“Revolusi feminin baru akan sungguh-sungguh terjadi jika ada revolusi maskulin.” 

Ester Lianawati dalam bukunya “Akhir Pejantanan Dunia” memberi energi untuk terus berjuang mencari formulasi yang tepat dan efektif untuk bersama-sama mewujudkan kesetaraan gender. Salah satu yang ditawarkan adalah transformasi nilai maskulinitas.Agenda kesetaraan gender sering kali disalahartikan karena dianggap sebagai urusan perempuan saja. Padahal, kesetaraan gender akan terwujud jika satu sama lain saling bahu-membahu tanpa memandang ras, budaya, sampai dengan jenis kelamin. 

Gender bukan didasarkan pada perbedaan biologis. Melainkan, pada pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan secara sosial budaya. Ini merupakan konstruksi (bentukan) dan bersifat dapat berubah sewaktu-waktu. Misalnya, bahwa laki-laki bertindak rasional, kuat, agresif, tegas, dan bahwa perempuan bertindak emosional, ragu-ragu, pasif, lemah. Lebih lanjut, anggapan tersebut memunculkan pembagian bidang kerja antara perempuan dan laki-laki, di ruang publik dan domestik.

Awalnya, pembedaan tersebut bukan suatu masalah. Namun, kesenjangan muncul saat pembakuan terjadi. Implikasinya, muncul diskriminasi atau pembedaan perlakuan terhadap salah satu pihak—baik pada perempuan maupun laki-laki.Pembedaan tersebut pada akhirnya menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan maupun laki-laki dalam hal akses dan kontrol atas sumber daya, kesempatan, status, hak, serta peran dan penghargaan.Menilik sejarah, pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki sudah dilakukan sejak ribuan tahun lalu, didasari atas kondisi biologis laki-laki dan perempuan. Kondisi biologis inilah yang melahirkan pembagian beban kerja yang berbeda. 

Sehingga, terinternalisasi bahwa perempuan sewajarnya hidup di lingkungan rumah tangga, sementara laki-laki bekerja mencari nafkah bagi keluarganya. Sesuai yang dianggap kodrat, tugas-tugas yang diberikan alam kepada perempuan adalah melahirkan dan membesarkan anak-anak di dalam lingkungan rumah tangga serta memasak dan memberi perhatian kepada suaminya. Tugas-tugas perempuan tersebut akan membuat rumah tangganya tentram dan sejahtera karena berada di dalam lingkungan rumah tangganya. Sementara laki-laki mendapat tugas lain, yakni pergi ke luar rumah untuk bekerja mencari makan agar kebutuhan rumah tangganya terpenuhi.

Pembagian kerja yang sudah berlangsung sekian lama tersebut memunculkan kecenderungan untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang kodrati dan alami. Akibat dari konstruksi sosial itu, manusia akhirnya mendapatkan label menurut jenis kelaminnya, yang dilatarbelakangi oleh ideologi yang berasal dari budaya patriarki, yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. 

Oleh karena itu, kesetaraan gender bukan perkara persaingan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki, melainkan upaya untuk saling bahu-membahu menciptakan dunia yang setara. Kesetaraan gender dapat diwujudkan melalui transformasi nilai atau pemahaman. Baik kepada perempuan untuk saling dukung satu sama lain dalam membebaskan diri, juga pada laki-laki, untuk terus menumbuhkan empati, terutama dari privilege atau kenyamanan, baik secara biologis maupun sosial yang dimilikinya. Meski perlu beranjak dari kenyamanan, hal ini wajib dilakukan jika mengimpikan kesetaraan gender dapat terwujud secara utuh. Penting untuk berbagi ruang, baik di sektor ekonomi, politik, sosial, agama dan budaya. 

Kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan selanjutnya. Kesetaraan gender juga tidak diartikan segala sesuatunya harus mutlak sama dengan laki-laki. Hakikatnya, kesetaraan gender hadir untuk memastikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki akses, kesempatan, fasilitas, dan manfaat yang sama. Pada tahun 1960-an R.W. Connell dan ilmuwan lain seperti Jill Steans mengusulkan perubahan konsepsi gender dengan tidak lagi fokus pada isu perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang sifatnya dikotomis.

Namun, lebih melihat relasi gender antar keduanya. Lebih jelasnya, Connell kemudian mendefinisikan gender sebagai “A matter of the social relations within which individuals and groups act.” yang berarti "Masalah konstruksi sosial yang mempengaruhi hubungan sosial di mana individu dan kelompok bertindak." Steans juga mengartikan gender sebagai ”Ideological and material relations” yang berarti hubungan ideologi dan materil yang eksis di antara laki-laki dan perempuan. 

Kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa konsepsi relasi gender tidak hanya mencerminkan hubungan personal dan sosial tapi juga hubungan kekuasaan dan simbolik. Analisis itu menunjukkan bahwa selama ini, yang mendominasi dan berkuasa adalah maskulinitas. Siapa pun berpeluang menjadi korbannya; tidak hanya perempuan, laki-laki juga terdampak dari dominasi maskulinitas ini. Hal ini juga menegaskan bahwa  untuk menjadi subjek, tidak selalu butuh objek.

