Marah merupakan satu hal yang manusiawi. Tidak ada yang salah dengan ekspresi ini. Masalah baru akan muncul ketika marah diekspresikan melalui ucapan atau tindakan yang cenderung destruktif, baik terhadap pasangan atau lingkungan.
“Laporan yang masuk ke Rifka Annisa menunjukkan bahwa lebih dari 90% kasus kekerasan terhadap perempuan, tergolong sebagai kekerasan terhadap isteri. Dan saya kira, ini erat kaitannya dengan ketidakmampuan suami dalam mengelola marah,” kata Indiah Wahyu Andari, Konselor Psikologi Divisi Pendampingan Rifka Annisa, di Jogja TV, Sabtu [29/9] lalu.
Menurut Indah, meskipun setiap invidu mungkin akan berbeda dalam mengekspresikan kemarahan, namun konsep time out [jeda], berusaha diterapkan oleh Riffka Annisa, terutama bagi pasangan yang sudah sama-sama sepakat menggunakan metode tersebut. Yang terpenting, kata Indah, adalah bagaimana mengelola amarah itu agar tidak berujung pada aksi aksi yang destruktif hingga memunculkan kekerasan terhadap pasangan.
Indah mengungkapkan, untuk meminimalisir dampak amarah yang berpotensi memunculkan berbagai bentuk kekerasan, setiap pasangan disarankan untuk menggunakan time out, atau yang lebih dikenal dengan istilah jeda.
“Persoalannya, tidak semua orang terutama dalam konteks pasangan, memahami sekaligus mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari hari. Mengenali penyebab kemarahan, bisa menjadi langkah awal yang baik sebelum mengambil jeda,” Ia menjelaskan.
Ungkapan senada juga disampaikan oleh Agung Wisnubroto. Menurut Agung, setiap kalimat atau tindakan yang bernuansa amarah sebenarnya merupakan ekspresi yang berasal dari wilayah otak manusia.
“Karena bersifat spontan, orang yang marah tidak akan sempat lagi berpikir dampak dari perkataan dan tindakan yang dilakukan,” ujar Agung.
Konselor Laki-laki, Divisi Men’s Program Rifka Annisa ini menuturkan, orang sering tak mengenali gejala yang muncul karena tidak terlatih mengelola amarah. Marah, kata Agung, biasanya ditandai dengan gejala awal berupa perubahan raut wajah, gestur, atau perubahan fisik lainnya. Karena itu, ia menekankan, sangat penting bagi setiap orang untuk mengenali gejala-gejala tersebut.
Sebelum menerapkan konsep jeda, Agung menambahkan, ketentuan seperti berapa lama waktu jeda? dan bagaimana bentuk jedah yang akan diambil?, harus disepakati oleh kedua belah pihak.
“Intinya, kesepakatan itu dibuat dalam keadaan normal, dimana tidak satu pihak pun yang dalam posisi marah,” Agung menegaskan.
Perbincangan yang dipandu oleh Indah Ardina selaku host siang itu, semakin semarak dengan partisipasi pemirsa Jogja TV melalui telepon. Tidak hanya menyampaikan tanggapan, pemirsa pun boleh mengajukan permasalahan mereka terutama yang terkait dengan topik pembicaraan.
Ibu Wahyu misalnya. Warga Bantul ini mengaku belum memiliki pemahaman yang memadai perihal cara mengelola marah. Akibatnya, ekspresi yang dimunculkan pun terkesan pasif.
“Kalau sedang marah, saya hanya bisa diam. Sampai dada ini sesak rasanya,” kata dia.
Di sesi tanggapan, Agung menekankan perlunya membangun komunikasi sebelum membuat kesepakatan bersama dalam mengelola marah.
“Meskipun time out bukan solusi jangka panjang, setidaknya marah bisa dikelola secara sehat dan tidak berdampak luas. Time out adalah jeda sesaat yang terencana untuk menenangkan diri. Setelah tenang, kita kembali untuk menyelesaikan masalah,” kata Agung.
Baik Agung maupun Indah, menegaskan bahwa melalui time out, rasionalitas akan tetap terjaga sehingga setiap pihak dapat memilih bentuk tindakan yang positif. Dengan mengontrol rasa marah, memungkinkan semua pihak untuk bisa menentukan waktu untuk time out ketika amarah sudah tidak terkendali.
“Teknik time out sangat penting untuk menghindari tindakan kekerasan akibat tak dapat mengendalikan rasa marah. Kenali pencetus, kenali perubahan-perubahan pada tubuh, pilih tindakan yang positif dan ambil time out saat merasa tak dapat mengontrol marah,” ujar Indah. [Arif]
Oleh : Arifuddin Kunu