Selasa, 15 Desember 2020 23:35

Pandemi COVID-19 telah menimbulkan berbagai permasalahan di seluruh aspek kehidupan manusia—baik dari aspek ekonomi, pendidikan, politik hingga aspek personal seperti kehidupan berumah tangga. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan kepada 2.285 Perempuan dan Laki-laki sejak April hingga Mei 2020, sebanyak 80% dari responden perempuan yang berpenghasilan dibawah 5 juta menyampaikan bahwa kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat. Namun, hanya 10% perempuan yang melaporkan mengenai kasus kekerasan yang dialami.

Selain itu, Komnas Perempuan juga menerima setidaknya 319 kasus yang dilaporkan selama masa pandemi dan dua-pertiganya adalah kasus KDRT. Menurut data dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) menyebutkan bahwa ada sekitar 110 kasus yang dilaporkan setelah adanya penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari bulan maret hingga juni.

Disamping itu, WCC Rifka Annisa juga menerima laporan sebanyak 660 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga September 2020. Dan 579 kasus diantaranya terjadi selama masa pandemi. Bentuk kekerasan yang dilaporkan paling tinggi yaitu kekerasan terhadap istri (KTI) dengan jumlah 124, kekerasan dalam pacaran (KDP) sebanyak 46 kasus, kekerasan dalam keluarga (KDK) sebanyak 33 kasus, pelecehan seksual 24 kasus, perkosaan 22 kasus, trafficking 10 kasus dan lainnya 2 kasus.

Dari data tersebut kita dapat mengetahui bersama bahwa selama masa pandemi—perempuan tetap tidak terlepas dari kekerasan. Dan kita juga mengetahui bahwa kasus kekerasan paling tinggi adalah KTI. Kasus KTI masuk dalam lingkup kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).  KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seorang perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2004).

Faktanya, masih banyak perempuan yang tidak sadar bahwa ia adalah korban kekerasan. Sebagian perempuan juga ada yang telah sadar namun enggan untuk melaporkan. Sebagian besar perempuan lebih memilih diam atau hanya menceritakan kepada orang terdekat. Terdapat beberapa alasan untuk menjelaskan fenomena ini, diantaranya yaitu perempuan korban kekerasan merasa bahwa permasalahan rumah tangga adalah aib keluarga yang harus ditutupi, ketidakberdayaan ekonomi, hingga pemahaman akan proses hukum yang rendah. 

Dalam proses hukum, Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat diselesaikan melalui dua proses hukum yaitu Pengadilan Pidana dimana pelaku harus melakukan pertanggungjawaban atas perbuatannya secara pidana atau Pengadilan Perdata berupa gugatan perceraian.

Pada umumnya, sebagian besar korban KDRT memilih untuk mengajukan gugatan perceraian. Gugatan perceraian dapat diajukan ke Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) dan Pengadilan Negeri (bagi agama lain). Selain itu, pemilihan pengadilan didasarkan pada beberapa hal seperti tempat tinggal atau tempat berlangsungnya pernikahan.

Sebelum memutuskan untuk mengajukan gugatan perceraian, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu mempersiapkan diri untuk hidup secara mandiri baik dari aspek ekonomi ataupun psikologis. selain itu, penting untuk mengkomunikasikan dengan pihak keluarga agar mendapat dukungan dan mempersiapkan anak agar mampu menerima dan menghadapi perceraian kedua orang tuanya.

Selain itu, menjadi penting untuk korban KDRT mencari informasi mengenai pengajuan gugatan cerai dengan menghubungi atau mendatangi secara langsung ke bagian informasi di pengadilan serta melakukan konsultasi dengan konsultan hukum agar mengetahui proses persidangan berserta hak – haknya.

Pada tahapan awal proses gugatan cerai, terdapat beberapa syarat administrasi yang harus dibawa, antara lain fotocopy akta nikah, fotocopy akta kelahiran anak (jika ada), fotocopy KTP, Surat Keterangan dari RT yang disahkan sampai kecamatan, Surat izin/rekomendasi dari atasan/pimpinan (bagi PNS, TNI, POLRI), Surat Gugatan, serta alat bukti apabila terjadi KDRT. Setelah semua syarat administrasi lengkap, penggugat bisa datang ke pengadilan setempat untuk mengajukan gugatan.

Proses untuk mengajukan guguatn melalui beberapa tahapan. Pertama, penggugat mengajukan gugatan tertulis dan ditujukan ke ketua pengadilan negeri atau pengadilan agama. Kedua, penggugat membayar panjar biaya perkara atau biaya sementara peradilan.

Ketiga, gugatan akan dicatat di Buku Register Perkara untuk mendapatkan nomor perkara. Keempat, setelah mendapat nomor perkara, perkara akan diteruskan ke Ketua Pengadilan dan Majelis Hakim untuk diperiksa. Kelima, setelah pemeriksaan berkas selesai, Hakim akan memanggil penggugat dan tergugat untuk melaksanakan sidang perkara.

