Adanya perbedaan rentan memunculkan konflik. Apalagi jika perbedaan tersebut dibingkai dalam identitas berbasis keagamaan. Termasuk halnya dalam sebuah keluarga dimana terdapat pernikahan beda agama. Namun ada juga sebaliknya, sebagian orang melihat adanya suatu perbedaan sebagai hal yang positif. Perbedaan dalam identitas religi bisa saja menjadi sarana pembelajaran untuk lebih toleran. Bahasan ini cukup menarik jika ditarik dalam konsep keluarga pluralis, tema ini diangkat Rifka Annisa Women Crisis Center dalam acara “Talksow Bincang Hari Ini” dengan tema “Membangun Keluarga Pluralis” di Stasiun Jogja TV pada Sabtu, 23 maret 2013.
Membahas tentang kelurga pluralis menyangkut dengan perbedaan keyakinan, yang dianut antar pasangan, atau dalam kontek keluarga yang lebih luas ada macam-macam keyakinan yang dinut oleh masing-masing keluarga. Berbicara hal yang pluralis ada banyak keanekaragaman budaya, etnis, agama dalam kelompok tertentu. Hal ini tentunya menyangkut “perbedaan” yang dianut oleh seseorang “ungkap Nono selaku Pemerhati Social dalam isu pluralisme. Berbicara perbedaan berarti membicarakan pula “kesepakatan”, kesepakatan ini tergantung kedua belah pihak dalam menentukan pilihan maupun berbagi peran, tidak mesti keduanya diuntungkan, kesepkatan ini berdasarkan musyawaroh mufakat antar pasangan. Bagi Nono hal ini bukan karena perbedaannya melainkan lebih pada konsep perencanaan ketika menikah, aplikasi pernikahan yang sudah dibangun sampai pada perencanaan masa depan.
Nono juga menjelaskan di Indonesia sendiri banyak kasus intoleransi, kekerasan, fanatisme dan sentimen keagamaan yang kerap terjadi, hal ini sebenarnya merupakan egosentris personal, maupun golongan, yang seolah-olah paling benar sendiri dari pada kelompok lain. Padahal kebenaran tersebut dimiliki Tuhan, sebagai manusia yang beragama kita hanya mendekati kebenaran itu. Ujar Nono
Tambahnya adanya egosentris tersebut berdampak pada pola asuh orang tua terhadap anak-anaknya, kemudian materi yang diberikan oleh sekolahan maupun perkuliahan sampai saat ini masih banyak yang tidak mengajarkan “nilai’ yang terkandung melainkan hanya cangkang luarnya, hal ini yang menjadikan rasa membenci, tidak suka dengan kolompok lain, bahkan menyalahkan agama dan budaya yang lain sering terjadi. Gerakan egosentris ini yang kemudian sering muncul dan membawa prilaku seseorang semakin tidak toleran terhadap orang lain. “Kalau tahu hal itu egosentris, tangkal aja! Sebenarnya beda indah kok!!.” Tegas nano dalam sesi diskusinya.
Hal ini pula yang ditanggapi peserta “Negara Indonesia meganut falasafah pancasila, kanapa mesti marah ketika bebeda? hal ini pula yang sudah ada sejak dulu, sejak nenek moyang, yang mengikuti keberagaman Bhineka Tunggal Ika” Ungkap salah satu peserta via telpon.
Nono sependapat dengan respon salah satu penelpon “Kita seharusnya bangga dengan Indonesia, dalam diri kita ada jiwa ketuhanan, pada diri kita ada jiwa kemanusiaan, pada diri kita ada jiwa persatuan, dan kita punya modal musyawaroh mufakat adalah modal sosial, itulah ciri orang Indonesia yang khas, kita harus bangga dengan nenek moyang kita yang bisa merangkum hal ini dalam falsafah pancasila” tegas Nono
Dijelaskan pula Rina Widarsih selaku Devisi Pendampingan Konselor Psikologi Rifka Annisa women Crisis Center bagaimana pun seorang anak akan mengikuti orang tuanya, melihat apa yang disekelilingnya dan diajarkanya, terkadang fanatisme agama itu juga yang diajarkan orang tua terhadap anaknya, misal tidak boleh bergaul dengan ‘Si Dia” dengan ’Si itu’ bahkan yang berkata dirinya sudah pluralis dalam prilakunya terkadang lebih tidak pluralis. Menurut dia jangan mendidik anak dengan kata jangan, secara psikologis hal itu sangat berengaruh terhadap prilaku anak, biasanya ketika kita melarang dengan kata jangan, missal “Jangan bermain di depan” anak biasanya akan mengambil kata akhirnya yang sebaliknya dilarang, maka sangat penting orang tua menjelaskan alasan serta pertimbangan melarang, Anak sejak kecil perlu untuk diajak komunikasi, berdialog dan berdiskusi sehingga akan memunculkan pembelajaran yang menggunakan rasa, dan hati dalam prilkunya.
Hal ini puIa yang diusulkan oleh Rina maupun Nono bagimana kemudian pendidikan pluralisme dikenalkan kepada anak sejak dini, mulai dari lingkungan yang heterogen sehingga anak akan lebih mengenal keberagaman yang ada, karena sampai saat ini masih banyak sekolah yang kemudian tidak menerima adanya perbedaan bahkan cendurung inklusif atau menutup diri, hal itu yang kemudian menciptkan prilaku anak menjadi kurang bersosialisai dengan hal yang berbeda dilingkungan sekeilingnya. Maka dari itu dalam membangun kelurga pluralis sikap maupun nilai yang penting untuk diterapkan adalah komunikasi,, toleransi, terbuka, asertif serta ada kesepakatan yang disertai dengan tanggung jawab.