Menyuarakan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi melalui Pengorganisasian Remaja (Promoting Sexual and Reproductive Health Rights through Youth Organizing)

Written by  Tri Kurnia Revul Andina Selasa, 15 Desember 2020 23:10

Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) adalah isu yang terbilang cukup pelik di Indonesia. Pasalnya, HKSR seringkali dicap tabu untuk sekadar diperbincangkan dan dalam tatanan normatif HKSR dianggap tak wajar dimunculkan di muka publik. Padahal, perlu disadari bahwa seksualitas dan reproduksi merupakan pengalaman tiap individu sehingga setiap individu berhak tahu dan paham pilihan-pilihan terbaik bagi tubuh mereka. Di kalangan remaja, kesehatan seksual dan reproduksi juga cenderung terabaikan karena terdapat miskonsepsi bahwa remaja tidak diperbolehkan menjadi makhluk seksual, kecuali pada kelompok tertentu, misalnya mereka yang sudah menikah atau di atas usia tertentu. Menurut World Health Organization (WHO), remaja adalah penduduk yang memiliki rentang usia 10-19. Sementara itu, dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2014, remaja adalah penduduk yang memiliki rentang usia 10-18 tahun. Lain lagi dengan WHO dan Menteri Kesehatan RI, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) mendefinisikan remaja sebagai penduduk yang berusia 10-24 tahun.

Tak seperti orang dewasa, remaja kerap dinilai belum cukup matang dan pantas untuk mendiskusikan tentang persoalan seksualitasnya. Pandangan ini berseberangan dengan fakta di lapangan di mana remaja memiliki risiko seksual yang sama dengan orang dewasa. Sebanyak 17 juta remaja perempuan berusia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya dan 95% kelahiran terjadi di negara berkembang. Ditambah, penularan virus HIV pada remaja usia 15-24 tahun mencapai 6000 penularan per hari. Remaja perempuan juga rentan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi yang tidak aman. Oleh sebab itu, penting untuk membekali remaja dengan pengetahuan dan informasi yang memadai terkait HKSR serta menyediakan akses pelayanan yang dibutuhkan remaja. Isu HKSR di kalangan remaja perlu mendapat perhatian khusus baik di level pemerintah maupun masyarakat, terlebih remaja tergolong kelompok yang secara kuantitas besar di Indonesia.

Menggaungkan HKSR remaja di Indonesia bukanlah persoalan mudah. Lembaga-lembaga masyarakat yang bergerak di isu ini pun menghadapi tantangan yang beragam dalam mengupayakan pemenuhan hak remaja atas kesehatan seksual dan reproduksi. Berbagai strategi dilakukan, termasuk mengorganisir dan mengikutsertakan remaja dalam upaya pemenuhan hak tersebut. Remaja sebagai target sekaligus subjek hendaknya turut mengilhami bahwa akses kesehatan seksual dan reproduksi merupakan hak mereka yang patut diprioritaskan dan diperjuangkan. Jika tidak ditangani dengan serius risikonya bisa menimpa siapa saja termasuk sanak, sejawat, dan tentunya mereka sendiri. Pengorganisasian remaja adalah satu pendekatan bagi lembaga masyarakat untuk mempromosikan HKSR di kalangan remaja dan secara bersamaan mengajak remaja untuk menyuarakan hak mereka atas akses kesehatan dan reproduksi yang mudah dijangkau, aman, nyaman, adil, dan tidak judgemental. Pengorganisasian remaja adalah pengembangan inovatif dan strategi keadilan sosial yang berusaha melatih remaja beradvokasi, mengelola komunitas, serta menggunakan keahlian tersebut untuk menciptakan perubahan yang berarti di komunitas mereka. Melalui pengorganisasian remaja, remaja dapat belajar untuk mengambil keputusan mengenai kehidupan seksual dan reproduksinya dengan bijak, positif, serta dengan kesadaran penuh walaupun tak dapat dipungkiri pada prosesnya banyak rintangan baik bagi lembaga pengusung isu HKSR maupun remaja itu sendiri.

