oleh berbagai wacana.

Wacana tersebut yang berkontribusi terjadinya kekerasan seksual. Ini berlaku untuk para predator seksual juga, tidak hanya korban. Predator Seksual atau pelaku pelecehan seksual pasti memiliki wacana dalam tubuhnya tentang patriarki, misogini, dan rape culture, atau bahkan lebih banyak lagi yang mengkondisikan pemikiran dan tindakan yang merendahkan perempuan. Seharusnya, sudah sepantasnya, seorang pelaku tidak dirasuki wacana tersebut yang menjadi kontribusi kasus kekerasan seksual. Langkah awal bagi seorang korban yaitu dengan sadar bahwa Ia sedang berada dalam pengaruh dan kekuasaan Predator Seksual, terdapat power yang berusaha menundukkan korban. Bila korban dihadapi dengan situasi ketidaksadaran akan kekuasaan predator seksual, kerabat terdekat dapat memberitahu dan menyadarkan bahwa korban sedang berada dalam pengaruh kekuasaan. Kemudian, bila korban sadar namun tidak mengetahui jalan keluar untuk lepas dari kekuasaan tersebut, korban dapat meminta pertolongan kepada kerabat maupun institusi profesional yang dapat membantu.

            Timpangnya kekuasaan menjadi faktor dari terjadinya kekerasan seksual. Ini menjadikan sulitnya korban untuk melawan karena pelaku memiliki kedudukan lebih tinggi. Selain itu kekuasaan ini lebih sulit untuk dilihat karena immaterial, kesulitan ini menjadikan korban lebih mudah terperdaya oleh pengaruh pelaku. Budaya yang telah diyakini menjadi pendorong terjadinya kekerasan seksual. Budaya ini menjadi penghambat dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual, atau bahkan penghambat pencegahan terjadinya kekerasan seksual. Rape culture misalnya, menjadikan perkosaan sebagai sebuah hal yang wajar dan diyakini sebagai kesialan/kemalangan/musibah. Perlu dicatat juga, Burnett (2016) bahwa persoalan rape culture bukan hanya dialami perempuan namun ini dapat menimpa gender, ras, etnis, seksualitas, dan lainnya. Dalam konteks ini, pembahasan berfokus pada dominasi patriarki. Kembali pada Widiantini (2021) yang melihat kultur ini merasuk kedalam lingkungan kampus. Dengan menghadirkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2020 mengenai kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang mahasiswa di Yogyakarta. Pelaku dalam kasus ini justru melayangkan gugatan atas tuduhannya, bahkan pelaku melaporkan LBH Yogyakarta atas tuduhan pelanggaran UU ITE. Dalam hal ini, pelaku berupaya untuk menyudutkan korban. Tindakan tersebut menunjukan bahwa pelaku tidak melakukan kesalahan, bahkan menganggap dirinya sebagai korban. Kasus tersebut menjadi salah satu contoh rape culture.

Perlu digarisbawahi bahwa timpangnya kuasa bukan hanya antara dosen dan mahasiswa, namun ini dapat terjadi antara mahasiwa dengan mahasiswa, tergantung bagaimana kedua orang tersebut menjalin relasi. Namun dalam tulisan singkat ini berusaha menunjukan bagaimana kekerasan seksual terjadi dikarenakan timpangnya kuasa antara pelaku dan korban. Selain itu, budaya yang berkaitan dengan patriarki atau melemahkan posisi perempuan berkontribusi atas terjadinya kekerasan seksual. Maka, tindakan yang perlu dilakukan, setidaknya, memilih wacana berbentuk budaya yang akan diserap oleh tubuh sebagai upaya awal mencegah kekerasan seksual. Kemudian, bila dihadapkan dengan situasi, dicurigai akan terjadi kekerasan seksual, hal pertama yang dapat dilakukan yaitu sadar bahwa tengah berada dalam pengaruh kekuasaan predator seksual.

 

 

 

 

 

Tentang Penulis

Tian Adhia Nugraha, mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada. Menulis dan bergerak dalam isu Hak Asasi Manusia.

Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya..

Read 7125 times Last modified on Jumat, 28 Juli 2023 22:38
46777303
Today
This Week
This Month
Last Month
All
625
11960
285670
343878
46777303