The United Nations Development Programme Gender Social Norms Index 2022 menunjukkan, meskipun dalam beberapa dekade terakhir ada kemajuan dalam menurunkan kesenjangan gender, tetapi sekitar 85 persen atau 9 dari 10, laki-laki dan perempuan di seluruh dunia masih bias gender. Situasi ini sudah seharusnya ditangkap sebagai tanda bahaya dalam gerakan menuju kesetaraan dan perlu direspons segera. 

Sudah saatnya kita membongkar persoalan patriarki dengan melihat perempuan dan laki-laki dalam model pendekatan relasional, tidak sendiri-sendiri. Kita tidak perlu mengangkat pengalaman khas perempuan dan laki-laki yang satu sama lain tidak dapat dilepaskan. Keduanya bisa membebaskan diri dari ideologi bernama patriarki. Laki-laki dan perempuan bekerja sama “to complete”, bukan “to compete”—untuk saling melengkapi, bukan menyaingi.




Senin, 24 Juli 2023 16:43

Pola Asuh Adil Gender, Siapa Takut? 

Keluarga merupakan lingkungan pertama yang ditemui dan diketahui oleh anak-anak. Sehingga kedudukan keluarga dalam tumbuh kembang anak sangat dominan, baik perkembangan secara fisik maupun psikologis. Keluarga juga merupakan subsistem utama dari masyarakat yang memiliki struktur sosial dan sistem sendiri. Sebagai subsistem dari masyarakat, keluarga pun memiliki fungsi strategis dalam menanamkan nilai-nilai yang saling mengasihi, saling membantu, dan saling berbagi. Dengan peran ini, keluarga bisa menjadi pintu utama untuk menanamkan nilai-nilai adil gender pada anak-anak. 

Hal itulah yang mempengaruhi pola asuh orang tua yang seringkali masih berusaha memenuhi ekspektasi sosial hingga dengan mudah memberikan label pada seorang anak yang sedang tumbuh. Misalnya, ketika anak perempuan bermain bola atau bermain layang-layang dan anak laki-laki bermain lompat tali atau masak-masakan, seringkali direspons dengan raut heran dan mengecewakan. Sebab anak perempuan tampak maskulin dan anak laki-laki tampak feminin. Padahal, permainan anak tidak memiliki gender. 

Respons tersebut tentu tidak muncul begitu saja. Namun, ada konstruksi sosial yang telah hidup berabad-abad lamanya. Konstruksi sosial ini telah terjebak dalam ideologi maskulinitas negatif yang mensyaratkan orang lain sebagai objek, sehingga pantas untuk ditindas, dirampas haknya, dialineasi, sampai dengan dimiskinkan. Ideologi ini menuntut orang tua untuk mendidik anak perempuan sebagai individu yang penurut, pemalu, tidak boleh banyak bicara, penuh kasih, dan anak laki-laki sebagai individu yang berani, kuat, sampai dengan tidak boleh mengekspresikan kesedihan. 

Hari ini, kita berupaya keluar dari tuntutan ekspektasi sosial dan berupaya membebaskan diri menjadi subjek tanpa memperlakukan orang lain sebagai objek. Tentu kita tidak ingin penindasan, kekerasan, alienasi, pemiskinan, dan jebakan yang sama terjadi pada anak-anak kita. Seolah hal ini adalah siklus realitas sosial yang tak dapat diputus. 

Saatnya kita mengambil bagian untuk berupaya mengubah cara pengasuhan terhadap anak sembari terus berbenah diri. Sebab, sangat penting untuk mengajarkan kepada anak perempuan bukan untuk mendapatkan laki-laki yang mapan, gagah, untuk menjamin kebutuhannya secara materiil dan melindunginya dari dari bahaya. Melainkan, bahwa ia bisa menjadi mandiri dan mampu melindungi dirinya sendiri, punya suami ataupun tidak. 

Begitupun sebaliknya, penting untuk mengajarkan anak laki-laki menampilkan emosi atau perasaan serta menunjukkan empati dan kepedulian. Agar kelak ia tidak terjebak dalam “krisis kejantanan” akibat selalu dituntut untuk menjadi jagoan. Dalam buku Ester Lianawati yang berjudul “Akhir Pejantanan Dunia”, pengasuhan adil gender tidak akan membuat seks ataupun identitas gender anak hilang dan berubah. Yang penting untuk diubah bukanlah jenis kelamin yang sudah terberi yang bersifat kodrati atau pun sentimen akan keperempuanan dan kelelakiannya, apalagi orientasi seksualnya. Yang ingin dihindari adalah konstruksi kejantanan yang dampaknya merugikan dan membahayakan. 

