Rifka Annisa Ajak Wartawan Kampanyekan Pelibatan Laki-laki dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

Written by  Jumat, 25 Oktober 2013 13:00

Dalam rangka penyelenggaraan  program Men Care, Rifka Annisa bekerjasama dengan Rutgers WPF mengundang para wartawan media cetak maupun elektronik di Yogyakarta untuk mengikuti “Workshop Kemitraan dengan Media untuk Pelibatan Laki-laki dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan”. Workshop ini diselenggarakan pada Hari Selasa, 16 Juli 2013 di Aula Rifka Annisa.
Workshop dibuka oleh penampilan Rannisakustik dan dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu oleh Ramdan Taufiq. Pria yang akrab disapa Ramses itu menekankan pentingnya peran wartawan dalam mempengaruhi pendapat publik mengenai berbagai isu yang marak dalam pemberitaan media massa.
“Wartawan memiliki elemen penting di dalam masyarakat. Mereka memiliki akses untuk menciptakan tanda dan makna yang bisa memberikan pengertian baru kepada masyarakat,” tutur Ramses yang pernah mendalami jurnalistik semasa kuliah.
Oleh karena itu, Rifka Annisa memandang peran strategis para wartawan ini untuk membangun kemitraan dalam upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu bentuk strategi yang bisa diterapkan adalah dengan melibatkan laki-laki. Dalam workshop ini, wartawan laki-laki yang hadir diharapkan mampu menerapkan nilai-nilai maskulinitas positif baik dalam kehidupan profesionalnya maupun dalam kehidupan sehari-hari.
 Nur Iman Subono, aktivis Aliansi Laki-laki Baru hadir menjadi pembicara dalam workshop kemitraan dengan media sore itu. Pria yang akrab disapa Boni ini menyampaikan materi mengenai “Citra Baru Laki-laki dan Stop Kekerasan terhadap Perempuan”.  Dalam presentasinya, Boni menyampaikan  beberapa faktor yang mendorong kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki diantaranya adalah budaya patriarki (patriarchy), adanya keistimewaan (privilege),dan sikap permisif (permissive).
Budaya patriarki menyuburkan berbagai sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai oleh laki-laki melalui berbagai macam cara baik di kantor maupun di rumah. Sebagian besar laki-laki juga dibesarkan dengan berbagai keistimewaan dan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh keluarga maupun masyarakat secara umum, seperti mendapatkan prioritas dan kemudahan mereka untuk mengenyam pendidikan.  Kondisi  permisif terhadap tindakan kekerasan terhadap perempuan atas nama ajaran agama, hukum, dan peraturan juga disinyalir mendorong laki-laki untuk melakukan kekerasan.
Media massa memiliki kewajiban untuk ikut serta dalam usaha-usaha penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui pemberitaan yang tidak bias gender.  Bahkan menurut Boni, di Filipina terdapat gender watch yang memonitor  media-media di sana  dalam hal pemberitaan yang responsif gender. Setiap tahunnya, organisasi tersebut mengeluarkan laporan mengenai media-media mana saja yang melakukan pemberitaan yang merugikan perempuan.
Meskipun begitu, banyak kendala yang harus dihadapi untuk menciptakan media yang responsif gender diantaranya adalah kebijakan pemimpin redaksi terhadap prioritas pemberitaan di media massa yang sering tidak berpihak pada perempuan. Motivasi bisnis untuk mengejar oplah juga sering menyebabkan pemberitaan media massa sering hanya mengejar sensasi dan tidak memperhatikan substansi.
Akhirnya, workshop ini diakhiri dengan konferensi pers mengenai “Deskripsi Kasus Anak di Rifka Annisa pada tahun 2007-2012”.  Dalam konferensi pers ini pihak Rifka Annisa diwakili oleh Rina Widiarsih, manager Divisi Pendampingan  dan Any Sundari, manager Divisi Media dan Humas Rifka Annisa. Rina menegaskan bahwa anak sangat rentan untuk menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengannya seperti ayah atau saudara kandung. Selain itu, akhir-akhir ini pernikahan usia anak juga semakin sering terjadi dan ditandai dengan semakin meningkatnya kehamilan remaja yang berujung pada permohonan dispensasi nikah. Sayangnya pengajuan dispensasi nikah ini mudah disetujui oleh pengadilan agama karena banyak yang menganggap bahwa hubungan yang terjalin berdasarkan suka sama suka padahal semestinya proses pengajuan dispensasi nikah ini harus dilihat apakah ada unsur kekerasan yang terjadi dalam hubungan tersebut atau tidak .
Laksmi Amalia

Read 1573 times Last modified on Rabu, 12 Maret 2014 14:31
44175551
Today
This Week
This Month
Last Month
All
470
11702
239672
276576
44175551