Kamis, 15 Maret 2018 12:46

“Kita pernah mendengar ungkapan Jawa: Jaran Kepang Jaran Kore, Wong Lanang Menangan Dhewe (laki-laki maunya menang sendiri, red.) Itu bagaimana Pak? Apakah prinsip itu bisa memicu KDRT?” tanya moderator kepada Jatmiko diikuti gelak tawa penonton.

Jatmiko, seorang bapak dari Desa Bendung Kecamatan Semin, Gunungkidul, hari itu berkesempatan berbagi cerita dan pengalaman di acara diskusi yang diadakan oleh Rifka Annisa dalam rangkaian event Jagongan Media Rakyat (JMR) di Jogja National Museum, Kamis (8/3). Event Jagongan Media Rakyat ini dikoordinasikan oleh Combine Resource Institution (CRI), dan Rifka Annisa sebagai mitra JMR menghelat diskusi dengan judul “Masyarakat Berdaya, Cegah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.”

Bagi Jatmiko, ‘Laki-laki Peduli’ itu identitas baru sekaligus proses yang harus ia jalani. “Itulah kenapa kami menamakan ‘laki-laki peduli’ karena kami merasa yang diluar sana sudah biasa, bahkan mereka tidak peduli. Kami ingin menjadi yang tidak biasa,” kata Jatmiko.

Laki-laki hidup dalam bayang-bayang keistimewaan sekaligus ketakutan yang dibawa budaya patriarki. Budaya patriarki itu tertanam sejak dulu dan diwarisi hingga saat ini. Kita hidup di rentetan budaya yang saat ini pun masih banyak keluarga yang memegang teguh prinsip itu. Jatmiko menceritakan, di masyarakat sekitarnya masih ada yang percaya bahwa laki-laki itu harus kuat, harus dominan, sementara kalau perempuan itu masih dianggap urusannya hanya ‘dapur-sumur-kasur’.

Katanya, perempuan sekolah SD saja cukup, wong nanti urusannya dapur-sumur-kasur. Nek laki-laki tanggung jawabnya besar. Wong lanang (laki-laki,red.) harus bisa menghidupi perempuan, menghidupi anak-anaknya,” jelasnya.

Orang Jawa itu, lanjut Jatmiko, apa-apa selalu disangkutkan dengan namanya. Misalnya sebutan wanita itu artinya ‘wani ditata’. Mau tidak mau, perempuan itu harus mau ditata salah satunya oleh laki-laki. Ia menceritakan, bahkan di keluarganya sampai saat ini masih berpegang teguh dengan hal itu. Mertuanya tidak pernah setuju kalau ia berbagi peran dengan istrinya.

“Saya masak, saya mencuci piring. Mertua saya tidak setuju. Beliau bilang, wong lanang (laki-laki, red) kok mengerjakan pekerjaan perempuan. Itu tidak pantas,” curhatnya.

Ia sering menjelaskan kepada mertuanya bahwa ini bukan sesuatu yang hina seolah-olah kalau laki-laki mencuci piring itu derajatnya dari atas langsung terjun bebas. Bukan seperti itu yang dimaksudkan, tapi kemudian bagaimana antara Jatmiko dan pasangannya bisa saling bertanggung jawab dalam berumah tangga. Ia menambahkan ketika mereka saling berbagi peran dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak, imbal baliknya bisa mereka rasakan. “Istri jadi makin sayang dan waktunya jadi lebih banyak untuk saya. Ya semua itu yang bisa kami rasakan,” kata Jatmiko.

Pemicu Kekerasan

Laki-laki peduli tidak melulu soal berbagi pekerjaan, tetapi juga peduli pada hubungan dengan pasangan serta pengasuhan anak. Dua hal tersebut disadari atau tidak seringkali menjadi pemicu munculnya konflik antara suami istri hingga berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.

Jatmiko menuturkan, di sekitar tempat tinggalnya kekerasan dalam rumah tangga banyak sekali dilatarbelakangi karena permasalahan ekonomi. Ketika ia bergabung di kelas laki-laki peduli yang diselengarakan oleh Rifka Annisa, ia beserta kelompoknya mendapatkan edukasi seputar komunikasi dengan pasangan, mengelola amarah, pengelolaan ekonomi keluarga dan sebagainya. Namun, dua hal yang menurut Jatmiko sangat berkesan dan ia coba terapkan hingga saat ini yaitu bagaimana kita berkomunikasi dengan pasangan dan mengelola amarah.

