Film drama romantis (2013) diadaptasi dari novel karangan Buya Hamka. Mengisahkan tentang perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian. Berlatar tahun 1930-an, Zainuddin datang ke kampung halaman ayahnya,Padang Panjang. Disana ia bertemu dan jatuh cinta dengan Hayati. Namun cinta mereka terhalang oleh adat dan istiadat yang mengharuskan Hayati menikah dengan laki-laki dari keluarga Minang terpandang, melainkan Zainuddin yang dianggap tidak bersuku karena beribu seorang Bugis, serta lahir dan besar di Makassar. Cinta dua sejoli pun harus terpisah hingga kematian menghampiri tanpa ada kesempatan untuk menikmati indahnya pernikahan.
Dalam film ini tokoh Hayati terpaksa menuruti keinginan orang tuanya untuk menikah dengan laki-laki dari keluarga Minang yang terpandang demi menjaga nama baik keluarga. Masyarakat Minang menganut sistem matrilineal, dimana garis kekerabatan ditarik dari garis keturunan ibu. Sementara itu, pola pernikahan yang berlaku di Minangkabau bersifat eksogami, yaitu seseorang seharusnya menikah dengan pasangan dari luar suku/ marga keluarga/ golongannya sendiri. Karena sistem matrilineal, maka yang disebut dengan suku tersebut tentu saja suku sang Ibu. Dalam kasus Zainuddin, memiliki seorang ibu berdarah Makassar (Bugis) membuatnya tidak diakui sebagai seorang laki-laki yang memiliki suku (golongan) di dalam masyarakat Minang. Ia juga tidak memiliki nama keluarga atau marga Minang yang membuatnya dapat diakui. Menikah dengan laki-laki “tak bersuku” dan tidak berharta menjadi sebuah momok yang dihindari apalagi jika si gadis adalah perempuan idaman kembang desa yang dianggap memilki nilai yang tinggi.
Sebelum Hayati menikah, diadakan musyawarah dalam memutuskan calon suami untuk Hayati. Musyawarah ini dilakukan oleh ninik-mamak (laki-laki dari generasi yang lebih tua dari keluarga pihak perempuan), karena dalam budaya Minang pernikahan lazimnya diprakarsai oleh pihak perempuan. Minangkabau merupakah suku yang menyukai musyawarah. Keputusan demi keputusan dilakukan secara demokratis. Falsafah Minangkabau menyebutnya mupakaik saiyo sakato (mufakat seiya sekata). Begitu pun dalam hal menentukan jodoh bagi anak gadis. Namun, jika kita amati lebih lanjut keputusan ini tidak dapat dikatakan demokrasi sepenuhnya, karena putusan yang diambil tidak seratus persen dari buah pikiran dan perasaan calon pengantin perempuan. Ia tidak bebas nilai untuk menentukan siapakah laki-laki yang dipilih untuk menjadi pendamping hidupnya. Pertimbangan akan nilai-nilai sosial terkait adat dan hubungan kekeluargaan menjadi faktor yang utama meskipun perasaan cinta dan keikhlasan harus diletakkan di nomor kesekian.
Musyarawah yang dilakukan oleh para ninik-mamak yang terdiri dari kelompok laki-laki juga menjadi bukti bahwa kekuatan kelompok ibu sebagai pembentuk sistem matrilineal begitu lemah. Ketika garis keturunan perempuan menjadi pertimbangan utama untuk diberlakukan dalam struktur keluarga dalam masyarakat Minang yang matrilineal, sesungguhnya keputusan-keputusan yang memberi kontribusi besar pada kehidupan anak-cucu masih sangat didominasi oleh kelompok laki-laki dengan buah pikiran dan perasaan yang melahirkan tindakan patriarki. Lalu dimanakah kekuatan matrilineal yang dimaksud? Dimanakah letak demokrasi yang diagungkan? Perempuan kemudian lebih cenderung dijadikan simbol status keluarga dimana suku berpengaruh sekali pada citra dan status keluarga dan harta yang dimiliki keluarga perempuan menjadi simbol kekuasaan untuk dapat membangun rumah tangga yang sejahtera. Pihak perempuan pun memberikan banyak hadiah berupa harta benda dan uang kepada pihak laki-laki untuk kesepakatan pernikahan. Tentu saja semua orang bebas beropini, kemudian akan menjadi wajar jika muncul opini bahwa laki-laki pihak laki-laki yang diuntungkan.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wick menyajikan kisah romantis yang tragis dan menyedihkan. Seligus memperlihatkan bahwa perempuan masih sulit untuk leluasa menentukan keinginannya sendiri. Bahkan dalam hubungan percintaan, banyak hal yang perlu menjadi pertimbangan sehingga keputusan yang ia jalani sejatinya menyiksa diri. Ketidaknyamanan, kesedihan, kebosanan dan keputusasaan menyelimuti perasaan hati. Bahkan hingga akhirnya ia meminta kembali sang pujaan hati untuk dapat menerimanya lagi dan memulai kehidupan baru bersama atas nama cinta yang sempat terkekang, ia harus menerima kenyataan pahit. Laki-laki pujaannya sudah terlanjur sakit hati dan lebih membesarkan ego serta harga dirinya untuk tidak menerima kehadiran perempuan terkasih. Alhasil, Hayati harus berpulang tanpa pernah merasakan kehangatan cinta sang kekasih yang terbalut dalam jalinan pernikahan. Meskipun pada nafas terakhir, ia mendapat pengakuan rasa cinta dari Zainuddin yang masih terus membara hanya untuknya.
Selain itu, poster film yang menampilkan sosok Hayati menggunakan baju yang tampak terbuka juga dianggap menyalahi adat dan istiadat masyarakat Minang yang menganut ajaran Islam yang kuat dalam kehidupan sehari-harinya termasuk dalam berbusana. Hayati memang ditampilkan menggunakan pakaian yang modern dan seringkali menggunakan busana sleeveless karena bergaul dengan orang-orang Belanda. Tidak hanya urusan percintaan yang begitu terkungkung oleh adat dan istiadat, bahkan perkara selera fashion yang tidak merugikan siapapun, Hayati sebagai perempuan Minang harus tunduk pada peraturan masyarakat yang mengikat demi nama baik kesukuan dan junjungan agama.
* Penulis adalah relawan Humas dan Media Rifka Annisa
**Disclaimer: Opini yang tercantum dalam tulisan ini adalah merupakan sudut pandang penulis dan tidak sepenuhnya merefleksikan posisi resmi dari Rifka Annisa.