Selasa, 30 Jun 2020 23:39

Tidak ada yang benar-benar siap menghadapi virus Covid-19. Kita semua sama-sama tidak tahu kapan pandemi ini berakhir. Upaya pencegahan dengan penerapan physical distancing digemakan di seluruh dunia. Situasi ini membuat hampir semua orang lebih banyak berada di rumah. Implementasi dari physical distancing (menjaga jarak fisik) yang dianjurkan oleh pemerintah itu salah satunya adalah kebiasaan baru untuk #dirumahaja, sehingga Work From Home (WFH) dan School From Home (SFH) menjadi aktivitas baru bagi sebagian besar orang.

Sekarang mari kita amati bersama pada konteks keluarga, institusi terkecil dari masyarakat. Bulan April lalu kami, Rifka Annisa, mendiskusikan hal ini bersama para fasilitator kelas ayah. Kelas ayah merupakan salah satu kegiatan dalam Program Prevention+ yang dilaksanakan oleh Rifka Annisa. Para fasilitator kelas ayah tersebut berbagi cerita tentang ketidaksiapan keluarga menghadapi perubahan tatanan hidup yang berubah sangat cepat. Anak yang bertanya, “Kok bapak di rumah saja, kok bapak tidak bekerja?” menjadi pertanyaan yang sulit untuk dijawab dengan santai. Memang tidak sedikit orang yang kehilangan mata pencahariannya akibat pandemi ini. Lebih peliknya lagi, upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari, cicilan, dan kebutuhan belanja rumah tangga yang semakin sulit dipenuhi ini tentu potensial memicu konflik apabila tidak dikomunikasikan dengan baik.

Sementara itu, beberapa ayah mengaku memetik hikmah di masa pandemi ini, terutama pada proses mendampingi anak-anaknya belajar di rumah. Hal yang mungkin jarang dilakukan sebelum adanya pandemi. “Sekarang jadi lebih sering dekat sama anak saya, ngajarin belajar bareng, sholat bareng, ngaji bareng, dan jadi tambah banyak ngumpul-ngumpul bareng sama keluarga. Selama tidak ada kesibukan seperti sebelumnya yang nggak pernah bisa bercengkerama atau bersenda gurau bersama keluarga seperti saat ini,” kata Ngajiyo, salah satu fasilitator kelas ayah. Di sisi lain, beberapa ayah juga menyadari pentingnya berbagi peran. Karena banyak di rumah, mereka jadi ikut merasakan beratnya pekerjaan ibu rumah tangga di rumah.

Beberapa hari di rumah saja mungkin menyenangkan, tetapi belum tentu jika itu untuk waktu yang lama. Kejenuhan, kecemasan, ketakutan, dan berbagai rasa lainnya tentu saling bersilang sengkarut di pikiran. Beberapa ayah memberikan tips-tipsnya untuk beradaptasi di situasi krisis akibat pandemi ini dalam lingkup keluarga.

Pertama, membangun komunikasi dalam keluarga. Ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain harus satu persepsi. Samakan pemahaman tentang virus ini, apa bahayanya, dan seperti apa upaya pencegahannya. Setelah pemahamannya sama, buatlah kesepakatan di dalam keluarga. Misalnya untuk tidak bepergian apabila tidak penting, menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak aman dengan orang lain. Perlu juga untuk saling menanyakan perasaan antar-anggota keluarga. Situasi pandemi yang rumit ini tentu juga rentan menimbulkan tekanan psikis, sehingga butuh komunikasi yang baik untuk mengatasinya. Komunikasi itu gampang tapi rumit. Terkadang, komunikasi memang harus diciptakan dan dibangun momennya.

Kedua, menghadapi tantangan ekonomi. Menurunkan ego dan gengsi menjadi kunci di sini. Mengutip Nur Hasyim dalam webinar bertajuk “Keluarga Beradaptasi dengan Krisis”, disebutkan bahwa: “Ada persoalan laki-laki ketika melakukan kebijakan isolasi sosial. Normalnya mereka bekerja di luar rumah, lalu tiba-tiba mereka harus di dalam rumah, itu tekanan sendiri bagi laki-laki.” Menurunkan ego dan gengsi bukanlah hal yang mudah bagi laki-laki, tetapi juga bukan hal yang mustahil.

Saat berdiskusi dengan para fasilitator komunitas kelas ayah, para ayah ini saling menguatkan di tengah ekonomi yang sulit akibat pandemi. Kehilangan pekerjaan tidak masalah, banyak temannya. “Ya pelan-pelan, nyatanya kalau kayak saya serabutan gitu, kalau nggak entuk seka kene (dapat dari sini), yo entuk seko kono (ya dapat dari sana), semoga teman-teman juga begitu,” kata Pak Jatmiko, fasilitator kelas ayah dari Semin. Dalam menghadapi tantangan ekonomi ini, tentunya para ayah harus mencari alternatif-alternatif solusi bersama dengan pasangannya, seperti misalnya mencari sumber-sumber penghasilan baru yang kreatif.