Komunikasi sebagai bentuk penyampaian pesan kepada pasangan. Kita sebenarya ingin menyampaikan ini ke pasangan, tetapi kita tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Ketidaktahuan dan kesalahan dalam berkomunikasi dapat menimbulkan konflik. Ketika komunikasi sudah bisa dibangun sejak awal, tindakan kekerasan terhadap pasangan seharusnya tidak terjadi.

Kemudian, tentang mengelola amarah. Jatmiko dan kelompoknya sangat menyadari bahwa marah itu manusiawi. Kita bisa mengelola itu. Marah seperti sebuah proses, pasti ada akibat dari suatu sebab. Antara emosi dan tindakan ada beberapa detik untuk memikirkan apa yang dipilih untuk dilakukan.

“Marah itu manusiawi. Misalnya kalau marah matanya merah, tangannya pengen mengepal, dibalik itu kita punya waktu untuk memilih bagaimana melampiaskan marah. Bisa jadi kita memilih melampiaskan ke hal yang negatif misalnya segera memukul anak, nyubit anak, atau memukul pasangan. Tetapi kita sebenarnya punya pilihan bagaimana meluapkan marah,” kata Jatmiko.

Ia menjelaskan ada beberapa pilihan yang bisa diambil ketika marah. Salah satunya dengan cara diam. Menunggu hati dan suasana terkondisikan. Bagi Jatmiko, hal tersebut tidaklah mudah bagi setiap orang. Semuanya butuh proses. Ia pun masih berproses untuk itu.

Tantangan

Semenjak bergabung dalam komunitas laki-laki peduli, Jatmiko selalu ingin membagi ilmu dan pengalamannya kepada orang lain. Tak jarang, ia pun gelisah bilamana mengetahui tetangganya sendiri terlibat konflik hingga terdengar ke lingkungan sekitar.

Dia sempat merasa rikuh awalnya ketika terjadi kemelut di rumah tangga sebelah. Niat hati ingin membantu, namun nanti dikira ikut-ikutan masalah rumah tangga orang. Awalnya ada kekhawatiran kalau dia ikut campur jadinya justru dimusuhi oleh tetangga sendiri. Setelah mempertimbangkan dengan matang, ia pun memberanikan diri untuk mencoba mencegah agar konflik di tetangga tidak berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.

“Ketika ada percekcokan di tetangga sebelah, saya datangi. Masuk rumah dan hanya sebatas mengamati saja. Saya berdiri di depan mereka yang sedang cekcok tanpa kata tanpa ekspresi apapun. Ya berdiri saja,” kenang Jatmiko.

Dengan cara seperti itu, Jatmiko beranggapan ia bisa mengantisipasi agar pertengkaran tersebut tidak sampai main tangan atau bahkan melakukan penganiayaan. Kalau pun sampai terjadi kekerasan fisik, Jatmiko sudah tahu langkah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. “Mereka (yang saat itu sedang berkonflik) akan berpikir. Oh iya ya, kemarin habis sosialisasi kalau melakukan kekerasan ada payung hukumnya. Kalau ini dilaporkan ada jalurnya, ada saksinya pula. Dengan begitu kan mereka akan berpikir ulang kalau ingin memukul istrinya saat itu,” tambah Jatmiko.

Selanjutnya, Jatmiko tak lupa mengingatkan agar cara tersebut juga diikuti dengan klarifikasi kepada pasangan yang bersangkutan. Kita perlu menjelaskan maksud kita kenapa kita datang saat tetangga sedang bertengkar, bukan bermaksud menonton tetapi untuk mencegah. Menurut Jatmiko, klarifikasi dan penjelasan ini penting agar yang bersangkutan tidak memusuhi kita.

“Kita jelaskan perlahan-lahan meskipun kemudian kita kena semprot. Dibilang, kamu kok kurang kerjaan, kayak orang paling benar sendiri mengurusi rumah tangga orang. Ya tidak apa-apa. Tapi kita punya satu keyakinan bahwa suatu saat mereka akan berterima kasih ke kita,” tegas Jatmiko.