Sebelum menghadapi proses persidangan. Perempuan perlu kembali menguatkan diri secara psikologis dan ekonomi agar semakin yakin dengan keputusan yang telah diambil dan siap menghadapi proses persidangan yang akan berlangsung. Proses persidangan perkara gugatan perceraian melalui beberapa tahapan, yaitu :

Pertama, Majelis Hakim akan mengupayakan perdamaian antara penggugat dan tergugat melalui mediasi. Apabila mediasi tidak berhasil maka persidangan akan memasuki tahap selanjutnya.

Kedua yaitu pembacaan gugatan oleh penggugat.

Ketiga, tergugat memiliki hak untuk melakukan pembelaan atau bantahan terhadap gugatan yang disampaikan penggugat.

Keempat, penggugat akan melakukan replik untuk menjawab pembelaan yang diutarakan oleh tergugat.

Kelima, tergugat melakukan duplik yaitu menjawab replik yang telah disampaikan oleh penggugat. Setelah tahap jawab – menjawab ini selesai, persidangan masuk kedalam tahap selanjutnya.

Keenam yaitu pembuktian dari tergugat dan penggugat. Dalam hal ini, bagi perempuan yang mengajukan perdata berdasarkan kekerasan yang dialaminnya, ia wajib untuk membuktikan hal tersebut di pengadilan. Dalam perkara KDRT, saksi korban saja sudah dianggap cukup untuk membuktikn bahwa terdakwa bersalah apabila dilengkapi dengan bukti lainnya (pasal 55 UU PKDRT).

Ketujuh, Majelis Hakim akan menarik kesimpulan dari penjelasan yang diberikan oleh penggugat dan tergugat lalu membuat keputusan mengenai hasil sidang perkara perdata.

 Begitulah proses untuk mengajukan perceraian dan gambaran proses persidangan yang akan dilalui oleh korban kekerasan. Dalam menghadapi perkara tersebut, terdapat beberapa tips dan saran yang dapat diterapkan. Pertama, ketika mendapatkan perlakuan kekerasan, korban dapat berlindung ke rumah keluarga atau melaporkan kasus kepada pendampingi yang mampu untuk membantu secara psikologis dan hukum, misalnya ke Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

Kedua, melaporkan kasus KDRT ke pihak berwajib dan meminta perlindungan agar tidak mendapatkan ancaman dan kekerasan berulang kali dari pelaku. Korban juga harus selalu minta ditemani ketika bepergian entah oleh keluarga atau pendamping untuk menghindari kemungkinan buruk selama proses persidangan berlangsung.

Ketiga menyadari bahwa kekerasan yang dialami dalam rumah tangga bukanlah aib keluarga yang harus ditutupi dan dibiarkan hanya karena menjaga nama baik keluarga. Hal ini memang tidaklah mudah, keputusan besar yang harus diambil. Namun sebagai perempuan—kita juga berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia dan terbebas dari ancaman kekerasan. Be aware and brave!

 

Sumber :

Triantono, S.h., M.H, Lisa Octafia, S.H. dan Saeroni, S.Ag.,M.H.2014. Buku Saku Informasi Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Yogyakarta: Rifka Annisa.

https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2020/Hasil%20Survei%20Covid%2019-KP-2020_17.06.pdf

Rabu, 14 Februari 2018 14:19

Kehidupan rumah tangga yang harmonis adalah dambaan setiap orang. Namun, tidak semua pasangan suami istri dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka. Sehingga tak jarang kedua belah pihak memutuskan untuk bercerai. Perceraian bisa jadi merupakan pilihan terakhir bagi pasangan suami istri yang hanya akan merasa saling menyakiti jika tetap mempertahankan pernikahan. Jika perceraian tak terhindarkan maka penting untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk meminimalisir dampak yang mungkin terjadi.

Salah satu yang perlu disiapkan adalah anak. Tidak semua anak mengerti mengapa ayah dan ibunya harus berpisah. Jika perceraian terpaksa menjadi pilihan maka perlu mempersiapkan anak menghadapinya untuk mengurangi trauma atau efek buruk jangka panjang bagi anak akibat perpisahan orang tuanya.

Maka, anak perlu mendapatkan dukungan dan pendampingan dalam menghadapi proses maupun dampak dari perceraian orang tua. Berikut langkah-langkah yang bisa diupayakan.

Pertama, mengajak anak bicara. Berapapun usia anak, sampaikan ke dia bahwa proses perceraian tengah terjadi. Bicarakan dengan sederhana sesuai tingkatan umur anak bahwa dalam waktu dekat akan terjadi perpisahan antara orang tua. Perlu ditekankan bahwa pemberitahuan tentang perceraian sebaiknya dilaksanakan saat kedua orang tua telah sepakat bahwa perceraian akan terjadi untuk mengantisipasi kemungkinan cemas yang berkepanjangan. Jelaskan pula bahwa perceraian terjadi bukan karena kesalahan mereka (anak-anak) dan mereka bukanlah orang yang bertanggung jawab atas perceraian ini.

Kedua, menjelaskan alasan perceraian secara jujur. Ketika anak kerap menanyakan mengapa ayah dan ibunya harus bercerai, jawablah pertanyaan anak secara jelas dan jujur tanpa harus membuka seluruh detil kehidupan orang tua.