Ketiga, membangun kerja sama. Walaupun banyak di rumah, bukan berarti pasrah menjadi kaum rebahan. Banyak pekerjaan rumah yang bisa dikerjakan. Memasak, mencuci, bersih-bersih rumah, mengasuh anak, menemani anak belajar, dan lain-lain. Kesalingan menjadi tantangan di sini. Bisa dibayangkan apabila tidak ada saling peduli dan saling kerja sama? Berat tentu! Belum lagi emosi marah, kecewa, hingga berburuk sangka, dapatmemicu konflik-konflik kecil. Apabila tidak diselesaikan akan menjadi bumerang di kemudian hari.

Pada akhirnya, kita juga melihat bahwa tantangan di masing-masing keluarga tidaklah sama. Beda persoalan bukan berarti tidak ada penyelesaian. Kita semua tidak ada yang mengetahui kapan pandemi ini akan berakhir, sehingga mau tidak mau kita yang harus beradaptasi. Beradaptasi di situasi krisis itu pilihan, dan pilihannya ada di tangan kita: Larut dalam situasi kesedihan atau bangkit untuk bertahan!

Selasa, 30 Jun 2020 23:13

 

Banyak dari kita paham bahwa pengasuhan bukan menjadi peran ibu atau perempuan saja. Ayah atau laki-laki juga bisa terlibat dalam dan tentunya memiliki peran penting dalam pengasuhan. Tapi perlu dipahami bahwa keterlibatan pengasuhan oleh ayah tidak terbatas pada pemberi nasihat, mengantar ke sekolah atau menemani bermain. Pengasuhan oleh ayah bisa lebih luas ranahnya selayaknya yang dilakukan oleh ibu.

Ayah bisa dengan mudah menyusui anaknya karena ada teknologi yang bisa menyimpan ASI. Sekarang, ibu atau perempuan punya banyak ruang dan kesempatan untuk berkarir maupun bersosialisasi. Sehingga sudah sewajarnya keluarga melakukan kesalingan dalam pekerjaan rumah termasuk pengasuhan.

Jane B. Brooks (dalam Nefrijanti, 2018) berpendapat bahwa pengasuhan merupakan proses interaksi yang dilakukan orang tua untuk mendukung perkembangan anak. Ketika pengasuhan dipahami sebagai interaksi, maka hubungannya tidak satu arah saja. Dalam pengasuhan, anak maupun orang tua sama-sama belajar hal baru dan saling menerima dampaknya. Menariknya, ketika ayah terlibat dalam pengasuhan secara penuh, banyak dampak positif bagi anak, ibu maupun ayah itu sendiri.

Bagi anak, keterlibatan ayah dalam pengasuhan dapat mempengaruhi kesehatan fisik maupun mental seorang anak (Wahyuningrum, 2011). Ketika ayah terlibat dalam pengasuhan, anak laki-laki akan memiliki pemahaman tentang nilai kesetaraan gender. Sedangkan anak perempuan akan memiliki pandangan tentang laki-laki yang peduli dan supportif. Pengalaman bersama sosok ayah dan ibu dalam pengasuhan tentunya bisa menjadi bekal positif bagi anak ketika mereka dewasa dan bersosialisasi atau menjalin hubungan.

Bagi perempuan/ibu, peran suami bekerja sama melakukan pengasuhan dapat meringankan beban berlebih yang biasanya terjadi. Studi dari berbagai negara menemukan bahwa ketika suami hadir mendampingi proses pra-kelahiran hingga waktu kelahiran, istri mengalami persalinan yang lebih aman dan mengurangi risiko depresi pasca-persalinan. Selain itu, para perempuan di berbagai negara mengaku lebih puas dalam hubungan mereka ketika pasangan atau suami banyak terlibat di rumah (Heilman, et al., 2016:47).

Bagi laki-laki/ayah, ketika ikut terlibat pengasuhan maka akan ada kecenderungan memiliki  pola hidup yang lebih sehat. Banyak laki-laki merasa lebih puas dengan kehidupan mereka ketika bisa terlibat penuh dalam pengasuhan (Heilman, et al., 2016:47). Semakin banyak momen dilakukan bersama anak, semakin banyak pula laki-laki akan melakukan hal-hal positif seperti bergerak atau tidak merokok. Bahkan tingkah laku anak seringkali membuahkan tawa dan menjadi pelepas penat dari hari yang berat.

Bagi kualitas hubungan, melakukan pengasuhan tentunya bisa menambah momen bersama anak maupun pasangan. Ketika orang tua bisa dekat dengan anak, maka akan menumbuhkan kedekatan dan kepercayaan anak. Sehingga anak akan memiliki kecenderungan untuk terbuka dengan orang tua ketika ada persoalan di dalam hidupnya. Bukan menggunakan internet atau lingkungan pergaulannya yang bisa jadi kurang tepat untuk membantu menyikapi.