Namun, sebelum lebih jauh untuk memulai pengasuhan yang memiliki keberpihakan kepada nilai-nilai adil gender, penting untuk terlebih dahulu membebaskan diri dari pelabelan gender. Pelabelan gender ini melekat kuat sebab melibatkan pemrosesan informasi yang bersifat mikro, amat kecil sampai tak kasat mata dan tak disadari. Ia jadi bagian dari imaginer collective, yang berarti semua orang secara umum berbagi pelabelan yang sama. 

Untuk itu, memeriksa diri sendiri secara berulang perlu untuk dilakukan. Mungkin kita melibatkan lebih banyak aktivitas bersih-bersih rumah dan masak-memasak pada anak perempuan bukan karena ia benar-benar menyukainya, tetapi karena sebagai orang tua masih berpikir bahwa anak perempuan tidak seharusnya melakukan aktivitas yang terlalu berat, banyak gerak, dan menimbulkan kebisingan. 

Oleh sebab itu, penting untuk terus berdialog dengan diri sendiri dengan matang sebelum melakukan pengasuhan adil gender pada anak. Diolah dari buku Ester Lianawati “Akhir Pejantanan Dunia”, berikut 6 prinsip yang dapat dijadikan panduan sederhana dalam mengupayakan pengasuhan adil gender: 

  1. Dunia tidak dikotomis

Pada dasarnya, tidak ada otak laki-laki dan otak perempuan, tidak ada benda-benda laki-laki dan benda-benda perempuan. 

Dimulai dengan memperkenalkan kepada anak arti keragaman, bahwa ada anak-anak yang berbeda darinya, bahwa berbeda bukan berarti lebih rendah. 

Sebab setiap karakter dan kesukaan anak adalah keunikan tersendiri, kita hanya perlu berbicara dengan anak untuk melatih karakter dan kesukaannya. 

Agar anak paham bahwa bakat, minat, kemampuan, dan pencapaian seseorang tidak bergantung pada jenis kelamin, usia, identitas gender, orientasi seksual, ras, budaya ataupun suku bangsa. 

2. Prinsip musyawarah

Tidak mencoba mengurangi, tidak juga menambahkan. Tujuannya adalah memperkaya dunia anak dan melatihnya untuk mampu mengambil keputusan secara mandiri. 

Anak dapat dikenalkan dengan segala bentuk permainan yang menstimulasi secara kognitif, psikologis dan sosial. Setiap anak perempuan dan laki-laki boleh bermain masak-masakan, boneka, mobil-mobilan, dan sebagainya. 

Tawarkan beragam permainan kepada anak apapun jenis kelaminnya. Semua ini dimaksudkan sebagai upaya membuka ruang penawaran dan mendorong anak, bukan memaksakan. 

3. Izinkan anak untuk berkoneksi (kembali) dengan emosinya

Izinkan anak perempuan maupun laki-laki untuk menuangkan beragam emosinya termasuk menangis. 

Daripada mengatakan, 

“Sudah, ayo jangan nangis” 

“Sudah, ayo berhenti menangis”

Mulailah berkata,

“Ayah dan Ibu ada di sini untukmu”, 

“Kalau mau bercerita, Ayah dan Ibu siap mendengarkan” 

“Ada yang bisa Ibu dan Ayah lakukan untuk kamu?”

Tambahkan pelukan dan kelembutan yang menghangatkan jiwa. Katakan dan tunjukkan kasih sayang pada anak. Penting bagi anak mengetahui bahwa ia dicintai.

4. Menunjukan empati, bukan mendominasi

Tanamkan bahwa empati adalah nilai kemanusian yang tidak memiliki jenis kelamin. Jika anak telah terkoneksi kembali dengan emosinya, perlahan ia memiliki kemampuan berempati. 

Upayakan untuk terlebih dahulu memberikan validasi terhadap segala emosi; bahagia, sedih, kecewa, marah—baik yang dialami oleh perempuan maupun laki-laki. Hal ini akan membantu anak terkoneksi dengan emosi yang dialaminya.

5. Mengembangkan harga diri anak

Orang tua perlu peka dengan potensi anak, bakat, minat, kelebihan, dan kekurangannya. 

Kecerdasan sejatinya tidak hanya dilihat dari faktor skor IQ, yang selama ini dijadikan rujukan standar kecerdasan seorang anak. Mulailah fokus pada apa yang dimiliki dan ditampilkan oleh anak. Ekspresikan penghargaan kepada tiap pencapaian yang didapat oleh anak. 

Cintailah anak sebagaimana ia adanya, bukan karena ia melakukan hal yang sesuai dengan keinginan kita, agar ia juga bisa mengelola dirinya dengan menerima dan mencintai dirinya.

6. Mengenal tubuh, memiliki tubuh, menghargai tubuh, dan mulai ajarkan consent (konsep persetujuan dalam melakukan suatu hal apapun)

Ajarkan pada anak untuk mengenal tubuhnya dengan menyebutkan nama organ tanpa dibuatkan nama lain, termasuk alat kelamin; penis dan vagina. Tidak ada yang memalukan, inilah organ tubuh yang kita miliki. 