Tidak Takut Berubah

Untuk menjadi laki-laki peduli, Jatmiko terus berproses untuk perubahan yang lebih baik. Hidup di desa menjadikannya tidak bisa meninggalkan tingginya rasa sosial. Laki-laki peduli tidak hanya peduli pada keluarganya tetapi juga peduli masyarakat sekitarnya. Kalau ada apa-apa di desanya, banyak orang segera ingin tahu. Keingintahuan ini dimanfaatkan Jatmiko untuk mengajak komunitasnya berbicara mengenai permasalahan yang ada di desa mereka.

Saat ini, Jatmiko dan komunitasnya menggandeng tokoh masyarakat dan tokoh agama. Lebih banyak tokoh agama terlibat lebih baik, katanya. Karena ketika tokoh agama mau melakukan perubahan perilaku misalnya memberikan contoh pola pengasuhan dan berbagi peran dalam rumah tangga, itu bisa menjadi bukti nyata.

“Saya selalu bilang ke mereka, Pak Ustadz aja mau mencuci, momong anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, masa’ kok kita enggak?” begitu salah satu cara Jatmiko mempengaruhi teman-temannya. Upayanya ini juga didukung oleh seorang takmir mushola yang disegani di desanya untuk menyampaikan ke masyarakat luas tentang hal itu.

Cara yang lain adalah Jatmiko tak segan-segan mengajak teman-temannya untuk nongkrong, ngobrol atau ngopi sambil berdiskusi di warung kecil miliknya. Dalam proses pendekatan ini, ia tidak langsung masuk ke permasalahan karena sudah pasti sangat sensitif. Mulanya ia membangun suasana terlebih dulu agar mereka merasa nyaman sehingga kalau bercerita tanpa ada hambatan. Kalau sudah masuk ke inti masalah langsung diajaknya berdiskusi lebih lanjut. Ia tidak pernah melakukan dengan cara menggurui.

“Saya biasanya berbagi pengalaman yang kira-kira hampir sama dengan masalah tersebut. Itu saya kira lebih efektif. Caranya kita sentuh hatinya dulu. Setelah mereka mengamini hal-hal yang dianggapnya bermanfaat bagi dia dan keluarganya, mereka kemudian menjadi kepanjangan tangan untuk menyampaikan ke keluarganya, ke saudaranya, dan teman yang lebih luas. Kita jadi mudah dan terbantu dalam menyampaikan hal ini.”

Terkait dengan pola asuh anak, Jatmiko membuat kesepakatan dengan istri, bahwa pekerjaan di dalam rumah dan pengasuhan anak itu tanggung jawab bersama. Memang susah awalnya, tapi kemudian yang pasti ia selalu menyisihkan waktu efektif buat anak. Sekarang waktu pertama untuk keluarga, ketika pekerjaan rumah sudah beres barulah ia keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah. Dia mengakui memang ada beberapa pekerjaan rumah yang tidak bisa ia lakukan, misalnya menyetrika. Konsekuensinya ia harus selalu membayar jasa orang untuk menyetrika.

“Setara itu tidak harus semuanya bisa kita lakukan tapi sesuai dengan proporsi dan kemampuan kita. Kalau kita gak bisa ya ndak usah malu, bilang saja tidak bisa. Jadi memang kalau tidak bisa ya harus diambil alih pasangan saya,” pungkasnya.

Jumat, 09 Jun 2017 12:12

DSC_0025_-_Copy.JPG

Istri pertama saya HP.” Komentar ini saya dengar dari Dwi Hastanto, salah satu peserta diskusi kelas ayah, bapak dari seorang anak perempuan berusia 2,5 tahun. Ungkapan senada juga saya dengar langsung dari istrinya, Hana, di sesi diskusi kelas ibu, “Dia lebih suka dengan HP daripada dengan saya.”

Hana dan Dwi menikah tiga tahun yang lalu, setelah berpacaran selama lima tahun. Mereka tinggal di Desa Bendung, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, bersama keluarga Hana. Perempuan bertubuh kurus tinggi ini merupakan anak tertua dari tiga bersaudara, adiknya laki-laki semua. Hubungan mereka dengan orang tuanya sangat dekat, mereka saling terbuka, dan pekerjaan rumah selalu dilakukan bersama. Kondisi inilah yang membuat Hana lebih betah tinggal di rumah orang tuanya sendiri dibandingkan dengan tinggal bersama mertua yang otoriter dan tidak hangat. 

