Ada anggapan bahwa laki-laki secara kodrati memiliki hasrat seksual lebih tinggi dari perempuan. Anggapan ini didukung dengan argumentasi biologis, sebagai akibat dari sistem hormonal yang dimiliki oleh laki-laki. Sehingga dianggap wajar kalau kemudian laki-laki lebih memaksakan hubungan seksualnya terhadap perempuan. Demikian pula dianggap wajar ketika laki-laki menghendaki adanya lebih banyak varisasi hubungan seksual demi kesehatan dan penyaluran hasratnya yang tinggi. Tidak peduli bahwa sikap ini telah membawa penderitaan, hilangnya hak dan jati diri perempuan sebagai pribadi dan pasangannya.
Dalam kehidupan sosial, pandangan ini telah melahirkan anggapan bahwa laki-laki cenderung diperbolehkan terlibat dalam berbagai perjumpaan seksual sebelum mereka menikah. Bahkan standar ganda ini terus dibawa hingga hubungan pernikahan sekalipun. Sebuah perzinahan yang dilakukan oleh seorang istri sering dianggap sebagai pelanggaran norma dan hukum masyarakat yang tak dapat diampuni dan menjadi dosa turun-temurun, serta melahirkan hukuman-hukuman berat. Namun sebaliknya, pezinahan yang dilakukan oleh seorang suami ‘dinilai sebagai sesuatu yang dikutuk, tetapi sekaligus dianggap sebagai kelemahan yang wajar dan dapat dimengerti’.
Jelas! Anggapan tersebut telah melahirkan berbagai bentuk kekerasan dan perilaku seksual yang tidak menghargai perempuan. Lalu, benarkah laki-laki secara kodrati memiliki hasrat seksual lebih tinggi?
Secara biologis identitas seks seseorang itu bervariasi hingga 15 atau lebih identitas seks, berdasarkan kadar hormon testosteron dan estrogen yang mereka miliki. Laki-laki memiliki hormon testosteron lebih besar daripada perempuan, sedangkan perempuan sebaliknya. Perbedaan pengaruh hormon ini akan nampak jelas pada laki-laki dan perempuan dewasa. Perempuan yang dewasa akan ditandai dengan tumbuhnya payudara, terjadinya perubahan suara dan menstruasi sebagai tanda telah diproduksinya sel telur. Pada laki-laki dewasa akan tumbuh jakun, kumis, terjadinya perubahan suara dan diproduksinya sperma. Perebedaan hormon inilah yang mempengaruhi fungsi dari organ-organ reproduksi mereka, sehingga perempuan bisa hamil dan menyusui, sementara laki-laki bisa membuahi. Jika perempuan mengalami menstruasi sebagai akibat dari siklus reproduksi sel telurnya, maka laki-laki juga mengalami mimpi basah, sebagai tanda kemangan produksi spermanya. Sehingga secara biologis hormon laki-laki bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan laki-laki lebih terbuka dalam mengekspresikan kebutuhan biologisnya.
Persoalan lain adalah faktor budaya patriarkhal yang lebih menguntungkan laki-laki. Perempuan selama ini dipandang sebagai obyek bagi kebutuhan seksual, sehingga dianggap tidak memiliki hasrat maupun hak dalam menikmati hubungan seksual. Perempuan yang secara seksual lebih aktif cenderung dinilai negatif dan diperolok-olok oleh orang lain maupun laki-laki yang mencoba mengambil keuntungan dari mereka. Reputasi sosial perempuan diukur dari kecakapan mereka untuk menolak atau menahan rayuan-rayuan seksual. Sebaliknya, reputasi laki-laki justru diukur berdasarkan penakhlukan-penakhlukan seksual yang berhasil mereka capai. Belum lagi persoalan beban sosial dan beban ganda yang harus ditanggung perempuan, sehingga mempengaruhi relasi hubungan seksualnya.
Jika demikian halnya, lalu apa yang membedakan kebutuhan seksual laki-laki dan perempuan? Bukankah keduanya, memiliki hasrat, kebutuhan dan hak seksual yang sama?
Sumber artikel: Blog Saeroni