 

Dinamika Pengorganisasian Remaja untuk Isu HKSR

The International Conference on Population and Development (ICPD) yang diselenggarakan di Kairo, Mesir tahun 1994 menetapkan berbagai jenis layanan yang termasuk dalam pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi antara lain konseling dan layanan keluarga berencana, perawatan pre dan pasca kelahiran dan persalinan, pengobatan dan pencegahan terhadap penyakit menular seksual dan infeksi HIV, serta penyediaan informasi dan konseling seputar seksualitas manusia. Beberapa program aksi yang telah ditetapkan ICPD ini telah dilakukan pula oleh Institut Hak Asasi Perempuan (IHAP) dan Cahaya Perempuan Women’s Crisis Center (WCC) dimana keduanya tergabung dalam Aliansi Satu Visi (ASV). ASV adalah jaringan kerja 20 organisasi yang bekerja bersama melakukan advokasi pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Pada diskusi Rifka Annisa yang mengangkat tema Pengorganisasian Remaja untuk Isu HKSR, direktur IHAP, Mirawati, memaparkan pengorganisasian remaja untuk isu HKSR yang sudah dijalankan IHAP dan masih berlangsung hingga sekarang. Pengorganisasian remaja tersebut dilaksanakan di tiga provinsi, yaitu di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kegiatan pengorganisasian remaja ini diawali di Boyolali, Jawa Tengah tahun 2013 di mana saat itu IHAP memperoleh dukungan dari kelompok karang taruna, remaja masjid, SMA, dan juga SMK. Pengorganisasian remaja terkait HKSR telah dilakukan setidaknya di tujuh kecamatan di Boyolali dan bersama para pemberi dana, IHAP membentuk Gerakan Menuju Kesetaraan (GRET). Di DIY, IHAP memfokuskan pengorganisasian remaja di Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul. Pengorganisasian remaja untuk isu HKSR di tiga daerah tersebut sebelumnya sudah digagas oleh CD Bethesda dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY. IHAP kemudian berkolaborasi dengan CD Bethesda dan PKBI DIY untuk mengadvokasi HKSR remaja di sekolah-sekolah dan telah berjalan selama kurang lebih tiga tahun. Tahun 2015, IHAP memperluas jangkauan pengorganisasian remaja ke wilayah timur Indonesia yakni di kota Kupang. Tak hanya wilayah saja yang meluas, cakupan remaja di kota Kupang merambah ke komunitas motor yang selama empat tahun ini masih aktif mengadakan diskusi tentang HKSR. Di Kupang dan Manggarai, IHAP banyak menyelenggarakan kegiatan bersama gereja Protestan, di antaranya menyusun modul HKSR untuk remaja dan menyediakan shelter bernama Rumah Harapan sebagai tempat para remaja untuk menggali lebih dalam soal HKSR. Saat ini IHAP juga secara rutin menyelenggarakan kelas-kelas HKSR untuk remaja yang dinamai Youth’s Get Up, Youth’s Speak Up, dan Youth’s Movement.

Meskipun sering diterima dengan tangan terbuka, pengorganisasian remaja yang dijalankan IHAP tidak jarang pula mendapat benturan. Pada tahun-tahun pertama pengorganisasian remaja dilaksanakan, tepatnya tahun 2012 sampai 2013, komitmen remaja untuk berpartisipasi sangat rendah. Bahkan, jumlah remaja yang lama kelamaan tidak mengikuti kegiatan bisa mencapai lebih dari setengah. Ini merupakan persoalan manajemen pengelolaan program yang perlu ditangani betul oleh lembaga agar tidak terjadi pada program lainnya. Selain itu, IHAP pernah menghadapi situasi di mana pendekatan hak asasi manusia (HAM) yang disampaikan oleh IHAP dianggap sebagai doktrin barat dan tidak sesuai dengan nilai dan norma setempat. Hal serupa terjadi ketika IHAP berusaha memberikan pemahaman terkait Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). IHAP justru dituding mendukung praktik seks bebas. Permasalahan HKSR remaja tidak hanya terletak pada HKSR itu sendiri, melainkan juga masalah-masalah lain yang telah mengakar sejak lama, misalnya hegemoni budaya dan politik, serta model pendidikan formal yang cenderung membungkam para remaja dan secara tak sadar remaja menjadi sangat inferior. Adanya normalisasi kekerasan akibat budaya patriarki yang masih sangat kental dan sistematis di semua lini kehidupan membuat persoalan HKSR semakin terkesampingkan. Keadaan ini diperparah dengan anggapan seolah-olah HKSR hanyalah irisan aspek kesehatan saja, padahal HKSR semestinya dilihat dari berbagai sudut pandang, termasuk dari sisi sosial-budaya, politik, atau bahkan ekonomi.

