Rabu, 05 September 2018 13:09

Saya seorang dokter. Saya pernah mengikuti sebuah acara lokakarya terkait permasalahan kekerasan terhadap perempuan, dan pada saat itu dijelaskan bahwa salah satu bentuk kekerasan seksual adalah sunat perempuan. Yang ingin saya tanyakan, dari segi manakah sunat perempuan menjadi bentuk kekerasan seksual? Karena sunat itu bisa menjadi kewajiban di suku tertentu. Apabila mendapati ada pihak keluarga yang meminta sunat pada anak perempuan, sikap saya sebaiknya bagaimana? Terimakasih banyak.

Mirna di kota J

JAWAB

Salam dr. Mirna,

Temuan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dari hasil pemantauan selama 15 tahun (1998-2013) di Indonesia menyebutkan ada 15 bentuk kekerasan seksual, yaitu perkosaan, ancaman perkosaan, pelecehan seksual, penghukuman bernuansa seksual, pemaksaan kehamilan, pemaksaan pernikahan, penyiksaan seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, sunat perempuan, pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi, pemaksaan berbusana, prostitusi paksa, dan sunat perempuan.

Adapun, sunat perempuan menjadi salah satu bentuk kekerasan seksual, karena kebiasaan masyarakat ini sering ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya, yang bernuansa seksual, dan dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan. Kebiasaan ini dapat pula dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan.

Kebijakan sunat perempuan di Indonesia sendiri masih pro-kontra. Pada tahun 2006, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Kemenkes mengeluarkan Surat Edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan. Surat Edaran ini membuat praktik sunat perempuan pada bayi perempuan tidak dilakukan. Namun, pada Mei 2008, MUI menentang larangan tersebut. MUI mengeluarkan Fatwa untuk menolak larangan khitan perempuan. MUI mengeluarkan fatwa tentang khitan perempuan yang berbunyi, khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Akhirnya, pada 2013, Kemenkes mencabut Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur tentang praktik sunat perempuan. Alasannya, banyaknya pihak yang masih beranggapan khitan perempuan yang dilakukan di Indonesia sama dengan di Afrika. Khitan perempuan di Afrika dilakukan dengan cara mutilasi, sementara di Indonesia, menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris dengan menggunakan jarum steril tanpa melukai.

Memang di Indonesia, praktek sunat perempuan tidak seperti di Timur Tengah dan Afrika. Di negara tersebut, sunat perempuan sampai menghilangkan bagian klitoris, dengan maksud supaya perempuan tidak dapat merasakan orgasme. Tujuannya adalah untuk mengontrol seksualitas perempuan, agar perempuan tidak berhubungan seksual dengan laki-laki selain pasangannya. Beberapa budaya di Indonesia bahkan secara simbolis saja melakukan sunat, misalnya diganti dengan kunyit atau rempah yang lain.

Secara medis, praktek sunat perempuan di Indonesia tidak mengganggu kesehatan. Namun juga tidak ada manfaat medis sama sekali. Yang berbahaya dari praktek ini adalah ide dasarnya, yaitu untuk mengekang hak perempuan dalam menikmati hubungan seksual. Perempuan dikontrol dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan seksualnya. Ini adalah perspektif yang sangat merendahkan, karena seolah-olah ketika kontrol itu tidak dilakukan, perempuan akan menjadi manusia yang tidak tahu norma dan etika. Inilah yang menyebabkan sunat perempuan dimasukkan ke dalam bentuk kekerasan seksual.

 Uraian di atas dapat menjadi bahan referensi bagi Ibu dalam membangun diskusi dengan keluarga yang hendak melakukan sunat perempuan pada anak perempuannya. Minimal, bahwa niat untuk melakukan sunat perempuan tidak dilandasi perspektif yang merendahkan seperti uraian di atas.

Kekerasan seksual bukan hanya serangan seksual secara fisik. Namun ucapan, sikap, maupun ide dasar, nilai, dan gagasan yang bernuansa seksual dan merendahkan perempuan, juga merupakan bentuk kekerasan seksual yang perlu kita kenali bersama untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Semoga uraian ini cukup menjawab pertanyaan Ibu. Jika masih ada yang ingin didiskusikan silahkan dapat datang langsung ke kantor kami di Jln. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta, atau via telepon di (0274) 553333 dan hotline 085100431298 / 085799057765, serta email di Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.. Terimakasih.

