Seorang penyintas korban KDRT menceritakan alasannya untuk tetap bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan.
"Saya dipukuli, kepala dibenturkan ke kusen jendela depan rumah sampai babak belur, lalu dijongkrokin ke taman sampai jempol kiri patah," kata Ninin Damayanti, penyintas (survivor) kekerasan dalam rumah tangga, menceritakan kejadian saat suaminya melakukan kekerasan padanya beberapa tahun lampau.
Sebelum kejadian itu, Ninin juga pernah mengalami kekerasan yang cukup fatal sampai dia masuk rumah sakit. "Tapi ada pemaafan, saya berpikir dia bisa berubah kok, dia akan menjadi orang baru," kata Ninin kepada BBC News Indonesia.
Namun selama empat tahun Ninin hidup dengan perasaan was-was, "karena saya tahu KDRT itu siklus, saya khawatir itu akan terulang lagi tapi (saya berpikir) jalani saja, jalani saja karena faktor keluarga, anak," kata dia.
Ternyata kekhawatirannya beralasan: kekerasan itu terjadi lagi.
"Badan dilempar-lempar tidak karuan, ditarik, dijambak, dijedotin lagi sampai kena pot. Kira-kira itu yang saya ingat, sampai di rumah adik, baru saya melihat kok badan lebam-lebam biru, kepala berdarah, kaki benjut nggak bisa jalan," ungkapnya.
Saat kejadian, Ninin bisa berlari dan mengunci diri di kamar sambil menelepon adiknya untuk datang menjemputnya, sementara tetangga memanggil satpam untuk menghentikan suaminya (waktu itu) yang berusaha mendobrak pintu.
Kondisi itu yang akhirnya membuatnya memutuskan untuk keluar dari hubungan dengan kekerasan tersebut .
"Saya memutuskan kalau dulu sudah pernah kejadian, dan ini kejadian lagi maka besok akan terulang lagi karena orang nggak akan berubah. Akhirnya aku memutuskan, cukup ya, tidak mau lagi," kata dia.
Direktur Rifka Annisa Women's Crisis Center, Suharti, menjelaskan bahwa ada banyak perempuan tetap bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan, dengan berbagai alasan.
"Korban kekerasan mengalami dinamika psikologis yang luar biasa sehingga orang kadang heran, kenapa sih dia bisa berulang kali mengalami kekerasan tapi tetap memilih untuk berada dalam hubungan itu?" kata Suharti saat dihubungi oleh BBC News Indonesia.
Rifka Annisa menerima rata-rata 350 laporan kekerasan per tahun. Tapi jumlah ini bukan gambaran kasus kekerasan oleh pasangan yang terjadi di Indonesia.
Hanya sedikit sekali perempuan yang mau melaporkan kekerasan yang dialaminya ke lembaga layanan seperti polisi, pemuka agama, maupun lembaga bantuan hukum dan psikologis.
Menurut penelitian Rifka Annisa, di Papua, misalnya, hanya 7% perempuan korban KDRT yang mau melaporkan pasangannya ke polisi. Di Sleman, Yogyakarta, hanya 2% perempuan yang mencari pertolongan.
"Sisanya diam," kata Suharti.
Ninin misalnya, memilih untuk tidak melaporkan suaminya (kini sudah mantan) ke polisi meskipun sudah mengantongi bukti berupa visum dari dokter.
"Akhirnya tidak ke polisi karena masih kasihan, keluarganya gimana ya, kedua, saya tahu kondisi polisi Indonesia seperti apa. Yang ada saya malah jadi korban kedua kalinya karena akan dihakimi," kata Ninin.
Lapor polisi dan mengikuti seluruh proses hukum bisa menyita banyak waktu dan tenaga. "Siapa yang bisa bantuin saya?" Akhirnya, Ninin memilih perceraian sebagai jalan keluarnya, dengan perwalian anak di tangannya.
Menurut Suharti, berbagai riset menemukan bahwa lembaga layanan seperti polisi dan pemuka agama justru mendorong perempuan untuk kembali dengan pasangannya, masuk kembali dalam lingkaran kekerasan.
Pertimbangan para perempuan untuk tidak melaporkan sangat beragam. "Pertama, ketergantungan ekonomi pada pasangan. Kedua, takut dapat stigma dari masyarakat kalau keluarganya bukan keluarga baik, kalau dia tidak mampu menjadi istri yang baik, bahwa dia tidak mampu menjaga keluarganya," kata Suharti.
Kultur masyarakat yang sangat patriarkis dan menempatkan perempuan pada kelas kedua membuat perempuan korban KDRT juga kerap kali dihakimi oleh masyarakat sebagai penyebab terjadinya kekerasan.