Ajarkan pada anak bahwa tubuhnya berharga dan perlu ia jaga dari segala hal membahayakan—tidak ada yang boleh melukainya.

Ajarkan pada anak bahwa ia tidak wajib menerima dan memberi pelukan maupun ciuman jika memang tidak menginginkannya, terlebih jika tidak merasa nyaman dengan hal itu. Hal ini bisa dilakukan dengan menyanyikan lagu “Ku Jaga Diriku”. 

 

Menjadi orang tua adalah pelajaran seumur hidup, mencoba untuk memberikan ruang kebebasan untuk anak berkekspresi, menemukan minatnya , mengemukakan pendapatnya. Hal ini diupayakan sembari orang tua mengenali hak-hak anak. Yuk bekali diri untuk menjadi orang tua yang dapat menjadi teladan bagi terwujudnya kesetaraan gender di lingkup keluarga.

Kamis, 29 Desember 2022 09:10

Perempuan dan Kekerasan Atas Nama Agama

Perempuan adalah pihak yang rentan mengalami kekerasan atas nama agama. Bentuk kekerasan bisa berupa pelecehan, ancaman perkosaan, sampai bentuk perusakan fisik pada saat terjadi serangan. Ada anggapan, 'merusak' perempuan berarti mengalahkan kaum itu sendiri. Pihak atau komunitas yang diserang selanjutnya merasa tidak becus melindungi kaum perempuannya. 

Agama merupakan tuntunan bagi kehidupan manusia di dunia. Tuntunan ini memuat aturan, tata cara pengabdian dan tata laku pergaulan antar sesama. Tata laku pergaulan di dalam kehidupan mendatangkan kebaikan manakala benar-benar berdasar nilai-nilai agama. Agama tidak pernah mengajarkan dan menuntun pemeluknya untuk merugikan diri sendiri, orang lain, atau pun makhluk Tuhan lainnya.Kesalahan dan kemaksiatan mestinya didekati melalui cara hikmah dan toleransi. Perbedaan cara pandang terhadap sesuatu tidak boleh menjadi dasar perilaku kekerasan.

Beberapa waktu lalu, viral konten YouTube dari Zavilda TV. Konten yang diproduksi adalah konten eksperimen sosial dengan memaksa orang lain untuk berhijab dengan alasan toleransi terhadap agama yg dia anut. Stigmatisasi atas nama agama menimbulkan berbagai masalah, terlebih sampai dengan mengganggu privasi dan pilihan orang lain kemudian dipublikasikan.

Judul video yang diproduksi selalu menggunakan diksi "cewek seksi". Video diawali dengan menanyakan apa agamamu, kemudian disambung lagi mencoba menggali alasan kenapa seseorang memilih tidak menggunakan jilbab. Yang paling kontroversial dari konten ini adalah memaksa orang menggunakan jilbab dengan alasan toleransi.Padahal toleransi dilakukan dengan tanpa mengganggu kenyamanan atau pilihan hidup orang lain. Dalam hal ini, Zavilda menjadikan perempuan sebagai objek pasar. 

Pendudukan tubuh perempuan selalu menjadi sasaran empuk bagi pasar. Pendudukan tubuh perempuan tidak semata hadir dari Tuhan atau nasib. Namun, pendudukan tubuh perempuan telah terjadi sejak kepemilikan alat produksi, yang tentu hal ini diciptakan oleh lingkungan.

Dalam produksi video Zavilda Tv, terlepas dari apakah yang ia lakukan settingan (dia akhirnya membuat video klarifikasi pada 30 Agustus lalu), apa yang telah Zavilda lakukan jelas adalah kesalahan fatal yang sayangnya masih banyak dinormalisasi. Musdah Mulia, profesor fikih Islam dalam wawancaranya bersama Magdalene pada 2020 bilang, terlalu banyak orang di masyarakat kita yang menempatkan diri sebagai Tuhan. Banyak Muslim di Indonesia mudah menghakimi dan memosisikan dirinya yang paling benar beragama, sehingga layak menasihati bahkan “memaksa” orang lain untuk sepemaham dengannya.

Seharusnya beragama adalah perjalanan spiritualitas yang bersifat eksklusif. Artinya, ia hadir dalam relasi dua arah antara satu individu dengan Tuhannya, sehingga hanya bisa dilakukan oleh individu terkait. Karena itu, pengetahuan beragama seseorang juga sifatnya unik. Tak bisa disamakan oleh satu dengan lainnya. Zavilda tidak sadar, dengan membuat konten untuk memaksa seseorang untuk mengenakan jilbab dan pakaian tertutup, ia telah mengukuhkan paradigma agama dalam tubuh masyarakat. Bahwasanya agama itu secara esensi tak didasari atas rasa takut. Padahal agama itu ada untuk membawa ketentraman karena Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pemberi. Seharusnya sifat-sifat Tuhan inilah yang ditanamkan terlebih dahulu dalam diri kita, sehingga takkan ada stigma dan prasangka.

Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin merupakan konsep abstrak yang mengembangkan pola hubungan antar manusia yang pluralis, humanis, dialogis, dan toleran tanpa paksaan. Sudah seharusnya hadir dengan wajah yang damai dan tidak mengganggu pilihan hidup orang lain.Bukan toleran tapi menggunakan unsur paksaan dan objektivikasi terhadap tubuh perempuan. Tindakan Zavilda termasuk dalam Tindakan kekerasan berbasis gender karena mencoba mengontrol tubuh orang lain dan memaksakan kehendaknya, sekaligus menjadikan tubuh perempuan sebagai objek.  

Upaya dalam memerangi tindak kekerasan atas nama agama adalah mengedepankan konstitusi. Perlu ketegasan pemerintah harus tetap tunduk pada landasan hukum tertinggi di Indonesia yaitu undang undang Dasar 1945. Pun, sikap tegas dan konsisten dari aparat keamanan dan pemerintah penting adanya. Tidak ada imunitas hukum terhadap pelaku tindak kekerasan.

Ilustrasi Artikel Perempuan Transportasi

  Tulisan ini akan dimulai dengan pertanyaan bagaimana kondisi tranportasi publik setelah adanya pemisahan gerbong untuk perempuan? Sejauh mana efektifitas kebijakan yang dibuat oleh perusahaan pemilik tranportasi umum untuk mencegah kekerasan seksual? Dan, apakah kebijakan transportasi yang sensitif gender akan lebih menjamin rasa aman dan nyaman bagi perempuan?.

Mobilitas masyarakat khususnya di kota-kota besar semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan peningkatan kebutuhan untuk menjangkau kantong-kantong perekonomian. Akan tetapi tidak semua orang menggunakan kendaraan pribadi. Kemacetan di kota ditambah dengan pertimbangan biaya transportasi, menjadikan banyak orang memilih menggunakan transportasi umum. Terlebih pekerja perempuan yang jumlahnya cukup tinggi banyak yang menggunakan transportasi umum untuk alasan berhemat.

Satu dari dua perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Itulah hasil Survei Nasional Koalisi Ruang Publik Aman yang rilis pada 27 November 2019. Data ini memang terhitung sudah sejak 2020 namun kekerasan di transportasi publik semakin meningkat di tahun 2022. Beberapa waktu lalu banyak muncul twitter kekerasan di transportasi umum khususnya di KAI salah satu contohnya adalah peristiwa pelecehan seksual yang viral diunggah dalam sebuah utas di Twitter sejak hari Minggu, 19 Juni 2022 lalu. Dalam Hal ini PT. KAI telah melakukan respon cepat dengan mem-blaclist penumpang yang melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan diata KA Argo Lawu. Kasus ini kemudian di respon cepat oleh PT. KAI yakni :

Screenshot_59.png

Respon cepat dari PT.KAI sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual hal ini mendapat respon baik dari masyarakat namun perlu kemudian dilihat kembali apakah langkah ini sudah tepat? Apakah ini membuat penyintas lebih nyaman? Langkah yang dilakukan oleh PT. KAI memang sebagai upaya pencegahan namun dalam hal ini belum efesien karena penyintas harus menghubungi petugas di suatu gerbong untuk melaporkan, sedangkan jika mengingat bahwa posisi saat menjadi penyintas adalah posisi yang cukup sulit sebab belum tentu mampu melaporkan karena masih trauma dengan kejadian. Hal ini menjadi PR seluruh penyedia fasilitas umum agar menyediakan ruang aman bagi penyintas tidak hanya pelaporan.

Menurut Catahu Komnas Perempuan yang dirilis pada 2021 banyak kasus kekerasan yang terjadi di ruang publik salah satunya adalah di Transportasi publik. Berangkat dari banyanya keresahan terkait kekerasan skesual di transportasi publik kemudian muncul kebijakan gerbong khusus memang dilatarbelakangi atas ketidak nyamanan dan tidak aman angkutan umum bagi perempuan. Adanya pemisahan bukan lantas dilihat sebagai pemisahan penumpang laki-laki dan perempuan. Sebenarnya tujuannya cukup sederhana yaitu ingin melindungi perempuan. Namun pelaksanaan di lapangan masih saja menemui banyak kendala. Baik ketidaktertiban pengawasan oleh petugas sehingga penumpang laki-laki bisa menyerobot masuk. Atau pula pilihan si perempuan sendiri

Screenshot_57.png

Gambar 0.1 Catahu Komnas Perempuan 2021

Data kasus kekerasan di ruang publik disusul dengan data pelaku kekerasan seksual yang memberikan penjabaran lebih lengkap terkait dengan pelaku kekrasan di tranportasi umum. Dan menurut Catahu Komnas Perempuan pada 2022 menujukan salah satu pelaku terbanyak adalah driver ojek online yang melakukan tindak kekerasan seksual. Semakin banyak jenis tranportasi umum makan semakin beragam pula jenis kekerasan seksual yang akan terjadi.

