Rabu 19 Oktober, ‘He For She goes to Campus’ diadakan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Grup music dari Jakarta bernama ‘Simponi’ yang mengkoordinasikan acara tersebut; yang menampilkan campuran musik mereka sendiri dan mencakup kesetaraan gender dan kekerasan terhadap perempuan. Masing-masing dari empat anggota band berbicara tentang fakta-fakta dan angka sekitarnya tentang ketidaksetaraan gender di Indonesia dan global. Ada beberapa orang berbicara tentang pengalaman pribadi, seperti salah satu anggota band yang pernah menyaksikan ketidakadilan gender dalam masyarakat Indonesia yang datang dari keluarga orang tua tunggal. Dia menyaksikan ibunya yang terpinggirkan dan diejek untuk posisinya.
Semua acara disampaikan dalam bahasa Indonesia sehingga sedikit sulit untuk saya mengherti. Powerpoints lebih mudah untuk saya tetapi percakapan biasa lebih sulit dan saya tidak mengherti semua. Untungnya ada Rara, mahasiswa magang dari Universitas Brawijaya, yang membantu saya dan itu fantastis ketika Rara menerjemahkan bagi saya segmen yang sangat menarik di mana mereka meminta lima perempuan dan lima relawan laki-laki dari penonton. Mereka datang ke depan dan diminta untuk membaca daftar pernyataan untuk diri mereka sendiri dan jika mereka setuju mereka akan tetap berdiri di depan dan membaca pernyataan keras kepada penonton dan jika mereka tidak setuju mereka diminta untuk duduk kembali.
Tujuh orang duduk dan satu perempuan dan dua laki-laki tetap berdiri. Ketiga kemudian membaca laporan keras untuk penonton. Dari apa yang saya mengerti dan apa yang diterjemahkan untuk saya, semua mendukung gerakan menuju masyarakat yang adil gender melalui kerja sama dari kedua perempuan dan laki-laki. Termasuk kerjasama untuk menghindari menyalahkan korban ketika terjadi perkosaan. Misalnya, dengan pernyataan bahwa perempuan harus berpakaian sopan dan pantas untuk melindungi dirinya dari penilaian maupun kekerasan berbasis gender. Dari perspektif pribadi, ide ini menyalahkan korban, dan membalikkan malu dan menyalahkan seorang wanita yang diperkosa misalnya, mengatakan karena dia mengenakan item pakaian tertentu itu salahnya sehingga dia diperkosa.
Namun, saya pikir itu fantastis bahwa kegiatan kampanye ‘He For She’ pergi ke Kampus adalah tempat di mana individu bisa datang, berbagi ide dan perspektif, memetakan dan bersama-sama memahami apa artinya bagi Indonesia untuk terus mencapai tujuan masyarakat yang adil gender, yang tidak mentolerir kekerasan terhadap perempuan dan satu yang memberdayakan laki-laki dan perempuan untuk mengetahui nilai kesetaraan.
Sebagai peserta asing, acara ini sangat bermanfaat bagi saya untuk melihat seperti apa bangunan momentum positif bagi kesetaraan gender di Indonesia. Untuk mendengarkan aksi penolakan dari banyak orang dan fakta tentang tingkat kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dan semangat tinggi mereka untuk benar-benar membuat perubahan di komunitas mereka, universitas mereka, negara mereka, itu luar biasa.
Penulis: Emma Hardy, Mahasiswa magang dari Universitas Monash, Australia, Fakultas Ilmu Budaya
Iringan barisan prajurit lengkap dengan pakaian adat jawa silih berganti membawa gunungan berjalan menuju alun-alun Wonosari. Warga sekitar berbondong-bondong menyaksikan upacara peringatan hari ulang tahun Gunung Kidul ke- 184 pada hari rabu, 27 Mei 2015 di alun-alun Wonosari. Seremonial hari jadi Gunungkidul dilanjutkan dengan diselenggarakan kirab budaya yang diarak berkeliling seputaran Kota Wonosari yang berjarak kurang lebih 5 km. Kirab budaya dimulai dari alun-alun Wonosari ke timur menuju Pasar Argosari kemudian belok ke arah jalan Sumarwi dan finishnya di halaman Balai Desa Wonosari.
Kirab budaya dalam rangka hari lahir (harlah) Gunungkidul ini juga dimeriahkan oleh Rifka Annisa beserta 450 orang dari beberapa komunitas dampingannya. Mereka berdatangan dari beberapa kecamatan yang berbeda, seperti Wonosari, Gedangsari, Semin, Saptosari, Patuk dan Playen. Dari beberapa kecamatan yang berbeda kemudian dikumpulkan, dipersatukan untuk mengikuti proses kirab budaya. Eni Sunaryah selaku koordinator peserta dari komunitas ‘Setia Mitra’ Wareng, kecamatan Wonosari menyampaikan kesannya, “Menyenangkan sekali jadi bisa tambah saudara, bisa kenal komunitas lain serta komunitas kita jadi bisa dikenal masyarakat luas dan mendapatkan perhatian dari pemerintah Gunungkidul”.
Mereka berseragam, berbaris rapi turun ke jalan menuju alun-alun Wonosari untuk mengikuti proses kirab budaya. Dengan menggunakan pakaian pelajar sekolah dari tingkat SD-SMP-SMA, Rifka Annisa hadir dengan konsep teaterikal diiringi yel-yel “pendidikan dini penting, pernikahan dini pending” serta membawakan spanduk dan plakat yang bertuliskan “Cari Ijazah dulu baru Ijab syah”, “Tunjukan Prestasi Sejak Dini bukan Pernikahan usia dini”, “Stop pernikahan usia anak”, “Cah cilik luwih becik nggendong tas sikik tinimbang nggendong anak”.
“Pesan dari tulisan plakat dan yel-yel tersebut menceritakan tentang ketidakharmonisan keluarga yang berdampak pada anak terjerumus dalam pergaulan bebas, sex bebas serta mengalami kehamilan yang tidak diinginkan tatkala usianya yang masih belia dan teman-temannya masih sekolah dia sudah nikah dini dan sudah hamil duluan” tutur Eni.
Di samping itu keikutsertaan Rifka Annisa dan komunitas dalam kirab budaya juga menjadi ajang wahana yang efektif dalam mensosialisasikan pencegahan pernikahan usia anak di Gunungkidul. Mengingat kasus pernikahan usia anak di Gunungkidul masih tergolong tinggi. Berdasarkan data kasus dari pengadilan agama Wonosari tercatat 146 dispensasi pernikahan anak dibawah umur pada tahun 2014 bahkan hingga bulan februari tahun 2015 tercatat 15 kasus dispensasi pernikahan anak dibawah umur.
“Harapan terbesar saya, pesan yang kita kampanyekan dan kita tulis dalam sebuah papan kampanye tadi, benar-benar dapat terealisasikan dengan baik. Di antaranya adalah munculnya kesadaran masyarakat Gunungkidul tentang kesetaraan gender, tidak ada lagi kekerasan, tidak ada lagi pernikahan dini, lebih mengedepankan pendidikan anak” tutur Rini Koordinator peserta dari FPK2PA desa Bleberan.
Khalida Noor
Relawan Humas dan Media
Rifka Annisa