 

Perlunya Penguatan Pengorganisasian Remaja untuk Isu HKSR

Seksualitas adalah salah satu fase kehidupan yang dialami oleh semua orang, tak terkecuali remaja. Penting bagi remaja untuk mengalami, mengeksplorasi, serta mengekspresikan seksualitasnya dengan cara yang sehat, positif, dan aman. Hal ini hanya bisa tercapai jika hak remaja atas seksualitas dan reproduksi dapat terpenuhi. Pelibatan remaja dalam program-program HKSR dapat membantu remaja untuk menjadi agen sekaligus pemimpin aktif dalam komunitas mereka serta mengambil tanggung jawab utama untuk membuat keputusan tentang hal-hal yang mempengaruhi kehidupan mereka. Tini Rahayu, direktur Cahaya Perempuan WCC mengungkapkan strategi pelibatan dalam pengorganisasian remaja dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mentoring dan berbagi pengalaman. Mentoring ini selain mengokohkan, juga bertujuan agar pengorganisasian remaja di isu HKSR dapat dilaksanakan secara merata karena telah mempertimbangkan faktor-faktor seperti tingkat pengetahuan, usia, personil, dan sebagainya yang tidak bisa diseragamkan antara satu dengan yang lain. Tini juga menegaskan pentingnya berbagi pengalaman terkait isu HKSR kepada remaja secara berkesinambungan serta senantiasa mendukung remaja untuk lebih jauh lagi mengenal HKSR.

Mengorganisir remaja khususnya di ranah yang terbilang sensitif di negara ini tentu menguras tenaga dan pikiran, namun inilah yang mendorong lembaga-lembaga yang tergabung di ASV untuk semakin kukuh mempromosikan HKSR kepada remaja dan juga khalayak luas. Pengorganisasian remaja akan menciptakan generasi-generasi penerus bangsa yang berkualitas, berwawasan, dan nantinya akan meneruskan perjuangan di isu HKSR. Melalui pengorganisasian remaja di isu HKSR, perilaku seksual berisiko dan masalah kesehatan reproduksi dapat dicegah agar tidak menimbulkan konsekuensi jangka panjang bagi generasi sekarang maupun masa depan. Di samping itu, pengorganisasian remaja untuk isu HKSR juga berperan membentuk kesadaran kemanusiaan sejak dini dan menghindarkan remaja dari segala tindakan yang bernafaskan kekerasan dan ketidakadilan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Braeken, D. and Rondinelli, I. (2012). Sexual And Reproductive Health Needs of Young People: Matching Needs with Systems. International Journal of Gynecology & Obstetrics, 119: S60-S63. doi:10.1016/j.ijgo.2012.03.019

Guttmacher Institute (2010). International Planned Parenthood Federation. Facts on the Sexual and Reproductive Health of Adolescent Women in The Developing World. New York: Guttmacher Institute/IPPF. Available at: www.guttmacher. org/pubs/FB-Adolescents-SRH.pdf

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (2015). Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja. Diakses di https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/15090700003/situasi-kesehatan-reproduksi-remaja.html.

United Nations (1995). Population and Development: Programme of Action Adopted at the International Conference on Population and Development, Cairo, 5 -13 September 1994. New York: United Nations.

Villa-Torres L, Svanemyr J (2015). Ensuring Youth's Right to Participation and Promotion of Youth Leadership in the Development Of Sexual and Reproductive Health Policies And Programs. J Adolesc Health. 2015 Jan;56(1 Suppl):S51-7. doi: 10.1016/j.jadohealth.2014.07.022. PMID: 25528979.

World Health Organization (2011). Preventing Early Pregnancy: What the Evidence Says. Geneva: WHO. Zeldin, S., Gauley, J., Krauss, S. E., Kornbluh, M., & Collura, J. (2017). Youth–Adult Partnership and Youth Civic Development: Cross-National Analyses for Scholars and Field Professionals. Youth & Society, 49(7), 851–878. https://doi.org/10.1177/0044118X15595153

Read 18869 times Last modified on Selasa, 15 Desember 2020 23:24
46786577
Today
This Week
This Month
Last Month
All
2091
21234
294944
343878
46786577