Beda pendapat antara suami dan istri adalah hal alami yang dapat terjadi pada siapa pun. Namun, apabila tidak ada komunikasi yang cukup, perbedaan pendapat rentan menjadi sumber percekcokan. Apabila percekcokan tersebut sulit untuk diselesaikan, seringkali anak yang menanggung konsekuensinya.
Sebut saja kisah suami istri Danar dan Nia (bukan nama sebenarnya). Mereka mempunyai tiga putri, satu duduk di SMP, dan dua duduk di bangku SMA. Danar bekerja di perusahaan yang menuntut untuk dinas di tempat yang berbeda-beda, baik di Jawa maupun luar Jawa. Perpindahan tersebut juga sulit untuk diprediksikan. Keduanya punya prioritas yang berbeda. Danar berpendapat, suami dan istri harus tetap tinggal di satu atap. Jadi apapun alasannya, anak-anak dan istrinya harus mengikuti kemana Danar bermukim. Selain itu, Danar juga berpendapat mempunyai keinginan seksual yang tinggi, sehingga ia tidak ingin tinggal terpisah dengan istrinya.
Sebaliknya, Nia, istrinya, berpendapat bahwa perpindahan dinas yang terus menerus tidak baik dampaknya terhadap pendidikan anak. Setiap kali anak harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Apabila suami sering berpindah tempat dengan frekuensi yang tidak jelas, ia berpendapat pendidikan anak akan terkorbankan, terlebih anaknya sudah masuk ke jenjang SMP dan SMA, yang menuntut belajar yang lebih intensif. Selisih pendapat tersebut dibiarkan berlarut-larut, dari awal pernikahan, tidak pernah coba dibicarakan. Danar, menurut Nia, adalah tipe yang lebih suka menghindari perdebatan.
Si sulung sangat merasa terganggu dengan persoalan tersebut. Ayah dan ibunya malah suka ‘curhat’ dengan anaknya dan tidak membicarakan antar mereka. Dan ketika si anak memberikan saran, si anak menganggap ayah ibunya justru tidak mendengarkan pendapat tersebut. Pada akhirnya si sulung menjadi anak yang sulit berkonsentrasi, mengalami gangguan emosi, dan tidak betah berada di rumah. Rumah bukan lagi tempat yang nyaman. Si anak senantiasa ingin berkegiatan di luar, karena sudah merasa lelah dengan curhatan kedua orangtuanya.
Apa yang sebaiknya dilakukan ketika terjadi perselisihan semacam ini? Novia Dwi Rahmaningsih, salah satu konselor psikologi Rifka Annisa berpendapat, ada beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan. Meski, setiap pasangan mempunyai keadaan yang berbeda-beda.
- Dengarkan dengan baik pendapat satu sama lain. Ketika melakukan ini, dengarkan dengan tuntas, tidak memotong apa yang dikatakan pasangan atau anak.
- Pilih kesempatan yang baik untuk bertanya tentang pendapat mereka. Tandai mana kesempatan yang kondusif, yakni kondisi yang santai dalam keluarga.
- Saat bertanya tentang pendapat anak, tahan keinginan untuk ceramah atau justru menggiring anak untuk menyetujui pendapat kita. Biarkan anak berpendapat terlebih dahulu. Ada tipe anak yang tidak mau cerita atau menarik dirinya untuk berpendapat ketika orangtua berbicara terlampau banyak. Paparkan terlebih dahulu situasi yang ada, misal dengan ‘Nak, Bapak dan Ibu sedang ada perbedaan pendapat. Bapak dan Ibu ingin tahu pendapatmu. Saat ini, Bapak kerjanya berpindah-pindah. Menurutmu, kamu lebih suka berpindah-pindah, atau menetap di sini?’ Dengarkan pendapat anak dengan tuntas. Setelah itu baru masuk ke kira-kira konsekuensi apa yang ia pilih.
- Setelah mendengarkan pendapat-pendapat dengan tuntas, kita dapat mengungkapkan pendapat kita. Lakukan dengan tidak berharap orang lain pasti setuju dengan pendapat kita untuk menghindari debat kusir.
- Dalam proses mengungkapkan pendapat, kita juga dapat mengungkapkan perasaan kita. Misal dengan ‘Mengapa nada Bapak mulai tinggi? Saya merasa tidak nyaman.’
- Ketika diskusi justru berlangsung panas, ambilah jeda, atau meminta berhenti sejenak dari diskusi tersebut. Sepakati dengan pasangan, misal mulai kembali diskusi keesokan harinya, atau setelah makan malam, atau waktu lain yang disepakati. Pastikan jeda tersebut hanyalah jeda, bukan untuk menghentikan proses diskusi. Sepakati kapan akan melakukan diskusi kembali. Apabila terjadi hal yang sama, ambil jeda kembali. Dalam waktu jeda, kita bisa mengambil aktivitas yang menyenangkan, tidur, atau mandi, untuk meredakan amarah. Selain itu coba pikirkan kembali, apa yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada diri Anda atau pasangan.
- Pada akhirnya ada hal-hal yang dikompromikan. Kompromi bukan berarti harus mengalah salah satu, karena pengertian mengalah seolah-olah kemudian pasrah kepada semua pendapat pasangan. Dalam kompromi, mungkin ada bagian yang kita setujui dari pasangan, atau ada hal yang disetujui pasangan dari kita. Urai lagi aspek-aspek apa yang menurut kita penting. Kadangkala, apa yang kita anggap penting, tidak berarti penting bagi anak, dan begitu juga sebaliknya. Titik beratkan fokus pada perspektif atau keinginan anak.
- Terakhir, hargai kesepakatan yang telah dibuat dan anggap kesepakatan tersebut sangat penting dengan menjalankannya. Apabila nantinya ada sesuatu yang berbeda dengan kesepakatan, lakukan diskusi kembali. []