Sayangnya kebahagiaan ini hanya dirasakan pada minggu pertama awal pernikahan saja. Setelah itu, pernikahan mereka sering diwarnai pertengkaran. Pemicu utamanya adalah HP. Perselingkuhan pada masa pacaran ternyata masih berlanjut. Melalui HP, Dwi berhubungan dengan selingkuhannya dan teman-teman perempuan lainnya. Dia selalu menanggapi setiap curhatan teman-teman perempuannya. Namun, ketika Hana mengajak bicara, tidak pernah ditanggapi. Hana pernah berkata, “Daripada ngobrol sama temanmu, lebih baik ngobrol dengan aku, istrimu.” Dwi menjawab, “Yo ra asik[1], HP ini satu-satunya hiburanku.”

Beberapa kali Hana meminjam HP mas Dwi tetapi selalu ditolak dengan berbagai alasan. Kalaupun dipinjami, semua pesan sudah dihapus. Namun, Hana tetap mencoba menelisik, dengan cara memindah kartu Dwi ke HP Hana. Di HP Hana, muncullah semua percakapan itu. Hal ini membuatnya sangat marah dan melempar HP ke arah suaminya, bahkan pernah juga ia membanting HP suaminya tetapi Dwi diam saja. Sikap diam ini semakin membuat Hana marah dan tidak mengetahui isi hati suaminya.

Ketika mengetahui dirinya hamil, Hana sempat tidak menginginkan kehamilan ini karena jengkel pada suami. Kandungannya tidak dijaga dengan baik. Ia masih suka pecicilan, misalnya memanjat pohon. Dwi pun tidak pernah menanyakan kondisi kehamilannya. Meskipun empat kali mendampingi periksa kehamilan, ia tidak pernah mempedulikan kesehatan istri dan janin yang dikandungnya. Ketika melahirkan, Dwi memang mendampingi istrinya melahirkan tetapi bukannya mendukung Hana, ia malah bergurau dengan anak-anak sekolah yang sedang praktik di sana. Kekesalan dan kekecewaan Hana pun memuncak. “Tahu gini nggak usah hamil,” ujarnya.

Pasca-melahirkan Hana merasa bahagia meskipun awalnya tidak menginginkan bayi itu. Perasaannya berubah ketika melihat kelucuan bayinya. Pertengkaran pun sedikit mereda karena perhatian mereka beralih ke si buah hati. Dwi pun terlihat bahagia dan mau mencuci pakaian meskipun hanya lima hari. Setelah itu segala pekerjaan rumah tangga dilakukan Hana sendiri. Sampai buah hatinya berusia dua tahun, kondisinya belum berubah. Sehari-hari Hana mengajar di TK dan Dwi mengajar di madrasah aliyah swasta dan pada malam hari berjualan angkringan. Sang putri kecil selalu diajak Hana ke sekolah agar bisa bermain dengan anak-anak seusianya. Pulang dari sekolah, Hana melakukan semua pekerjaan rumah tangga dan mempersiapkan masakan yang akan dijual di angkringan. Hal ini dilakukannya sambil mengasuh anak. Meski repot dan Dwi sama sekali tidak mau membantu, ia tetap menjalaninya

Sepulang mengajar, Dwi tidur atau berkutat dengan HP-nya, tanpa memedulikan kondisi rumah ataupun anaknya. Jika anak mendekat, Dwi malah menjauh, “Kono karo ibukmu.[2] Kondisi ini membuat perempuan berjilbab ini merasa lelah dan marah. “Perasaan saya sebenarnya jengkel, punya suami itu nggak enak, maunya enak sendiri. Kalau secara fisik, sih, dia emang nggak pernah mukul tetapi kalau diminta bantu, katanya sudah capek dengan pekerjaannya,” ujar Hana dengan nada tinggi, saat itu diskusi kelas ibu sedang membahas pembagian peran dalam rumah tangga. Saya bisa merasakan kemarahan Hana. “Pernah, lho, Mbak, ketika anak saya berusia dua bulan, saya taruh saja dia di atas tanah agar saya bisa menyapu halaman rumah. Terkadang, ketika anak rewel, saya biarkan anak menangis lama, dengan harapan suami mau mengangkat dan menenangkan anak itu, tetapi suami sama sekali tidak peduli.” Pada puncak kemarahannya, Hana mengungkapkan penyesalannya menikah dengan Dwi, “Tapi mas Dwi diam saja.”