Ketiga, memberitahukan dan mendiskusikan rencana kehidupan anak ke depan. Pemberitahuan tentang rencana perceraian disertai dengan rencana kehidupan anak ke depan, misalnya dengan siapa mereka akan tinggal, apakah mereka harus pindah sekolah atau bagaimana dan seberapa sering mereka akan berjumpa dengan ayah/ibu sebagai pihak yang meninggalkan rumah.

Keempat, memberikan waktu kepada anak untuk mencerna. Setelah pemberitahuan disampaikan, berikan waktu pada anak untuk memahami penjelasan tersebut. Mungkin anak belum bisa langsung memahami ketika orang tua sedang menjelaskan karena ketika sedang dijelaskan bisa jadi anak sekaligus sedang merasakan kecemasan dan kegelisahan. Orang tua perlu untuk membuka ruang diskusi setelah penjelasan dilakukan, hal ini memberi kesempatan anak untuk menanyakan apapun atau sekedar memberikan komentar atas pemahaman anak atas informasi dari orang tua.

Kelima, berkomunikasi secara aktif dengan anak. Kerap kali mereka membutuhkan kesempatan untuk dapat mengekspresikan kesedihan atau kemarahan. Sangat penting untuk membuka ruang komunikasi. Berilah kesempatan pada anak untuk mencurahkan isi hati mereka. Bila timbul banyak pertanyaan atau permintaan agar kedua orang tua kembali bersatu, berikan jawaban secara jujur dan jelas tentang kondisi perkawinan.

Tidak Menjelekkan

Selain kelima hal di atas, beberapa hal berikut penting juga diperhatikan dalam mempersiapkan anak menghadapi perceraian orang tuanya. Sebaiknya suami/istri tidak menjelek-jelekkan pasangan dan keluarga besar juga tidak lantas membicarakan kejelekan mereka kepada anak maupun anggota keluarga yang lain. Ini menjadi penting sebab ketika hal itu terjadi akan memperburuk situasi perceraian dan dampak bagi anak. Seringkali, dalam beberapa kasus perceraian, kemarahan kepada pasangan mendorong keinginan untuk menunjukkan keburukan pasangan kepada anak.

Menjelekkan pasangan di hadapan anak hanya akan melukai perasaan anak. Jika Anda merasa perlu mengatakan hal yang sesungguhnya, lebih baik katakan dengan meminimalisir penilaian. Misalnya, “Dia sering berperilaku menyakiti orang lain ketika marah”, daripada mengatakan “Dia hanya mau menang sendiri, perilakunya seperti tukang pukul”.

Selanjutnya, bersikap kooperatif dengan pasangan. Hal ini bisa jadi satu pekerjaan yang sulit bagi suami istri yang sedang dalam proses perceraian. Buatlah kesepakatan dan komitmen bahwa proses perceraian bisa lebih cepat dan mudah ketika suami-istri bisa saling bekerja sama. Bicarakan siapa yang akan menyampaikan kepada anak mengenai perpisahan, bagaimana cara menyampaikannya, dengan siapa anak akan tinggal setelah perpisahan, serta bagaimana mengatur pertemuan dengan anak ketika sudah tinggal terpisah dengan ayah/ibunya.

Berbagi Perasaan

Jika orang tua perlu berbagi perasaan dengan anak, tunggu pada level emosi yang mampu Anda kendalikan. Orang tua bisa menceritakan perasaan sedih, kehilangan, marah, atau lainnya sekaligus mengajak anak untuk terbuka mengenai perasaannya.

Perasaan cemas akan kehilangan orang tua akan menghampiri anak setelah disampaikan bahwa orang tua akan tinggal terpisah. Kecemasan biasanya meningkat ketika anak-anak harus menghadapi teman-teman sekolah atau komunitas bermainnya. Orang tua sebaiknya segera meresponnya dengan menyampaikan bahwa mereka akan tetap memiliki kedua orang tua meski salah satu orang tua tinggal terpisah dengan anak. Ayah/ibu akan tetap berperan dan bertanggung jawab seperti ketika masih tinggal bersama anak. Orang tua akan tetap siap mendengar setiap keluhan anak. Orang tua akan tetap siap mendengar setiap keluhan anak, siap memberikan dukungan, siap memberikan pertimbangan atau arahan, dan seterusnya. Penjelasan ini diharapkan memberikan pemahaman kepada anak bahwa semuanya tetap sama kecuali terpisah tempat tinggal dengan salah satu orang tua.

Selanjutnya, keluarga perlu senantiasa mengupayakan suasana tetap positif. Atmosfer positif sebaiknya diupayakan agar anak yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Upaya minimal yang bisa dilakukan adalah memberikan kenyamanan untuk semua orang yang tinggal di rumah.

Langkah-langkah di atas mungkin tidak mudah dilakukan, namun jika diupayakan harapannya dapat mengantisipasi dampak perceraian bagi anak.

46281630
Today
This Week
This Month
Last Month
All
6560
27318
133875
306641
46281630