Pentingnya akuntabilitas pada lembaga layanan publik mendorong Rifka Annisa WCC untuk mengadakan diskusi dan workshop pada Selasa, 20 Desember 2022 bersama Wasingatu Zakiyah dari Perempuan Indonesia Antikorupsi sebagai narasumber.
Kegiatan yang berlangsung di Aula Rifka Annisa WCC pada pukul 09.00 - 15.00 WIB ini lebih khusus ditujukan kepada lembaga layanan publik yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan kelompok rentan, yakni perempuan, anak, dan disabilitas.
Agenda ini dimulai dengan diskusi mengenai akuntabilitas dan antikorupsi pada lembaga layanan publik dalam kaitannya dengan isu gender, dilanjutkan dengan workshop peningkatan akuntabilitas lembaga layanan publik yang mencakup pembahasan mengenai: 1) layanan pendampingan perempuan dan anak, dukcapil, pernikahan; 2) hukum, kebijakan publik terkait perempuan dan anak, dan; 3) pendidikan, disabilitas, kesehatan
Melalui kegiatan tersebut, selain dapat menumbuhkan perspektif gender dan antikorupsi, para peserta juga ditujukan agar dapat mengenali dan mengidentifikasi berbagai tindakan korupsi pada sektor-sektor lembaga layanan publik berikut dampaknya, serta dapat merumuskan strategi untuk mengantisipasi tindak korupsi di lembaga layanan publik.
Adapun berbagai lembaga layanan publik yang hadir pada kegiatan diskusi dan workshop adalah Disdukcapil DIY, Dinas Sosial DIY, Dinas Kesehatan DIY, DP3AP2 DIY, D3AP2 Kota Yogyakarta, DP3AP2KB Kabupaten Sleman, RDU, UPT PPA DIY, UPTD PPA Kabupaten Kota Yogyakarta, UPTD PPA Kabupaten Sleman, Unit PPA Polda DIY, Unit PPA Kota Yogyakarta, Unit PPA Kabupaten Sleman, Sapda, PKBI, Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Perempuan Indonesia Antikorupsi, IDEA, ICW, dan Rifka Annisa WCC sendiri.
Dalam kegiatan ini, dipaparkan pula bahwa korupsi dapat terjadi dari skala kecil hingga skala besar. Namun demikian, korupsi dalam skala apapun dapat menimbulkan dampak signifikan bagi kualitas hidup masyarakat publik, terutama bagi kelompok rentan. Lebih lanjut, korupsi dapat menimbulkan berbagai dampak buruk baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Korupsi dalam skala kecil dapat berbentuk pungutan liar dan maladministrasi. Misalnya, praktik pungutan liar terhadap biaya pernikahan dan pengurusan akta nikah yang membuat proses menjadi mahal. Hal ini menyebabkan adanya pasangan yang memilih menikah tidak resmi secara adat atau agama, yang berdampak pada catatan sipil dan menyebabkan banyak anak tidak memiliki akta kelahiran, sehingga berujung pada hilangnya hak-hak anak sebagai warga negara. Kasus lain terjadi di Subang dan Indramayu karena adanya maladministrasi yang memanipulasi KTP anak-anak perempuan berusia 14 tahun menjadi 19 tahun untuk kemudian dieksploitasi atau diperdagangkan ke Batam hingga Pekanbaru.
Dalam skala besar, contoh korupsi yang terjadi misalnya pada penyaluran dana bantuan sosial (bansos) masa pandemi Covid-19 oleh mantan Menteri Sosial Juliari Batubara yang terbukti menerima uang suap sekitar Rp 32,482 miliar. Kasus ini antara lain terjadi karena kacaunya sistem pendataan penerima bansos dan proses penyaluran dana bansos, serta kurangnya pengawasan dan kebijakan tegas yang dilakukan oleh pemerintah dalam proses regulasi bantuan dana di Indonesia.
Wasingatu Zakiyah memaparkan pula aspek penting yang perlu diperhatikan mengenai korupsi adalah, bahwa korupsi pada gilirannya mampu menimbulkan sifat permisif sekaligus pesimis di masyarakat. Terjadinya korupsi di berbagai level membuat masyarakat melazimkan tindak korupsi itu sendiri, sehingga menjadi permisif. Mengutip Survey Komisi Independen Melawan Korupsi (1994), masifnya tindakan korupsi juga menimbulkan keyakinan bahwa perilaku demikian dibenarkan dalam suatu situasi, yaitu adanya sikap bahwa tidak ada gunanya melaporkan korupsi karena tidak ada tindakan yang bermanfaat akan diambil.
Dalam diskusi ditemukan bahwa dalam alokasi anggaran pelayanan publik, baik di bidang pendidikan, kesehatan, hingga sosial, secara regulasi sudah ada yang mengakomodasi. Namun, yang kerap menjadi permasalahan adalah minimnya pengawasan terhadap implementasi regulasi tersebut. Permasalahan akuntabilitas ini salah satunya juga disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat dan tidak transparansinya pada tahapan implementasi.
Menghadapi situasi demikian, diperlukan adanya gerakan sosial antikorupsi, baik secara struktural maupun kultural. Secara struktural, dapat dilakukan advokasi aturan maupun kebijakan. Lebih lanjut, gerakan struktural merupakan tantangan kolektif/bersama oleh orang-orang yang mempunyai tujuan umum dan solidaritas dalam interaksi yang berkesinambungan dengan elit, oposisi, dan otoritas.
Sedangkan secara kultural, menekankan pada sikap hidup antikorupsi yang berkelanjutan secara bertahap, pertunjukan dan kampanye yang dilakukan oleh orang-orang biasa dan membuat tuntutan secara kolektif.
Akuntabilitas di sini merupakan salah satu asas dalam Good Public Governance yang diperlukan agar setiap lembaga penyelenggara melaksanakan tugasnya secara bertanggung jawab, sehingga tidak menghilangkan hak-hak masyarakat sebagai penerima manfaat layanan publik.