Selasa, 25 Oktober 2016 14:51

Oleh: R. Andadari Raya Hanantari

Sunat Perempuan (Female Genital Mutilation)

Mutilasi alat kelamin wanita atau female genital mutilation merupakan “segala prosedur yang melibatkan pemotongan sebagian atau secara keseluruhan alat kelamin bagian luar wanita atau melukai alat kelamin wanita untuk alasan non-medis”[1] Istilah yang familiar yang sering digunakan di Indonesia adalah sunat perempuan. Praktik sunat perempuan merupakan tindakan yang tergolong sebagai kekerasan terhadap perempuan. Praktik ini telah dilarang oleh berbagai organisasi internasional, Namun  sunat perempuan tetap dilakukan oleh berbagai negara didunia. Sunat perempuan dilakukan oleh tenaga medis atau dukun. Namun karena kedekatannya dengan nilai-nilai agama dan budaya, pada umumnya sunat perempuan dilakukan oleh dukun yang tidak memiliki pendidikan medis. Hal ini menyebabkan alat-alat yang digunakan tidak steril dan seringkali menyebabkan infeksi alat kelamin. Berdasarkan data pada tahun 2016 yang dikeluarkan oleh WHO, terdapat 200 juta wanita dan perempuan dari 30 negara di dunia yang mengalami mutilasi alat kelamin atau sunat perempuan.[2]

Tabel 1. Persentase Praktik Mutilasi Alat Kelamin atau Sunat Perempuan di Dunia[3]

Negara Persentasi Wanita dan Perempuan yang Mengalami Sunat atau Mutilasi Alat Kelamin
Somalia 98%
Djibouti 93%
Mesir 91%
Sudan 88%
Yaman 23%
Iraq 8%
Republik Afrika Tengah 24%
Ethiopia 74%

Sunat Perempuan menyebabkan kerusakan pada alat kelamin, namun praktiknya terbagi menjadi empat tipe, yaitu:[4]

  • Tipe I: dikenal sebagai Clitoridectomy; merupakan praktik pemotongan secara keseluruhan atau sebagian dari klitoris dan/atau kulitnya
  • Tipe II: dikenal sebagai excision; merupakan praktik pemotongan secara keseluruhan atau sebagian dari klitoris and labia minora, yang terkadang sering disertai dengan pemotongan labia majora
  • Tipe III: dikenal sebagai Infibulation; Praktik ini merupakan tipe sunat yang paling menyebabkan kerusakan pada alat kelamin wanita. Prosedur yang dilakukan antara lain dengan mempersempit vagina dengan memotong, memposisikan, dan menjahit labia minora dan labia majora, Tipe ini sering kali disertai dengan pemotongan klitoris. Sedangkan jahitan pada alat kelamin tersebut hanya bisa dibuka melalui operasi atau hubungan seksual.
  • Tipe IV: merupakan tipe sunat yang melibatkan prosedur-prosedur yang merusak dan membahayakan alat kelamin wanita untuk alasan non-medis, antara lain penusukan, penggoresan piercing, pengirisan, dan cauterizing pada alat kelamin wanita.

Praktik sunat perempuan terbukti tidak memiliki manfaat apapun terhadap kesehatan seksual dan fisik wanita. Sebaliknya, sunat perempuan justru merusak dan mengganggu fungsi dasar organ seksual dan reproduksi wanita. Dampak dari sunat wanita juga sangat buruk bagi kesehatan fisik, psikis, dan seksual, diantaranya adalah rasa sakit, pendarahan, pembengkakan dan merusak jaringan alat kelamin, demam, infeksi, permasalahan ketika buang air, permasalahan dalam menstruasi, trauma, permasalahan seksual, meningkatkan resiko dalam komplikasi ketika melahirkan, dan kematian.[5]

 Budaya dan Sunat Perempuan di Indonesia

Diantara negara-negara yang masih menjalankan praktik sunat perempuan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka suat perempuan tertinggi, dimana dari tahun 2010-2015 49% perempuan Indonesia berumur 0-11 telah disunat dengan tipe pengirisan atau Tipe I, sementara 28% perempuan Indonesia disunat secara ‘simbolis’ melalui Tipe IV.[6] Tipe I dan Tipe IV adalah tipe sunat yang paling umum dilakukan di Indonesia, namun di beberapa daerah di Indonesia, seperti Madura, masih melakukan praktik sunat Tipe II dan Tipe III yang merupakan tipe sunat yang paling berbahaya.[7] Sunat perempuan dapat dilakukan oleh tenaga medis professional atau dukun. Dalam proses sunat, dukun terkait menggunakan pisau, silet, bambu yang diruncingkan, atau pisau dapur untuk memotong atau mengiris bagian dari klitoris dan setelah proses selesai luka potongan tersebut diberikan obat antiseptic.

