Selasa, 28 Juli 2020 07:29

Oleh: Nurul Kodriati, M.Med.Sc

Merokok adalah salah satu permasalahan kesehatan yang penting di Indonesia. Di tahun 2015, jumlah total, prevalensi, perokok laki-laki Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar di dunia (Eriksen, 2015). Sayangnya, Indonesia adalah satu-satunya Negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi perjanjian pengendalian rokok dunia atau yang biasa disebut dengan Framework Convention on Tobacco Control (Tan, 2016).

Merokok juga sesuatu yang banyak dilakukan dan biasa terlihat atau mungkin biasa dilakukan sebagian dari kita. Menurut Global Adults Tobacco Survey (GATS) tahun 2011, 65,6% laki-laki usia lebih dari 15 tahun di Indonesia adalah perokok. Sedangkan pada perempuan, jumlahnya jauh lebih sedikit yaitu sebesar 2,5% dari total wanita usia dewasa.

Grafik Nurulkod

 

Grafik di atas menunjukkan perbedaan pola merokok antara laki-laki dan perempuan di Indonesia. Pada laki-laki, perilaku merokok dimulai pada usia remaja sekitar usia 12-15 tahun. Jumlah perokok meningkat drastis, tiga kali lipat,  di antara usia 15-20 tahun menjadi sekitar 60%. Jumlah ini relatif stabil dan penurunan baru terlihat di usia sekitar 50 tahun. Sedangkan pada perempuan, prevalensi merokok relatif stabil sampai usia sekitar 40 tahun dan peningkatan terjadi setelah usia tersebut dengan persentase dibawah 20%. Pola merokok berdasar umur seperti yang diuraikan pada grafik diatas dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, meningkatnya kemungkinan laki-laki menderita penyakit kronis. Tulisan ini akan mengkhususkan pembahasan terkait dengan status keayahan seseorang.

Secara umum, perspektif gender dari perilaku kesehatan mengakui bahwa menjadi laki-laki atau perempuan seringkali mempengaruhi bagaimana seseorang berperilaku terkait dengan kesehatan dan perilaku beresiko. Sayangnya, laki-laki seringkali memiliki resiko lebih tinggi untuk berperilaku yang merugikan kesehatan mereka dibandingkan perempuan seperti merokok, minum minuman keras, atau kriminalitas. Grafik di atas dan tingginya prevalensi merokok pada laki-laki di Indonesia bahkan di dunia adalah beberapa bukti yang harus menjadi renungan kita bersama. Bagaimana dan apa yang membuat data statistik terkait gender pada merokok ini cenderung stabil dalam kurun waktu yang lama. Dan menjadi renungan bersama, kenapa diskusi terkait tentang gender lebih mengangkat isu merokok pada perempuan dibandingkan isu merokok pada laki-laki.

Hubungan antara merokok dan maskulinitas sebenarnya dapat dirunut dari abad 17 dari pengaruh kolonialisme Belanda. Pada saat itu, hanya orang-orang yang memilki kekuasaan dan kekayaan yang mempunyai akses tembakau, sebagian besar dari orang-orang ini adalah laki-laki. Asosiasi antara laki-laki, maskulinitas, dan merokok diperkuat jauh setelah itu melalui iklan-iklan yang mempromosikan merokok sebagai norma yang sangat mudah diterima di masyarakat dan untuk meningkatkan status maskulinitas seseorang. Iklan rokok seringkali memberikan kesan dan karakter yang berkaitan dengan maskulinitas tradisional yang dominan seperti laki-laki itu identik dengan kuat, tangguh dan heroik. Seringkali, iklan juga berkecenderungan untuk mengabaikan bahaya dan resiko dari tembakau dan perilaku merokok terutama di kalangan anak- anak muda atau remaja laki-laki.

Kecenderungan laki-laki untuk berperilaku yang beresiko seperti di atas sebenarnya kurang sesuai dengan kondisi mereka setelah berkeluarga dan apalagi setelah mereka berstatus sebagai seorang ayah. Kenapa hal ini bisa terjadi? Salah satu hal yang bisa dieksplorasi adalah perubahan nilai maskulinitas dari kecenderungan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah seorang yang kuat dan tangguh menjadi seseorang yang bertanggung jawab dan mampu melindungi keluarga mereka. Awal mula menjadi seorang ayah memberikan tanggung jawab baru yang besar pada laki-laki, memerlukan komitmen yang tinggi dan perlunya mempelajari beberapa keterampilan baru terkait perawatan anak mereka dan bagaimana memberikan dukungan kepada istri. Keterlibatan dengan perawatan anak ini menjadi salah satu hal yang paling penting untuk meningkatkan kepercayaan diri dan kepuasan seorang ayah dan penting agar ayah mau meluangkan waktu lebih untuk perawatan anak.

Waktu yang dihabiskan dengan anak mereka itulah yang menjembatani laki-laki untuk melakukan lebih banyak refleksi dan mengidentifikasi prioritas mereka sehari-hari termasuk untuk berperilaku yang lebih sehat dan mengurangi resiko demi melindungi anak dan keluarga mereka. Laki-laki yang terlibat aktif dalam perawatan anaknya, akan menjadi lebih mungkin untuk berusaha tidak merokok di sekitar anaknya yang masih bayi dan lemah dan tidak ingin memberikan bahaya atau ‘racun’ rokok pasif.

Sayangnya, dukungan terhadap para ayah di masa transisi, ketika mereka baru saja mempunyai anak pertama mereka masih sangat kurang seperti cuti suami untuk menemani istri melahirkan atau dalam Bahasa Inggris disebut paternity leave, selama dua hari dinilai masih sangat minim untuk dapat membantu laki-laki mengembangkan identitas keayahan mereka dan mempelajari keterampilan sebagai ayah yang akan sangat diperlukannya. Hal inilah yang membuat masa transisi ini menjadi masa dengan stres tinggi pada laki-laki dan oleh karena salah satu pengontrol stres yang dimiliki oleh sebagian laki-laki adalah merokok maka para ayah ini dimungkinkan merokok dengan frekuensi dan jumlah rokok yang lebih di masa ini.

Sayangnya, konstruksi sosial yang dibuat di masyarakat kita sering kali lebih mendukung peran laki-laki sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga. Laki-laki (dan perempuan) memiliki tolak ukur kesuksesan berdasarkan status pekerjaan dan kesuksesan karir mereka. Tolak ukur ini yang seringkali membuat laki-laki kurang terlibat dalam pengasuhan anak. Dari sudut pandang kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan, laki-laki di Indonesia memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk dihabiskan bersama anak-anak mereka dan mengembangkan karakteristik ‘keayahan’ dengan bobot pengasuhan anak yang lebih tinggi yang menjadi faktor yang penting untuk menurunkan perilaku yang beresiko pada laki-laki seperti merokok.

Sesungguhnya, seiring dengan pertumbuhan anak mereka, para ayah ini telah belajar bagaimana menjadi ayah. Sebagian dari mereka mungkin mampu berinteraksi dan berkontribusi lebih dengan anak semisal dengan bermain bersama, memberikan saran, kedisiplinan, mengajari hal-hal terkait dengan praktik keagamaan, mencontohkan bagaimana menjadi laki-laki yang baik. Dalam kondisi yang seperti itu, jumlah waktu yang dihabiskan oleh ayah bersama anaknya meningkat dan diharapkan perubahan perilaku ke arah yang lebih sehat menjadi lebih dimungkinkan.

46339870
Today
This Week
This Month
Last Month
All
4218
13678
192115
306641
46339870