Ahlan merasa miris. “Kok bisa ya?” tanyanya. Ia merasa pedih ketika TKI di kampungnya banyak yang membawa anak sepulang mengarungi negara tetangga. “Nggak tahu anak siapa,” jelasnya. Ia mengeluh, tak sedikitpun unsur-unsur dari pemerintah setempat yang peduli.
“Tetangga saya, 10 tahun ini nggak pulang. Dia bekerja di Malaysia. Mati atau bagaimana, nggak pernah diurusi. Baik oleh masyarakat dan pemerintah desa,” tambah pria yang tinggal menetap di Brebes itu.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik, “Merumuskan Saran Desa untuk Perlindungan Buruh Migran Indonesia” yang diselenggarakan oleh Gerakan Desa Membangun di Desa Melung, Banyumas pada 6—9 Desember lalu. Ahlan tak sendiri. Banyak pihak yang khawatir akan terus menerus terjadinya carut marut persoalan buruh migran Indonesia (BMI), Tenaga Kerja Indonesia (TKI), ataupun yang sekarang disebut Pekerja Indonesia Luar Negeri (PILN).
Selama ini, yang diperhitungkan hanya dari sisi pendapatan buruh migran. Sedangkan biaya sosial yang timbul tidak pernah dihitung. Dampak terhadap keluarga misalnya sangat jamak terjadi. Mulai dari anak terlantar, pasangan TKI yang selingkuh, sampai perebutan pendapatan yang dikirim TKI antara mertua dan menantu banyak menimpa keluarga buruh migran.
Biaya sosial lain yang harus dibayar adalah tingkat pendidikan di desa kantong TKI justru terus merosot. “Hasil kerja TKI tidak mendorong agar anaknya tidak menjadi TKI. Tetapi justru menghasilkan generasi TKI,” jelas Sri Palupi, direktur Ecosoc Right, salah satu pembicara. Akibatnya si anak tidak termotivasi untuk meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal itu karena adanya ungkapan, “Lulus SMP saja sudah bisa bekerja.”
Permasalahan TKI
Disamping besarnya biaya sosial yang ditanggung, persoalan di lapangan tak sedikit. Padahal, 25.000 dari 450.000 orang yang menjadi TKI tiap tahunnya mengalami masalah. Jumlah tersebut meningkat tiap tahunnya. Dari angka TKI per tahun tersebut, 60% tidak melalui prosedur yang ditetapkan pemerintah.
Ironisnya, yang berprosedur alias legal melalui PJTKI pun belum tentu menjamin keselamatan TKI. Menurut data tahun 2008, dari 513 TKI yang meninggal di Malaysia, 87,1%-nya berdokumen. Hanya 36% PJTKI yang berkinerja baik.
“Banyak informasi-informasi yang tidak benar berasal dari calo,” jelas perempuan yang gemar bercocok tanam itu. Perekrutan melalui calo marak di desa-desa, karena 70% PJTKI berada di Jakarta. Hal itu berimbas memicu perdagangan orang dan pemerasan.
Tingginya biaya penempatan TKI melewati calo justru menciptakan sistem perbudakan dengan jeratan utang. TKI yang bekerja di luar negeri dikenai 4—14 bulan potong gaji. Biaya tersebut tidak sebanding dengan kualitas pelayanan yang diterima. Akibatnya, TKI yang gagal pun tidak berani pulang.
Penting Kawal RUU PPILN
Selama ini kebijakan yang mengatur Penempatan dan Perlindungan TKI tertuang dalam Undang-undang No. 39/2004. Sayangnya, UU tersebut masih belum berhasil melindungi buruh migran Indonesia. Isi undang-undang justru didominasi urusan bisnis, yaitu bisnis penempatan TKI dilakukan oleh PJTKI. Selain itu, ini perlindungan lebih banyak diserahkan pada Pelaksana Penempatan Tenaga Keria Indonesia Swasta atau PPTKIS yang notabene lembaga bisnis, dimana ia cenderung tidak menjalankan kewajibannya secara penuh.