Sebagai perempuan bekerja dan memiliki anak, saya bisa merasakan posisi Hana. Beban ganda memang berat. Saya merasa beruntung karena sangat didukung oleh suami. Meskipun saya mengisi diskusi pada hari Minggu, suami tidak berkeberatan. Dia akan mengasuh anak di rumah. Pernah suatu kali tetangga berkomentar, “Bundane ke mana? Wah mesakke yo hari libur ditinggal bundane. Lha trus mangane kepiye? Sek ngadusi sopo?[3] Dengan enteng, suami saya menjawab, “Ya, saya sendiri yang melakukan, bundanya ada jadwal kerja.” Bahkan ketika saya banyak melewati hari libur di komunitas, suami dan anak saya akan dengan senang hati ikut meski dengan jarak tempuh dua jam, bahkan dalam kondisi hujan. Kami bahagia melalui itu semua. Kami anggap itu berlibur ke desa, menikmati alam.

Persoalan HP selalu menjadi pemicu percekcokan dalam rumah tangga mereka. “Yang sering dipermasalahkan oleh istri saya adalah HP. Bagi saya, HP itu istri pertama. Istri kedua yang ada di rumah. Kenapa? Karena HP ini selalu menemani ke mana pun saya pergi.” Mereka menyadari, putri kecilnya akan menjauh ketika terjadi percekcokan. Miskomunikasi sering terjadi antara keduanya. “Meskipun bertemu setiap hari tetapi jarang sekali ngobrol,” ujar pria perokok ini pada sesi diskusi tentang komunikasi yang difasilitasi Thonthowi. Kondisi ini diperburuk dengan minimnya waktu bersama di antara mereka. Setiap hari Dwi mengajar, pulang lalu tidur, jam empat sore hingga jam dua dini hari berjualan angkringan. Sepulang berjualan, anak dan istri sudah tidur. Pagi hari ia sibuk mempersiapkan keperluan mengajar. Hana sendiri merasa tidak tenang selama suaminya bekerja satu kantor dengan selingkuhannya. Saat tidur pun pikiran Hana tetap ke suami, kecurigaan itu selalu muncul. “Jangan-jangan, selama berjualan angkringan, suami leluasa berkomunikasi dengan selingkuhan dan teman-teman perempuan lainnya.” Hal ini berdampak pada tubuhnya yang semakin kurus.   

Sensitivitas dan kesadaran Dwi akhirnya muncul. Hal itu diakuinya setelah mengikuti diskusi dua jam di komunitas, utamanya pada sesi komunikasi dan pembagian peran dalam rumah tangga, puncaknya pada meeting couple. Meeting couple memang didesain untuk membantu pasangan mengungkapkan hal-hal yang selama ini tidak bisa dikomunikasikan dengan baik, baik itu masalah pengasuhan, pembagian peran dalam rumah tangga, komunikasi, seksualitas, apa yang disuka dan tidak disuka dari pasangan, dan persoalan lainnya sehingga mereka bisa saling mengerti dan memahami apa yang dirasakan pasangan yang selama ini tidak pernah diungkapkan dan tidak dikomunikasikan dengan baik.