 Pada tahun 2006, Indonesia telah membuat kemajuan dalam mengakhiri sunat perempuan, dengan membuat pelarangan praktik sunat perempuan oleh tenaga medis professional.[8] Namun pada tahun 2008, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa yang menentang pelarang sunat perempuan oleh pemerintah. MUI menyatakan bahwa sunat perempuan adalah bagian dari hukum syariah, sehingga tenaga medis professional harus menyediakan jasa sunat perempuan apabila diminta oleh keluarga, orang tua, dan masyarakat.[9] Fatwa tersebut juga meregulasi proses sunat perempuan, sehingga ‘aman’ bagi kesehatan fisik dan psikis perempuan. Tekanan dari MUI kemudian mempengaruhi pemerintah untuk mengeluarkan regulasi PMK No. 1636/2010 yang memperbolehkan rumah sakit dan klinik ibu dan anak untuk terus menyediakan jasa sunat perempuan yang dilakukan oleh tenaga professional dan melarang prosedur sunat perempuan yang berbahaya.[10] Bahkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menawarkan sunat perempuat sebagai paket kelahiran bersama vaksin dan imunisasi. Komisi Nasional Antri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Komite Perlindungan Anak telah melakukan advokasi untuk menentang kebijakan pemerintah tersebut, namun ditolak pada tahun 2014. Fenomena ini menjadikan sunat perempuan yang merupakan kekerasan terhadap perempuan di justifikasi  pemerintah.

 Praktik sunat perempuan di Indonesia berakar dari nilai budaya dan agama di Indonesia. Sunat perempuan bahkan dianggap sebagai kewajiban dioleh banyak pemeluk agama islam. Hal ini menyebabkan tekanan sosial akan pentingnya sunat perempuan. Bahkan di beberapa kelompok masyarakat, apabila perempuan tidak disunat maka, kewajibannya dalam islam seperti, sholat, puasa, sedekah, dan lainnya tidak akan diterima oleh Tuhan. Hubungan yang kuat antara sunat perempuan dengan budaya dan agama tercermin dari prosesi yang dilakukan oleh dukun dan doa-doa yang diucapkan selama prosesnya. Masyarakat Indonesia mempercayai bahya sunat perempuan dilakukan untuk menyelamatkan wanita dari hiperseksual. Sehingga perempuan yang tidak disunat akan dilabeli sebagai perempuan ‘nakal’, ‘liar’, ‘binal’, ‘genit’, dan ‘kotor’. Perempuan yang tidak disunat juga dianggap tidak akan mampu menjaga kesuciannya sampai menikah. Stigma-stigma negatif tersebut kemudian merendahkan perempuan yang tidak disunat di masyarakat dan komunitasnya sendiri. Faktor-faktor tersebut kemudian menekan orangtua untuk melaksanakan sunat kepada anak perempuannya.

Sunat Perempuan Sebagai Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia

Dampak dari Sunat perempuan sangat berbahaya, namun masih banyak orang yang belum menyadari bahwa sunat perempuan adalah bentuk kekerasan terhadap wanita yang di justifikasi oleh pemerintah. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sunat perempuan telah di larang, hal ini disampaikan dalam pasal 5, yaitu “Tak Seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.”[11] Selain dalam DUHAM, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita pada pasal 1 menyatakan bahwa sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan terhadap wanita, yaitu, “Setiap tindakan yang membedakan, pengecualian, atau pembatasan yang berdasarkan oleh perbedaan jenis kelamin yang berdampak atau bertujuan untuk merusak atau meniadakan pengakuan, kebahagiaan, kenikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan, terlepas dari status pernikahan mereka, berdasarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil dan bidang lainnya.”[12] Praktik sunat perempuan secara jelas meruakan bentuk penyiksaan terhadap wanita yang merusak kebahagiaan dan kenikmatan sebagai wanita. Praktik ini pada umumnya dilakukan setelah kelahiran. Pada posisi tersebut orangtua dari anak perempuan bertanggung jawab untuk menentukan tindakan yang terbaik bagi anak, namun sunat perempuan dilakukan tidak didasari untuk kebaikan anak tersebut, sebaliknya sunat perempuan justru banyak mengakibatkan konsekuensi dan dampak yang berbahaya bagi anak secara fisik, psikis, dan seksual.