Screenshot_58.png

Gambar 0.2 Catahu Komnas Perempuan 2022

Tahun 2020 ini pelaku kekerasan seksual tertinggi adalah teman (330 kasus), yang kedua adalah tetangga (209 kasus) dan orang tidak dikenal (138 kasus) serta yang tidak teridentifikasi/tidak menjawab (120 kasus). Untukdata pelaku juga terlihat ada kenaikan dimana pelaku atasan kerja sebanyak 91 kasus dimana pada tahun sebelumnya55 kasus, kenaikan di dunia kerja ini menunjukkan meningkatnya keberanian korban untuk melaporkan atasan kerjanya sebagai pelaku kekerasan seksual. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa salah satu pelaku yang presentasenya tinggi adalah driver online.

`           Ketika kebijakan untuk pencegahan kekerasan seksual sudah dilangsungkan terlebih dalam segmen transportasi sudah disusun sedemikian rupa agar memperhatikan kepentingan perempuan, maka yang menjadi catatan penting perihal pelecehan seksual maupun kasus perkosaan dapat dicegah dengan mengonstruksi pola berpikir masyarakat sendiri. Perlu pelibatan kesadaran dan kemauan masing-masing individu untuk saling menghargai dan menghormati hak-hak dan integritas tubuh orang lain khususnya perempuan. Memang upayapemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang lebih sensitif gender telah banyak dilakukan. Namun, masih ada tugas besar ke depannya.

Pertama, meskipun telah ada inovasidalam kebijakan transportasi publik dengan penyediaan ruang untuk melindungi perempuan dan mengakomodasi kepentingan perempuan dalam kaitannya dengan peran gender yang diembannya, bukan berarti pemerintah tidak perlu meninjau kembali kebijakan-kebijakan lainnya. Kebijakan publik tidak sebatas penyediaan ruang publik, tetapi juga harus menyangkut manajemen proses dan struktur lain penunjangnya.

Kedua, menyoal gender bukan hanya mempersoalkan laki-laki dan perempuan tetapi juga perlu melihat kelompok-kelompok rentan seperti orang tua, anak-anak, dan difable. Dalam kaitannya dengan transportasi, inisiasi transportasi sensitif gender juga perlu mempertimbangkan dan mengakomodasi kebutuhan kelompok-kelompok ini. Sebab, segala upaya pemerintah Indonesia selama ini untuk membuat kereta ataubus khusus perempuan agaknya kurang efektif jika tanpa dilengkapi dengan fasilitas untuk mereka yang berkebutuhan khusus seperti kemudahan akses untuk difable, fasilitas yang diutamakan untuk ibu hamil dan orang tua, pun ruang transportasi yang nyaman untukanak-anak.

Ketiga, jika kebijakan sudah dibuat tapi belum juga efektif maka perlu didukung dengan penyadaran masyarakat dari aspek kultural. Sebagai refleksi,maraknya pelecehan seksual dan perkosaan yang terjadi di tempat umum dapat dianggap sebagai sesat pikir persepsi masyarakat akan tubuh perempuan. Banyak oknum yang masih melihat perempuan dalam konteks seksualitas. Bagi pelaku, ini dapat menimbulkan hasrat untuk melakukan kejahatan seksual sedangkan bagi masyarakat lainnya dapat pula menimbulkan stigma negatif yang mengaitkan kejahatan dengan cara perempuan berpakaian. Perlu adanya penyadaran kepada masing-masing individu untuk menghormati dan memelihara hak-hak orang lain. Yang terpenting adalah selain kebijakannya juga masyarakatnya yang harus sensitif gender yaitu dengan menghargai dan peduli akan kepentingan perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya.

Sumber :  Catahu Komnas Perempuan 2021

                 Rifka Media tahun Edisi 49

Rabu, 24 Agustus 2022 14:44

Perempuan di Balik Kemerdekaan

Perempuan di Balik Kemerdekaan

Dalam proses menuju momentum kemerdekaan 17 agustus tahun 1945 banyak perempuan yang ikut serta dalam proses mengusir dan melawan penjajah yang menduduki Indonesia, bahkan banyak perempuan yang memiliki peran penting namun jasa-jasanya terlupakan. Hal ini tentu disebabkan rekonstruksi sejarah kita bercorak androsentris, karena sejarah terpusat pada kegiatan kaum laki-laki. Dalam berbagai kajian, perempuan menghilang dari literature sejarah Indonesia. Reduksionisme sejarah di Indonesia yang dijadikan alat untuk menimbulkan dominasi pengetahuan. Dalam berbagai kajian, perempuan kadang dikatakan berperan penting, tetapi biasanya tidak terlihat.