Semenjak itu, muncul komitmen darinya untuk memperbaiki hubungan dengan istri, dimulai dengan mengubah pola komunikasi. Meski awalnya terasa canggung, akhirnya mereka berhasil mencairkan komunikasi yang selalu diawali oleh istrinya. Sehari-hari Hana memang selalu bercerita tentang anak dan aktivitas hariannya kepada suami. Pada mulanya ia hanya mendapat respons sekadarnya, bahkan kadang tidak mendapat respons sama sekali, lama-kelamaan Dwi menanggapinya dengan baik. “Saya ingat pertama kali kami bisa ngobrol dengan lancar itu ketika saya membahas soal Lintang, anak kami. ‘Besok Lintang kita sekolahkan di mana, ya? Pendidikan seperti apa yang akan kita berikan?’” Dwi menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Seterusnya, apa pun yang dibicarakan Hana, Dwi akan merespons dan memberikan masukan. Bahkan, saat ini, Dwi sudah mulai bercerita terlebih dahulu tentang pekerjaannya. Hal ini membuat Hana bahagia karena tahu apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh suaminya. Situasi ini didukung berkurangnya Dwi memegang HP dan semakin banyaknya waktu Dwi untuk keluarga. Saat ini, Dwi memutuskan untuk tidak mengajar dan berjualan angkringan lagi. Ia ingin fokus berdagang buah di pasar dari pagi hingga sore. “Agar lebih banyak waktu untuk keluarga,” ujar laki-laki berambut cepak ini. “Ya masih pegang HP, sih, Mbak, tapi untuk urusan pekerjaan saja, tidak lagi menanggapi BBM curhat teman-teman perempuannya,” tambah Hana.

“Dulu saya beranggapan laki-laki jangan sampai melakukan pekerjaan di rumah. Sekarang saya memahaminya berbeda, pikiran itu ternyata keliru,” ujar Hana pada sesi pembagian peran dalam rumah tangga, “Saat ini, pekerjaan rumah dilakukan suami tanpa menunggu permintaan saya. Sesudah makan sekarang ia mau mencuci piring sendiri. Ketika melihat rumah belum disapu, Dwi akan menyapu. Ketika melihat pakaian belum dicuci pun, dengan serta-merta dia mencucinya. Kalau mau makan, tidak perlu disiapkan. Kalau tidak ada lauk, ya, dia mau bikin sendiri atau beli di warung. Itu yang saya suka dari mas Dwi,” ujar perempuan lulusan sarjana ini. Perasaan kecewa dan kekesalan Hana pun berkurang. Hal ini berdampak pada hubungan intim dengan suaminya, ia mulai menikmati ketika berhubungan intim dengan suaminya karena ada rasa nyaman dan tenang. Dulu, hal itu dilakukan karena terpaksa, “Cuma karena kewajiban sebagai istri saja, Mbak.” Dulu, Hana pernah menolak beberapa kali hingga membuat Dwi marah besar.

Tidak hanya istri, kepada putri semata wayangnya pun sikap Dwi berubah. Meskipun pada awalnya sang anak menolak, dengan dukungan Hana, Lintang mau mendekat. Hana memberi penjelasan kepada Lintang, “Kono pakpung kaleh bapak, ibu lagi repot masak,”[4] atau Kono tumbas kaleh bapak, ibu lagi nyapu.[5] Lama-lama Lintang terbiasa dengan ayahnya. Apalagi saat ini ayahnya sering membelikan makanan ketika pulang, ngeloni saat tidur. Bahkan, sekarang, ketika mau tidur Lintang selalu menanyakan ayahnya. Meskipun merasa repot karena anak ingin selalu dekat dengannya, Dwi bahagia. Pernah suatu hari dia berdua saja dengan putri kecilnya di rumah, istrinya sedang ke Wonosari menghadiri rapat. Hari itu dia berencana membuat kandang ayam. Rencana itu batal total karena ketika hendak bekerja, ia selalu saja dipanggil putri kecilnya untuk diajak main ini dan itu, minta digendong. Hingga sore, tidak satu pun pekerjaan terselesaikan. Meskipun kesal, dia merasa bahagia karena merasa dibutuhkan buah hatinya. Dari kejadian itu dia pun merasakan ternyata mengasuh anak tidak mudah, ia bisa merasakan kerepotan istrinya sehari-hari mengasuh anak sendirian. 

