Rekerda Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Gunung Kidul

Written by  Selasa, 08 Oktober 2013 08:38

Selasa, 17 Juni 2013 Badan Pembedayaan Masyarakat Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Gunung Kidul bekerjasama dengan Biro Kesra DIY menggelar Rakerda Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Ruang Rapat BPMPKB Kab. Gunung Kidul, yang bertempat Jln. Ksatrian  No 38 Wonosari.
Acara yang dihadiri dari berbagai SKPD setempat, organisasi kemasyarakatan, LSM, dilakukan dalam rangka melaksnakan rapat kerja daerah bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak  wilyah Kab. Gunung Kidul.
Warno selaku Biro Kesra DIY dalam sambutannya menyampaikan beberapa hal terkait dalam penanganan pemberdayaan (PP) perempuan dan perlindugan anak (PA), PP dan PA sampai saat ini mengalami beberapa hambatan diantaranya masih minimnya pemahaman tentag PP dan PA di Kab. Gunung Kidul, masih minimnya koordinasi dan sinergitas lembaga, belum optimalnya kekuatan regulasi baik perencanaan maupun anggarannya, serta belum ada jaringan informasi yang akurat terhadap permasalahan –permasalahan di lapangan. 
Tambahanya agar problem-problem tersebut dapat ditangani dengan melakukan penguatan pemahaman pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak,  penguatan kelembagaan dengan koordinasi dan sinergitas antar lembaga serta tercapainya sistem informasi yang akurat harus segera dilakukan untuk menghasilkan kebijakan yang sesuai. Jelas Warno.
Sumiyati selaku Wakil Kepala BPMPKB wilayah Kab. Gunung Kidul menjelaskan kondisi secara umum penduduk kabupaten Gunungkidul 677.998 terdiri dari laki-laki 327.847 (48,35 %) dan perempuan 350.151 (51,6%). Menurut ia jumlah perempuan (51,6 %) merupakan aset dan potensi yang dapat berkembang dan bukan menjadi beban dan hambatan. Dalam rincian datanya disebutkan jumlah penduduk miskin 165.567 jiwa (24 %) dengan Index Pembangunan Manusia (IPM) 72,77, Index Pemberdayaan Gender (IDG)  69,14 dan Index Pembangunan Gender (IPG) 67,80.
Dari segi pendidikan angka buta huruf perempuan  lebih tinggi dari pada Laki – laki, hal ini terlihat dari jumlah kesenjengan buta huruf laki – laki  7,78 sedangkan perempuan  21,37, pendidikan perempuan masih kuarng 94% dari 100% tingkat nasional. Adapun dari segi kesehatan tercatat angka kematian ibu (AKI) tahun 2012 sebanyak 11 kasus sedangkan angka kematian bayi tahun 2012 sebanyak 95 kasus serta Ibu rumah tangga yang terinveksi virus HIV/AIDs tinggi.
Dari segi ekonomi sampai saat ini belum semua kelompok usaha ekonomi produktif perempuan mendapat akses modal, pelatihan ketrampilan, manajemen usaha dan spirit,  dan bantuan pemasaran masih minim pada kelompok perempuan sehingga menurut ia baik jika ada pembekalan ketrampilan kerja, pemenuhan persyaratan kerja dan perlindungan tenaga kerja perempuan di tingkat basis.
Dari sisi politik, partisipasi perempuan di bidang politik masih rendah hal ini terlihat dari partisipasi perempuan dalam musrenbangdus/des yang masih rendah, selain itu minimnya keterlibatan perempuan dalam struktur elite desa. Hal ini terlihat ketika para elite desa seperti Ketua RT, Ketua RW, Kepala Dukuh, LPMD, BPD dipilih dari sesama kalangan laki-laki, maka dapat dipastikan bahwa akan tertutup peluang-peluang perempuan untuk menjadi bagian dari struktur elite desa. Sehingga Peran ganda perempuan dan rendahnya kewenangan untuk mengambil keputusan.  Ungkap Sumiyati
Kondisi lain seperti kasus-kasus yang terjadi  tingginya jumlah kasus kekerasan seksual anak, dari tahun 2011 sampai 2013 sebanyak 66 kasus yang terlaporkan, anak korban kekerasan seksual sering disuruh mengundurkan diri dari Sekolah, guru BP dan lingkungan sekolah banyak yang belum sensitif gender, hal ini sangat penting untuk memberikan perlindungan anak korban kekerasan seksual dari lingkungan keluarga dan sekolahnya.
Di tingkat BPMPKB sendiri masih menjadi terkendala ketika ketika meminta bantuan hukum & layanan psychologis terhadap korban, karena masih terbatas SDM di bidang tersebut, selain itu terbatasnya fasilitas & anggaran P2TP2A dalam pemenuhan hak-hak anak & hak-hak korban kekerasan, permasalahan lain seperti aparat penegak hukum yang belum sensitive gender berpengaruh kepada tindakan yang diambil, belum lagi tidak adanya shelter dalam pelayanan korban kekerasan perempuan dan anak juga menjadi hambatan. Jelas Sumiyati
Dijelaskan Supriyanto selaku Kepala Bappeda wilayah Gunung Kidul, kenapa demikian? Salah satu hambatannya adalah PPRG (perencanaan responsive gender) dan ARG (anggaran responsive gender) belum optimal, hal ini kerena masih rendahnya komitmen para pengambil kebijakan terkait PPRG, ARG, SDM kurang memahami konsep dan permasalahan Gender, pemberdayaan perempuan dan PUG (pengarusutamaan gender), belum berfungsinya Gender Focal Point di masing-masing SKPD, gender dan PUG masih dianggap sebagai pekerjaan sampingan belum dianggap terintegrasi dalam setiap program kegiatan.
Ia menambahkan yang perlu dilakukan adalah pengarusutamaan gender, penyerasian hukum dan peraturan perundang-undangan serta peningkatan koordinasi dan kemitraan, penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak di pemerintah dan masyarakat, pelaksanaan aksi afirmatif untuk situasi tertentu dan penguatan jejaring kelembagaan baik tingkat nasional maupun internasional.

Oleh: Ani Rufaida

Read 2061 times Last modified on Rabu, 12 Maret 2014 14:33
46806001
Today
This Week
This Month
Last Month
All
7548
40658
314368
343878
46806001