Gambaran Substansi UU No. 39 tahun 2004. Sumber: Sri Palupi.
Undang-undang No. 39/2004 juga miskin perspektif gender. Padahal, mayoritas TKI berjenis kelamin perempuan dan bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Menurut Palupi, dari 7.440 kata dalam UU, hanya ada satu kata ‘perempuan’ disebutkan. Satu kata itupun dalam kerangka pelarangan perempuan hamil untuk bekerja ke luar negeri. Akibatnya tidak ada perhatian khusus terhadap kerentanan yang khas pada buruh migran perempuan.
Sekarang ini sedang diadakan upaya perubahan atas UU No. 39 tahun 2004. Sayangnya, draf RUU tersebut dinilai jauh dari upaya perbaikan kebijakan yang diharapkan komunitas buruh migran. Sehingga, diperlukan pengawalan revisi UU 39/2004 oleh berbagai pihak agar terwujud perlindungan efektif bagi TKI.
“Kalau tidak serius mengelola Undang-undang, hal seperti ini (permasalahan TKI) terus terjadi. Kematian TKI tidak dipersoalkan, hilangnya organ tubuh, deportasi daur ulang yaitu TKI yang dideportasi dikirim lagi, perbudakan dilegalkan, dan anak-anak perempuan terus menerus dijual murah,” tegas Palupi.
Peran Desa
Rancangan UU tentang Perlindungan Pekerja Indonesia Luar Negeri pengganti UU No. 39/2004, memasukkan desa sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam pengawasan penempatan migrasi tenaga kerja. Hanya saja, setali tiga uang dengan yang diatur dalam UU No 39/2004, desa hanya ditempatkan sebagai petugas administratif. Akibatnya, desa tetap tidak bisa berbuat banyak untuk melindungi warganya yang menjadi buruh migran.
Hal itu sejalan dengan penjelasan Agustinus Supriyanto, Komisioner Komisi Nasional Perempuan, di dalam Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Indonesia Luar Negeri, Desa hanya mempunyai dua jenis kewenangan. Pertama, menyosialisasikan informasi dan fungsi administrasi.
Di sisi lain, pria kelahiran Salatiga itu juga menanggapi rumusan pasal 11 ayat 2 dal RUU PPILN. Menurutnya, rumusan ‘Mensosialisasikan informasi dengan melibatkan aparat’ itu justru membatasi partisipasi masyarakat desa. Oleh sebab itu, ia menganjurkan agar perumusan menjadi melibatkan komunitas dan tokoh masyarakat sehingga meningkatkan peran serta masyarakat.
Tentang kewenangan yang terbatas oleh pemerintah desa, Agus berpendapat meskipun kewenangan itu terbatas, yang lebih penting dari kedua kewenangan itu adalah adanya pengembangan kapasitas dan pengembangan sarana dan parasarana. Menurutnya, informasi dan pencatatan yang tidak profesional dan optimal tidak dapat menjadi data based yang akurat, yang menjadi asal muasal migrasi tidak aman.
Diskusi yang diikuti Gerakan Desa Membangun dari berbagai daerah itu dapat disimpulkan ke dalam beberapa poin. Pada akhirnya, perlu perhatian berbagai pihak dalam pengawalan RUU PPILN, dan desa merupakan faktor yang penting terlibat. Perlu adanya upaya nyata untuk meningkatkan keterlibatan pemerintah desa di dalam UU PPILN. Sehingga nantinya peran desa makin diperbesar, mulai dari pemberian informasi, sosialiasi, sampai pengorganisasian masyarakat. Sedangkan di level negara, diperlukan visi ke depan agar tidak terjebak menjadi negara pengirim TKI yang bekerja di sektor nonformal.***
Foto 1: Agustinus Supriyanto, Komisioner Komisi Nasional Perempuan.
Foto 2: Kepala Desa Melung menyerahkan kenang-kenangan kepada salah satu pembicara, Sri Palupi dari Ecosoc Rights.
Oleh: Niken Anggrek Wulan