Seksualitas Perempuan Difabel

Written by  Rabu, 09 Oktober 2013 08:35

Keinginan seksual merupakan dorongan alami manusia. Termasuk juga bagi difabel. Sayangnya, masih ada anggapan bahwa sebagian difabel identik dengan aseksual. Permasalahan ini dibahas pada Diskusi Seksualitas Perempuan Difabel, 4 Desember lalu di Pendapa Universitas Widya Mataram Yogyakarta.
Menurut dr Pariawan Lutfi Ghazali M.Kes, dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Indonesia, terjadinya diskriminasi terhadap difabel berawal dari definisi sehat. Selama ini seseorang disebut sehat ketika maksimal di semua bidang. Padahal, ketika kehilangan salah satu anggota tubuhnya dan sembuh setelah dirawat, maka ia sudah disebut sehat secara klinis. Sehingga sebenarnya tidak ada perbedaan dari aspek kesehatan yang bermakna dari difabel dan non difabel. Termasuk kesehatan reproduksinya.
 “Kalaupun ada perbedaan, umumnya hanya ketika terkait soal risiko (misal dalam jaminan kesehatan),” jelas Lutfi. Hal itu karena kondisi beberapa difabel lebih rentan sakit atau terluka dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Sehingga, redefinisi sehat menurut Lutfi, mendesak untuk dilakukan.
Kemudian, ia juga menjelaskan bahwa yang perlu ditekankan dalam fungsi seksualitas adalah persamaan hak untuk akses informasi. Ia mencontohkan bagaimana sosialisasi selama ini sangat diskriminatif. Misal, bagaimana bisa diakses tunanetra kalau yang dicetak adalah media cetak biasa atau bagaimana tunarungu kesulitan mengakses penyuluhan yang hanya menggunakan medium ceramah. Sehingga, menurutnya persoalan mendasarnya adalah perbedaan intensitas serta kualitas akses yang didapat oleh difabel. “Jadi, bukannya tidak sehat, tapi karena yang diakses terbatas,” tambahnya.
Ketua Komisi Nasional Perempuan atau Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menilai, seharusnya masyarakat melihat permasalahan difabel sebagai permasalahan bersama. Sejatinya semua manusia yang dilahirkan, tidak boleh dikurangi martabatnya. Sayangnya, di masyarakat masih adanya anggapan bahwa difabel tidak punya power. Dalam perkawinan pun, dia tidak dilihat sebagai subjek yang utuh. Termasuk adanya anggapan aseksual terhadap perempuan difabel.  
Lalu dari seluruh persoalan-persoalan ini, ia memaparkan beberapa langkah perlindungan yang bisa dilakukan. Alat pertama adalah ratifikasi konvensi yang diadopsi terhadap hukum di negara kita. Yang kedua adalah rekomendasi komite CEDAW, akses terhadap layanan kesehatan. Disitu ditekankan bahwa difabel yang mengalami mental illness, harus mendapatkan perhatian yang serius oleh negara. Kemudian, pentingnya memberi kesempatan yang sama, dan perhatian terhadap mereka, terutama yang mengalami persoalan mental.
Sekarang yang juga dilakukan Komnas Perempuan, adalah meninjau ulang berbagai kebijakan, misal Undang-undang No. 74 tentang perkawinan. Poin yang menyebutkan apabila istri cacat sebagai alasan untuk bercerai sangat diskriminatif. “Itu yang akan kita revisi,” jelas Yuniyanti.
Yuniyanti juga menuturkan, Komnas juga mendorong agar berbagai pihak menyerahkan laporan soal kekerasan dalam catatan Komnas Perempuan. Hal itu karena nantinya data tersebut sebagai basis, record negara untuk melihat kasus kekerasan di Indonesia.
Usaha lainnya, tahun lalu Komnas Perempuan mengadakan sidang HAM, mengajak mengajak teman difabel sebagai bagian yang penting. Kemudian, tanggal 6—7 Desember 2012 juga diadakan konferensi nasional difabel yang bekerja sama HAM Australia mendiskusikan tentang kekerasan seksual, membuat rekomendasi serta action plan. Selain itu juga membuat raw model untuk pemulihan eks migran yang menjadi difabel yang dimulai dari Indonesia Timur. Hal ini karena selama ini eks migran yang cacat dikembalikan kepada keluarganya. Komnas Perempuan ingin menekankan, bahwa hal itu harus jadi tanggung jawab negara.