Ketidakdekatan Dwi dengan anak ini bukan tanpa alasan. Dwi kecil tidak dekat dengan ayahnya. Sikap ayahnya yang otoriter dan kesukaannya menjewer membuat anak-anak takut. Sesi pengasuhan membuatnya berefleksi pengalamannya diasuh ketika kecil. Hal yang diingat dari bapak adalah uang. “Ketika SMA, saya tinggal di kos dan waktu itu, setiap Sabtu sore saya pulang dan berangkat lagi Senin pagi. Pada sebuah Sabtu, sepulang dari sekolah, saya melihat uang di meja kamar saya. Ayah menaruhnya di situ untuk bekal sekolah. Biasanya, ibu yang memberikan uang, walaupun uangnya dari ayah.” Hal ini sangat berkesan baginya karena sang ayah tidak pernah berkomunikasi dengannya. Menginjak dewasa, Dwi diajari ayahnya untuk tidak dekat dengan anak karena kalau dekat dengan anak, ia tidak bisa ke mana-mana. Namun, Dwi menampik itu semua. Kedekatan dengan anak membuatnya lebih bahagia dan anakpun sayang padanya. “Semenjak ikut Rifka, anak maunya dengan saya terus,” ujarnya.

Saya yakin perubahan memang tidak mudah dilakukan tetapi sangat mungkin jika ada niat dan terus berusaha, serta ada dukungan dari pasangan. “Dulu terjadi miskomunikasi dengan istri, saya masuk rumah dia keluar rumah. Sekarang berbeda, kami menjadi dekat. Kepercayaan istri juga mulai terbangun setelah saya memutuskan teman selingkuh saya. Dulu, istri saya anggap istri kedua, istri pertama HP. Saat ini, akhirnya saya bisa mengesampingkan HP. Kepercayaan istri dan kedekatan kami semakin terbangun,” komentar Dwi pada sesi evaluasi diskusi.

Kondisi inilah yang kita harapkan bagi pasangan yang mengikuti diskusi, hubungan mereka semakin harmonis dan bahagia. Dalam keluarga yang sehat, anak akan tumbuh bahagia tanpa kekerasan. Hal ini bisa terwujud dengan adanya relasi yang sehat dan berbagai saling: saling mengerti, saling menghargai, saling terbuka, saling percaya, saling membantu, saling mengingatkan, saling dukung, saling menyayangi dan mencintai, saling memberi dan menerima, dan saling-saling lainnya.


[1] nggak asyik

[2] “Sana, sama ibumu.”

[3] “Bundanya ke mana? Wah kasihan, ya, hari libur ditinggal bundanya. Lalu makannya bagaimana? Yang memandikan siapa?”

[4] “Sana mandi sama bapak, ibu sedang repot masak,”

[5] “Sana beli (jajan) sama bapak, ibu sedang menyapu.”

Sabtu, 04 Juli 2015 08:31

Beda pendapat antara suami dan istri adalah hal alami yang dapat terjadi pada siapa pun. Namun, apabila tidak ada komunikasi yang cukup, perbedaan pendapat rentan menjadi sumber percekcokan. Apabila percekcokan tersebut sulit untuk diselesaikan, seringkali anak yang menanggung konsekuensinya.

Sebut saja kisah suami istri Danar dan Nia (bukan nama sebenarnya). Mereka mempunyai tiga putri, satu duduk di SMP, dan dua duduk di bangku SMA. Danar bekerja di perusahaan yang menuntut untuk dinas di tempat yang berbeda-beda, baik di Jawa maupun luar Jawa. Perpindahan tersebut juga sulit untuk diprediksikan. Keduanya punya prioritas yang berbeda. Danar berpendapat, suami dan istri harus tetap tinggal di satu atap. Jadi apapun alasannya, anak-anak dan istrinya harus mengikuti kemana Danar bermukim. Selain itu, Danar juga berpendapat mempunyai keinginan seksual yang tinggi, sehingga ia tidak ingin tinggal terpisah dengan istrinya.

Sebaliknya, Nia, istrinya, berpendapat bahwa perpindahan dinas yang terus menerus tidak baik dampaknya terhadap pendidikan anak. Setiap kali anak harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Apabila suami sering berpindah tempat dengan frekuensi yang tidak jelas, ia berpendapat pendidikan anak akan terkorbankan, terlebih anaknya sudah masuk ke jenjang SMP dan SMA, yang menuntut belajar yang lebih intensif. Selisih pendapat tersebut dibiarkan berlarut-larut, dari awal pernikahan, tidak pernah coba dibicarakan. Danar, menurut Nia, adalah tipe yang lebih suka menghindari perdebatan.

