Minggu, 19 Maret 2017 15:44

Oleh Wakhit Hasim (Anggota perkumpulan Rifka Annisa; Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

 

 

 Laki-laki_sejati_anti_kekerasan.jpg

Kontribusi gerakan perempuan terhadap perubahan tata hukum di Indonesia dapat dikatakan progressif melebihi dari gerakan lain. Sejak munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memperjuangkan nasib perempuan tertindas pada masa Orde Baru tahun 1980-an, hingga munculnya gerakan advokasi kebijakan publik tahun 90an-2000an, gerakan ini menghasilkan sederet undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan lain di bawahnya misalnya UU PKDRT (Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) No. 23 Tahun 2004, UUPA (Undang-undang Perlindungan Anak), UU PTPPO (Undang-undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang) No. 21 Tahun 2007, Kepres RAN-PKTP (Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan) Tahun 2001, Peraturan Menteri tentang SOP Layanan Perempuan Korban Kekerasan Tahun 2008, Layanan Satu Atap P2TP2A, pembentukan Komnas Perempuan, bahkan penggantian nama Kementerian Peranan Wanita menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, dan masih banyak lagi. Hasilnya, sejak tahun 2005 kasus kekerasan terhadap perempuan lebih leluasa memperjuangkan keadilan diri dan keluarganya secara hukum, dan kesadaran masyarakat atas adanya KDRT semakin tinggi.

Namun, apakah dengan demikian masyarakat berubah pandangan mengenai gender? Jika ya, apakah pandangan ini mempengaruhi tata kelola sumber daya kehidupan sehari-hari di desa-desa dan di komunitas-komunitas?

Jawabnya, masih sangat sedikit. Kalau tidak bisa dijawab BELUM. Jika diukur dari tahun 80-an kelahiran gerakan feminisme masa Orba sampai sekarang sudah berjalan 18 tahun, jawaban ini mengisyaratkan tentang kemiskinan strategi gerakan feminisme di tingkat komunitas-komunitas karena gerakannnya didominasi oleh wilayah elit.

Mengapa bisa demikian halnya? Ada empat hal yang saya temui di lapangan dalam pengalaman 20 tahun terlibat dalam gerakan ini, yaitu (1) bias aktivisme liberal, (2) kesadaran common sense, (3) tidak berkembangnya analisis sosial gender, dan (4) kurangnya role model untuk gerakan komunitas.

Bias liberalistik dalam aktifisme terlihat pada keyakinan bahwa mengubah masyarakat dilakukan dengan mengubah pandangan individu, baik melalui pelatihan, workshop, kampanye, maupun tekanan kebijakan pemerintah. Individu adalah basis unit strategi, dan masyarakat diandaikan sebagai agregat individu. Hal ini dilakukan di berbagai isu mulai sosial, budaya, ekonomi, politik, bahkan agama. Kajian tafsir gender bagi para aktifisnya telah memuaskan jika memperoleh pendekatan baru tafsir yang kontekstual, dan dengan demikian sudah dianggap maksimal. Pendekatan komunitas yang telah dilakukan beberapa LSM dan Ormas masih tetap berkonsentrasi pada perubahan individu, bukan tata kelola komunitas. Meskipun beberapa telah mengintegrasikan dengan musrenbang untuk mempengaruhi program dan budget, namun hasil nyata dari tata kelola sosial ini masih sangat sedikit dan lemah.

Saya juga memperhatikan mandegnya inovasi strategi pada LSM dan Ormas yang lama bergerak dalam isu feminisme. Dari waktu ke waktu, strategi program dan aktifitas telah seperti mengikuti pola umum yang dianggap paten, mulai dari pelatihan, workshop, kampanye, advokasi. Sejak gerakan ini dilakukan sampai sekarang masih sama, dan tidak bergeser. Pelatihan gender, pelatihan feminisme, pelatihan gender budget, strategi renstra, dll.

Sebagai akibat dari kecenderungan mengikuti common sense ini, analisis sosial gender tidak bergerak maju. Feminisme sebagai suatu wacana terus berdengung dari aliran liberalisme, marxisme, sosialisme, dunia ketiga, interseksionisme, radikalisme, post strukturalisme, dll. Hasilnya adalah serial jurnal yang akademik dan elit. Tidak ada yang menyentuh tanah, sawah, ladang, laut, nelayan, hubungan industrial dalam perburuhan, pola mobilisasi sumberdaya tanah, teknologi alternatif, dan lain-lain yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Sudah ada, tapi sayup-sayup.

Dan catatan terakhir saya, yang memberi contoh kongkret tentang gerakan yang menyatu dengan masyarakat, berbasis komunitas, pengorganisasian yang tidak programatik saja, tapi juga spasial, baik berbasis desa maupun kawasan, itu belum ada. Sudah ada, tapi masih sangat sedikit dan gaungnya belum ada.

Ini adalah autokritik buat gerakan perempuan, dimana saya juga terlibat di dalamnya. Jika Anda memiliki kesaksian lain untuk pengembangan bersama, silakan.

Cirebon, 17 Maret 2017

46774222
Today
This Week
This Month
Last Month
All
8879
8879
282589
343878
46774222