Oleh karena itu tulisan ini akan merefleksikan bagaimana kegigihan perempuan mulai dari medan perang, sampai dengan lembaga pendidikan. Selain Kartini, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, ada banyak perempuan Indonesia yang telah berjasa untuk negeri ini. Jasanya pun beragam. Sehingga menarik untuk kita telusuri jejak-jejaknya dan merefleksikan perannya dalam memperjuangkan tanah air diantaranya :

  1. Putri Campa

Putri Campa, merupakan selir kelima dari Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V, sebagai pemeluk Islam pertama di kerajaan Majapahit. Prabu Brawijaya V sangat mencintai Putri Campa yang membuatnya menjadi sangat lunak. Kepemimpinan Prabu Brawijaya banyak menaruh perhatian terhadap Islam, meskipun sang raja sendiri tidak beragama Islam. Selain istri dan anak-anak yang telah memeluk Islam, banyak dari kalangan pejabat kerajaan yang juga telah memeluk Islam.

Keberadaan Putri Campa yang melakukan ekspansi dakwah di tubuh Kerajaan Majapahit menjadi semakin lebih mudah seiring semakin melunaknya Prabu Brawijaya terhadap perkembangan Islam. Berdatangan para ulama dari negara lain untuk menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Hingga muncul Walisongo yang merupakan sebutan bagi para tokoh penyebar Islam dan dikeramatkan oleh masyarakat Jawa.

Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, didirikan oleh Raden Patah. Selain itu, hal yang tidak boleh dilupakan dari sosok Putri Campa ini, bahwa beliau adalah ibu dari Raden Patah, Sultan Kerajaan Islam Demak yang pertama. Putri Campa juga merupakan bibi dari Sunan Ampel.

  1. Setiati Surasto

Perempuan aktif dalam gerakan buruh dari Banyuwangi, yang aktif terlibat dalam Gabungan Serikat Buruh Sedunia bahkan menjadi drafter Perluasan Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 untuk persamaan upah dan anti diskriminasi. Bahkan dedikasi dari Setiati juga dibuktikan dari perannya dalam Sidang Biro Gabungan Wanita Demokratis Sedunia, dimana Setiati mengusulkan Solidaritas Internasional untuk perjuangan kemerdekaan nasional, hak-hak wanita dan perdamaian. Pada tahun 1964, Setiati pun diangkat menjadi sekretaris Gabungan Serikat Buruh Sedunia pada tahun 1964 di Praha. Ia secara khusus memperjuangkan solidaritas kaum buruh internasional yang bernafaskan anti imperialisme dan dekolonisasi.

 

  1. Fransisca C.Fanggidaej

Fransisca C Fanggidaej tokoh perempuan dari indonesia yang berpidato untuk memberitakan pada dunia internasional tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagai tokoh dan pejuang, ia pernah menduduki posisi strategis di berbagai organisasi seperti Pesindo, Kantor Berita Antara, dan DPR GR RI. Setela peristiwa berdarah 1965, ia terasing dari tanah air nya sendiri, dan kini menetap di Belanda.

  1. Laksmana Kemalahayati

Malahayati merupakan putri dari Laksamana Mahmud Syah atau cucu dari Muhammad Said Syah. Muhammad Said Syah sendiri merupakan putra Sultan Salahudin Syah yang memerintah kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1530-1539 M. Armada bentukan Malahayati tersebut kemudian bermarkas di Teluk Lamreh, Krueng Raya. Di sekitar teluk itulah, Malahayati kemudian membangun benteng pertahanan yang diberi nama Kuto Inong Balee. Selain menjadi benteng pertahanan, benteng yang dibangun Malahayati juga dijadikan tempat untuk mengawasi pergerakan berbagai kapal yang melintas di daerah kesultanan Aceh Darussalam, sekaligus sebagai tempat tinggal bagi para pasukan Inong Balee.

Selain membentuk armada perang, jasa besar Malahayati dan armada yang dibuatnya adalah ketika terjadi peristiwa penyerbuan yang dilakukan oleh Malahayati dan pasukannya, terhadap empat kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman pada tanggal 21 Juni 1599 M.

  1. Monia Latuliya

Monia Latuwaria tidak hanya memberikan semangat kepada para pejuang Hatuhaha tapi ia juga memimpin perang Alaka II, setelah Patih Hatuhaha tewas, Monia Latuwaria, tokoh perempuan yang berperan penting dalam kemenangan masyarakat Hatuhaha pada perang Alaka II melawan penjajahan Hindia-Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sejak tahun 1625-2637

  1. Rohana Kudus

Rohana Kudus tumbuh menjadi seorang wartawati dan ia menjadi wartawati pertama Indonesia. Pada 1911, Ruhana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KS) di kota gadang, sekolah ini lahir sebab kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai langkah awal membuka kesadaran bagi perempuan yang pada saat itu memiliki posisi nomer dua. Sembari aktif di bidang pendidikan yang disenanginya, Ruhana menulis di surat kabar perempuan Poetri Hindia. Ketika dipersekusi oleh pemerintah Hindia-Belanda, Ruhana berinisiatif mendirikan surat kabar, bernama Sunting Melayu. Surat kabar tersebut menjadi salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Roehana hidup pada zaman yang sama dengan R.A. Kartini, ketika akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi.