"Misalnya, salahnya sendiri kamu nggak bisa melayani suami dengan baik, kenapa nggak nurut sama suami, dan lain-lain," kata Suharti.
Alasan lain yang membuat para perempuan tetap bertahan -kata Suharti- adalah ketakutan ditinggal suami dan menjadi janda. "Status janda di budaya kita punya label negatif dan mereka tidak siap menerimanya."
Tapi alasan yang paling sering dijumpai oleh Suharti adalah tetap bertahan demi anak, "Ada yang takut anaknya tidak memiliki sosok ayah lagi, takut melukai hati anaknya, dan segala pertimbangan tentang anak."
Ninin adalah salah satu yang mencoba bertahan karena anak.
"Dari pengalaman aku kenapa mau bertahan, pertama faktornya kalau sudah berkeluarga itu anak. Jalani saja karena anak. Ada pemaafan, ada excuse, dia bisa berubah kok," kata Ninin.
Kekerasan tak hanya terjadi dalam rumah tangga tapi juga bisa terjadi dalam hubungan pacaran.
"Saat pacaran konteksnya berbeda. Kebanyakan diam karena mereka mendapatkan ancaman," kata Suharti, yang pernah melakukan dua riset mengenai kenapa remaja tidak mau meninggalkan pacarnya yang suka melakukan kekerasan.
"Misalnya mereka pernah berhubungan seks, pacarnya mengancam kalau tidak menurut, itu akan dibocorkan. Bisa dibayangkan di dalam kultur budaya kita yang masih berharap perempuan suci, harus menjaga moralnya, sehingga dia memilih diam," kata Suharti.
Dalam banyak kasus, perempuan baru bicara ketika sudah ada dalam "situasi ambang batas".
"Situasi ambang batas ini yang membuat perempuan berani meninggalkan hubungannya yang penuh kekerasan, misalnya lukanya serius karena kekerasan pasangannya," kata dia.
Belajar dari pengalamannya, Ninin menjelaskan bahwa hal yang paling dia butuhkan saat menjadi korban KDRT adalah dukungan dari orang-orang di sekitarnya.
"Ketika itu adik mendukung, ibu mendukung saya dan tidak menyalahkan. Kan tidak semua keluarga bisa menerima itu ya, bisa saja memberi nasihat, 'sudah nikah, jalani saja," kenang Ninin.
Untuk membantu perempuan korban KDRT, lingkungan keluarga, masyarakat, dan teman-teman harus mampu memberikan support positif.
"Memang tidak mudah, tapi kalau dia punya orang yang mendukung dan memahami kejadian yang diterimanya, akan lebih mudah keluar dari situasi itu," jelas Suharti.
Sebagai korban, Ninin merasakan sekali pentingnya dukungan orang-orang di sekitarnya, "Saat dalam fase pemulihan, saya trauma sekitar 6 bulan. Namun saat itu ada teman yg benar-benar mendukung sehingga saya merasa ada dalam lingkungan yang membuat nyaman, sehingga saya yakin bisa melalui ini."
Selain dukungan moral, perempuan juga perlu dukungan ekonomi.
"Dulu saya cukup berdaya karena saya bekerja, tidak terlalu susah mengambil keputusan karena merasa mampu menghidupi anak sendirian. Tapi ketika korban tidak punya penghasilan apapun, akan sulit bagi mereka untuk keluar," jelas Ninin.
Pada akhirnya, Ninin tidak menyalahkan mereka yang memilih untuk bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan. Dia yakin, mereka yang bertahan punya alasan kuat untuk melakukannya.
"Pilihan mereka harus dihargai. Memangnya kamu mau menanggung hidup dia? Kan nggak bisa, setiap orang punya pertimbangannya," kata Ninin.
Namun jika korban memutuskan bertahan, Ninin menyarankan mereka untuk melakukan persiapan dan tetap berani mengambil keputusan, "Dia harus siap jika suatu hari dia harus mengalami kejadian seperti saya, harus pergi dari rumah dengan keadaan terpaksa."
Persiapan itu termasuk punya tabungan rahasia, punya tempat evakuasi, menyimpan surat-surat penting seperti surat nikah, akta lahir anak sampai sertifikat rumah.
Ninin Damayanti membentuk Break the Silence Indonesia, komunitas yang membantu korban KDRT. "Sekarang target saya adalah pemberdayaan. Kalau ada korban yang ingin bertanya soal KDRT, silakan, saya terbuka," kata dia.
Ninin dapat dihubungi melalui WhatsApp di 0813 8102 9206
Sedangkan Rifka Annisa punya nomor yang dapat dihubungi 24 jam: 085799057765 dan 085100431298.
Sumber artikel: BBC Indonesia