Selain melanggar konvensi-konvensi internasional, stigma-stigma yang berkaitan dengan praktik sunat peremuan juga merupakan bentuk dari kekerasan terhadap perempuan. Perempuan yang tidak disunat dianggap sebagai ‘genit’ dan ‘binal’. Stigma tersebut sering kali menyebabkan wanita yang tidak menjali sunat kesulitan untuk mendapatkan pasangan untuk menikah dan pekerjaan di beberapa daerah di Indonesia.[13] Walaupun belum ada bukti medis yang terpercaya yang dapat membuktikan stigma tersebut. Fenomena ini memperlihatkan bahwa stigma-stigma terhadap wanita tersebut merupakan kekerasan berbasis gender secara structural yang tertanam di dalam sistem masyarakat yang patriarki yang di justifikasi oleh pemerintah. Sehingga pemerintah seharusnya meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai isu imi melalui edukasi dan penyuluhan mengenai dampak merusak dari sunat perempuan di daerah urban dan rural di Indonesia. Tindakan tersebut diharapkan mampu mengubah perspektif masyarakat terhadap sunat perempuan dan mampu melarang sunat perempuan sepenuhnya.



[1]World Health Organizataion, February 2016, Female Genital Mutilation: Fact Sheet,  Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs241/en/ [14 June 2016].

[2] World Health Organizataion, February 2016, Female Genital Mutilation: Fact Sheet, Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs241/en/ [14 June 2016].

[3] United Nations Children’s Emergency Fund, July 2013, New UNICEF Report on Female Genital Mutilation/ Cutting: Turning Opposition into Action, Available from: http://data.unicef.org/corecode/uploads/document6/uploaded_pdfs/corecode/FGMC_Lo _res_Final_26.pdf [14 June 2016].

[4] Burrage, H, 2015, Eradicating Female Genital Mutilation: A UK Perspective, Henry Ling Limited, Dorchester, pp.27 – 30.

[5] Moseley, W.G., 2008, Taking Sides: Clashing Views on African Issues, McGraw-Hill Higher Education, Colombus, p. 223

[6] Frence-Presse, A., 2013, ‘Indonesia Ignores UN Ban on Female Genital Circumcision, Denies Mutilation’, Jakarta Globe, 24 March, Available from:  http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/indonesia-ignores-un-ban-on-female-circumcision-denies-mutilation/  [14 Juni 2016]

[7] Patel R., Roy, K., 2016, Female Genital Cutting in Indonesia: A Field Study, Islamic Relief Canada, Canada, p. 13

[8] Belluck, P., Cochrane, J., 2016, ‘UNICEF Reports Finds Female Genital Cutting to be Common in Indonesia’, New York Times, 4 February, Available From: http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/indonesia-ignores-un-ban-on-female-circumcision-denies-mutilation/ [ 15 June 2016]

[9] Frence-Presse, A., 2013, ‘Indonesia Ignores UN Ban on Female Genital Circumcision, Denies Mutilation’, Jakarta Globe, 24 March, Available from:  http://jakartaglobe.beritasatu.com/news/indonesia-ignores-un-ban-on-female-circumcision-denies-mutilation/  [14 Juni 2016]

[10] United Nations Children’s Emergency Fund, 2016, Division of Data, Research, and Policy – Indonesia, February 2016, Avaiable from: http://data.unicef.org/corecode/uploads/document6/uploaded_country_profiles/corecode/222/Countries/FGMC_IDN.pdf [14 Juni 2016]

[11] United Nations, December 1948, Universal Declaration of Human Rights, Available from: http://www.un.org/en/universal-declaration-human-rights/ [ 15 June 2016]

[12] United Nations, 1979, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, Available from: http://www.un.org/womenwatch/daw/cedaw/ [ 15 June 2016]

[13] Patel R., Roy, K., 2016, Female Genital Cutting in Indonesia: A Field Study, Islamic Relief Canada, Canada, p. 13

46531618
Today
This Week
This Month
Last Month
All
340
39985
39985
343878
46531618