  1. Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah

Rahmah sempat belajar di Diniyah School yang dipimpin abangnya, Zainuddin Labay El Yunusy. Tidak puas dengan sistem koedukasi yang mencampurkan pelajar putra dan putri, Rahmah secara inisiatif menemui beberapa ulama Minangkabau untuk mendalami agama, hal tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad ke-20 di Minangkabau. Ia mempelajari berbagai ilmu praktis secara privat yang kelak ia ajarkan kepada murid-muridnya. Di dukung oleh abangnya ia merintis Diniyah Putri pada 1 November 1923 yang tercatat sebagai sekolah agama Islam perempuan pertama diIndonesia.

Saat pendudukan Jepang, Rahmah memimpin Hahanokai di Padangpanjang untuk membantu perwira Giyugun. Pada masa perang kemerdekaan, ia memelopori berdirinya TKR di Padangpanjang dan mengerahkan muridnya ikut serta melawan penjajah walaupun dengan kesanggupan mereka dalam menyediakan makanan dan obat-obatan. Ia ditangkap oleh Belanda pada 7 Januari 1949 dan ditahan. Dalam pemilu 1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR mewakili Masyumi, tetapi tidak pernah lagi menghadiri sidang setelah ikut bergerilya mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

  1. Sitti Manggopoh

Siti manggopoh adalah seorang ibu yang memiliki dua anak, ia perempuan yang memiliki peran penting di tanah sumatera. Dia diamanahkan untuk menjadi pemimpin pertempuran belasting, ia diberikan amanah tersebut sebab keberaniaanya menghimpun kekuatan untuk melakukan perlawanan, melalui sanggar tarung yang ia buat untuk merekrut pasukannya. Di sebuah masjid ia berikrar dihadapan suami dan 15 orang pejuang yang berhasil dihimpunnya; “Setapak tak akan mundur, selangkah tak akan kembali”

  1. Boetet Satidjah

Boetet Satidjah tercatat sebagai pendiri dan sekaligus editor surat kabar bulanan “Perempuan Bergerak” yang terbit di Medan tahun 1919. Surat kabar bulanan ini menjadi wadah untuk berseru, menyuarakan perlawanan, sekaligus membawa narasi setara. “Perempuan Bergerak” mendorong perempuan untuk bergerak maju. Boetet Satidjah memperjuangkan kemajuan bangsa dengan memperjuangkan kesamaan hak perempuan dalam mendapatkan pendidikan dan berorganisasi. Lewat tulisannya, Boetet mengajak perempuan untuk bergerak, bersiasat dan membangun jaringan untuk keluar dari keterbelakangan. Berikut cuplikan salah satu tulisan Boetet di koran Perempoean Berjoeang edisi Mei 1919:

“Feminisme kita ini hendaklah kita toedjoekan menoeroet djalan nan elok, dan bersih, soepaja peregerakan kita ini tiada terhambat-hambat. Adat dan agama nan elok itoe djangan kita lampawi. Pada saudara-saudara laki-laki kita poehoenkan soepaja teman fikirkan, Bahasa toean-toean moesti dipandang bangsa hoilander sebagai Indische broeder. Djadi saja harap toendjang feminism kami perempoean-perempoean poen akan dipandang oleh Hollander dari Holiandsche vrouw sebagai Indische zuster.”

  1. Lasminingrat

Lasminingrat menjadi seseorang sastrawan, daei beberapa karyanya Lasminingrat menyadur cerita-cerita asing tersebut menjadi lebih akrab bagi masyarakat setempat, seperti mengubah nama tokoh menjadi Erman dan Ki Pawitra serta mengadaptasi ceritanya agar sesuai dengan kebudayaan lokal.

Lasminingrat mendirikan sekolah Kautamaan Istri di Pendopo Kabupaten Garut. Sekolahnya terus berkembang. Pada tahun 1911 jumlah muridnya mencapai 200 orang sehingga membangun 5 kelas baru di samping pendopo. Pada tahun 1934, saat usianya sudah lebih dari 80 tahun, Lasminingrat membangun 3 cabang sekolah lagi. Pada tahun 1948, Lasminingrat menghembuskan nafas terakhirnya dengan usia 105 tahun.

Sumber :

 Hesri Setiawan, 2006, “Memoar Perempuan Revoluioner Fransisca C. Fanggidaej”, Galangpress, Yogyakarta

Deddy Effendi, 2011, “Perempuan Intelektual Pertama Indonesia, Pejuang dan Perintis Literasi Pada Zamannnya”, Studio Proklamasi.

46776111
Today
This Week
This Month
Last Month
All
10768
10768
284478
343878
46776111