Pembicara lain, Venusia Ika Puspitasari, Kepala Divisi Konseling Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) lebih menyoroti pentingnya aspek pemenuhan hak-hak reproduksi yang juga berlaku bagi difabel. Ha itu tertuang dalam 12 hak kesehatan reproduksi, yang termasuk hak asasi manusia yang mendasar. Misalnya tentang hak yang berkaitan dengan pengetahuan, layanan kesehatan reproduksi yang berkualitas, aman, terjangkau; hak untuk memutuskan menikah, memiliki anak, orientasi seksual; serta hak bebas dan aman aman untuk mengekspresikan dorongan seksualnya. Poin-poin itulah yang penting untuk diperjuangkan untuk mengakhiri diskriminasi.
Nurul Saadah Andriani, Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) dengan gamblang menggambarkan masalah-masalah difabel terkait seksualitas. Contoh, ada kasus dimana anak tunagrahita diperkosa sampai melahirkan dua anak. Kelompok tunagrahita memang lebih rentan karena mengalami hambatan keterbatasan intelektual sehingga tidak mampu mengenali adanya kejadian perkosaan yang dialaminya.
 Akibat ketiadaan informasi tentang seksual dan kesehatan reproduksi membuat perempuan difabel lebih rentan mengalami kekerasan. “Dari temuan kasus, SAPDA terakhir ini menemukan 15 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan difabel. Delapan diantaranya tunarugu wicara, dan sebagian lain adalah mental,” jelas perempuan kelahiran 25 November 1977 itu.  
Sayangnya, kasus-kasus kekerasan seksual itu tidak bisa tertangani. Hanya 3—4 kasus yang bisa masuk ke persidangan. Hal itu karena, sebagian aparat belum bisa menangani sesuai dengan karakter difabel yang mendapatkan kekerasan tersebut. Misalnya, ada kasus yang terjadi pada perempuan yang mengalami hambatan mental. Ia berkali-kali diperkosa sampai punya anak dua. Kemudian ditanyakan oleh penyidik, ‘Diperkosa kok berkali-kali? Enak ya mbak?’. Dan dia tidak bisa menjawab. Itu karena ia tidak mampu mengenali kondisi dan sekelilingnya, termasuk kekerasan yang dialaminya.
Faktor lainnya, orang yang sudah mengalami hubungan seksual, secara psikologis bisa membuat ketagihan. Ia bisa mempunyai hasrat yang meluap-luap. Tapi, bagi teman-teman grahita, hal itu sulit diungkapkan, dan tidak mampu menyalurkan ke mana. Jadi dalam beberapa kasus ia justru datang ke pelaku untuk minta disetubuhi. Karena ketidakmampuan untuk mengenali, maka hal itu termasuk kekerasan dan perkosaan.
Permasalahan mendasar lainnya, ada anggapan bahwa perempuan difabel dianggap tidak cukup mampu untuk menjadi ibu rumah tangga, beraktivitas ekonomi, punya anak. Sehingga dianggap tidak usah menikah. Disamping itu, ia juga diwajibkan untuk mengatasi hasrat seksualnya. Perempuan dianggap tidak pantas memperlihatkan keinginan seksualnya. Hal itu membuat perempuan difabel mengalami dobel diskriminasi.
Dari persoalan-persoalan tersebut, penting adanya kesetaraan informasi pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi bagi difabel. Karena mempunyai kebutuhan yang khusus yang berbeda satu dengan yang lainnya, cara penyampaian informasi perlu disesuaikan masing-masing individu. ***

Oleh: Niken Anggrek Wulan

Read 1714 times Last modified on Rabu, 12 Maret 2014 14:35
46415444
Today
This Week
This Month
Last Month
All
4214
89252
267689
306641
46415444