Si sulung sangat merasa terganggu dengan persoalan tersebut. Ayah dan ibunya malah suka ‘curhat’ dengan anaknya dan tidak membicarakan antar mereka. Dan ketika si anak memberikan saran, si anak menganggap ayah ibunya justru tidak mendengarkan pendapat tersebut. Pada akhirnya si sulung menjadi anak yang sulit berkonsentrasi, mengalami gangguan emosi, dan tidak betah berada di rumah. Rumah bukan lagi tempat yang nyaman. Si anak senantiasa ingin berkegiatan di luar, karena sudah merasa lelah dengan curhatan kedua orangtuanya.

Apa yang sebaiknya dilakukan ketika terjadi perselisihan semacam ini? Novia Dwi Rahmaningsih, salah satu konselor psikologi Rifka Annisa berpendapat, ada beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan. Meski, setiap pasangan mempunyai keadaan yang berbeda-beda.

  1. Dengarkan dengan baik pendapat satu sama lain. Ketika melakukan ini, dengarkan dengan tuntas, tidak memotong apa yang dikatakan pasangan atau anak.
  2. Pilih kesempatan yang baik untuk bertanya tentang pendapat mereka. Tandai mana kesempatan yang kondusif, yakni kondisi yang santai dalam keluarga.
  3. Saat bertanya tentang pendapat anak, tahan keinginan untuk ceramah atau justru menggiring anak untuk menyetujui pendapat kita. Biarkan anak berpendapat terlebih dahulu. Ada tipe anak yang tidak mau cerita atau menarik dirinya untuk berpendapat ketika orangtua berbicara terlampau banyak. Paparkan terlebih dahulu situasi yang ada, misal dengan ‘Nak, Bapak dan Ibu sedang ada perbedaan pendapat. Bapak dan Ibu ingin tahu pendapatmu. Saat ini, Bapak kerjanya berpindah-pindah. Menurutmu, kamu lebih suka berpindah-pindah, atau menetap di sini?’ Dengarkan pendapat anak dengan tuntas. Setelah itu baru masuk ke kira-kira konsekuensi apa yang ia pilih.
  4. Setelah mendengarkan pendapat-pendapat dengan tuntas, kita dapat mengungkapkan pendapat kita. Lakukan dengan tidak berharap orang lain pasti setuju dengan pendapat kita untuk menghindari debat kusir.
  5. Dalam proses mengungkapkan pendapat, kita juga dapat mengungkapkan perasaan kita. Misal dengan ‘Mengapa nada Bapak mulai tinggi? Saya merasa tidak nyaman.’
  6. Ketika diskusi justru berlangsung panas, ambilah jeda, atau meminta berhenti sejenak dari diskusi tersebut. Sepakati dengan pasangan, misal mulai kembali diskusi keesokan harinya, atau setelah makan malam, atau waktu lain yang disepakati. Pastikan jeda tersebut hanyalah jeda, bukan untuk menghentikan proses diskusi. Sepakati kapan akan melakukan diskusi kembali. Apabila terjadi hal yang sama, ambil jeda kembali. Dalam waktu jeda, kita bisa mengambil aktivitas yang menyenangkan, tidur, atau mandi, untuk meredakan amarah. Selain itu coba pikirkan kembali, apa yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada diri Anda atau pasangan.
  7. Pada akhirnya ada hal-hal yang dikompromikan. Kompromi bukan berarti harus mengalah salah satu, karena pengertian mengalah seolah-olah kemudian pasrah kepada semua pendapat pasangan. Dalam kompromi, mungkin ada bagian yang kita setujui dari pasangan, atau ada hal yang disetujui pasangan dari kita. Urai lagi aspek-aspek apa yang menurut kita penting. Kadangkala, apa yang kita anggap penting, tidak berarti penting bagi anak, dan begitu juga sebaliknya. Titik beratkan fokus pada perspektif atau keinginan anak.
  8. Terakhir, hargai kesepakatan yang telah dibuat dan anggap kesepakatan tersebut sangat penting dengan menjalankannya. Apabila nantinya ada sesuatu yang berbeda dengan kesepakatan, lakukan diskusi kembali. []
46395130
Today
This Week
This Month
Last Month
All
616
68938
247375
306641
46395130