Banyak orang tua mengharapkan yang terbaik bagi anaknya namun tidak sedikit dari mereka yang kurang tepat memilih cara. Sekarang kita menyadari bahwa dalam keluarga perlu ada kerja sama dan saling peduli. Sebagai sebuah keutuhan, setiap anggota mempunyai peran. Ayah bukan hanya pencari nafkah. Ayah bukan lagi sosok yang suka marah-marah demi menjaga “wibawa”. Ayah juga punya peran di rumah. Karena ayah sama pentingnya dengan Ibu dan anak sebagai sebuah keluarga. Selamat belajar menjadi keluarga yang penuh cinta.

Referensi:

Heilman, B., Cole, G., Matos, K., Hassink, A., Mincy, R., Barker, G. (2016). State of America’s Fathers: A MenCare Advocacy Publication. Washington, DC: Promundo-US.

Nefrijanti. (2018). Definisi dan Pendapat Para Ahli tentang Pengasuhan (Parenting). Diakses pada 20 Juni 2020, dari https://pusatkemandiriananak.com/definisi-dan-pendapat-para-ahli-tentang-pengasuhan-parenting/

Wahyuningrum, Enjang. (2011). Peran Ayah (Fathering) Pada Pengasuhan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Universitas Kristen Satya Wacana.

Selasa, 30 Jun 2020 22:41

COVID-19 memberikan banyak pelajaran bagi umat manusia di seluruh dunia, di antaranya pelajaran tentang hakekat kehidupan yang dinamis dan terus berubah. Sebelum pandemi, aspek kehidupan manusia yang dianggap mapan seperti praktik dan tradisi beragama serasa tidak mungkin diubah. Namun, virus corona mengubah cara pandang itu bahwa tradisi beragama sekalipun tidak luput dari proses perubahan. Karenanya, para penganut agama dipaksa untuk beradaptasi dengan mencari dasar-dasar argumentasi bahwa perubahan dalam praktik beragama adalah sebuah keniscayaan. Hanya agama-agama yang mampu beradaptasi dan lentur dengan perubahan akan tetap menjadi anutan umatnya.

Demikian halnya dengan peran-peran sosial laki-laki dan perempuan.  Hakekat dari peran gender adalah dinamis, terus berubah dan tidak pernah mencapai wujudnya yang final. Hal itu tidak seperti yang dinormakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan peran sosial yang tegas. Laki-laki berperan di sektor publik dan produktif sementara perempuan berperan di sektor domestik dan reproduktif. Seperti cara pandang umat manusia terhadap tradisi dan praktik beragama, peran gender pun dipandang sebagai hal yang mapan dan tetap. Seluruh upaya laki-laki dan perempuan yang melintasi batas perbedaan peran sosial itu akan mendapatkan sanksi sosial.  Namun, Covid-19 memaksa umat manusia, laki-laki dan perempuan, untuk kembali kepada hakekat peran mereka yang dinamis dan terus berubah.

Covid-19 membukakan mata bahwa citra laki-laki yang dibayangkan serba kuat, superior dan dominan itu tidak realistis. Laki-laki justru terperangkap dalam mitos kelelakian yang semakin membuat mereka rentan dan ringkih. Gaya hidup laki-laki yang bersumber pada norma maskulinitas justru semakin membuat laki-laki berisiko tinggi dalam situasi pandemi. Nilai ‘mengambil risiko’ yang diagungkan laki-laki membuat mereka cenderung tidak memiliki perilaku protektif, seperti enggan menggunakan masker dan malas cuci tangan.  Norma homososial di kalangan laki-laki yang diwujudkan dalam perilaku berkelompok dan bergerombol membuat laki-laki mengabaikan jarak fisik aman. Lalu, perilaku mencari pertolongan yang rendah membuat laki-laki mengabaikan gejala-gejala sakit yang membuat mereka terlambat mendapatkan pertolongan. Kebijakan bekerja dari rumah dan isolasi sosial juga membuat laki-laki gagap karena rumah dianggap bukan basis eksistensinya sebagai laki-laki, mereka seharusnya di kantor. Terisolasi di dalam rumah menjadi tekanan yang luar biasa dan ketika laki-laki gagal mengelola tekanan ini akan memicu ketegangan dan konflik dengan pasangan, anak atau siapapun yang berada di dalam rumah yang menciptakan risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung laki-laki tersebut akan terjadi jika laki-laki mengingkari hakekat kehidupan yang dinamis dan terus berubah, termasuk hakekat peran-peran sosial laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu, laki-laki hanya memiliki pilihan untuk kembali dinamis dan terbuka terhadap segala perubahan. Dengan begitu, akan membuat laki-laki menjadi lentur dan fleksibel terhadap perubahan yang terjadi, termasuk perubahan-perubahan yang disebabkan oleh masalah alam maupun non alam, seperti pandemi Covid-19. Lebih-lebih ketika ilmu pengetahuan memperkirakan bahwa pandemi atau masalah-masalah kesehatan akan menjadi masa depan umat manusia.

Lalu, bagaimana untuk dapat menjadi laki-laki adaptif? Setidaknya ada tiga hal, pertama, laki-laki harus memiliki pandangan yang terbuka terkait dengan norma-norma maskulinitas. Citra ideal laki-laki hendaknya dilihat secara kritis. Citra maskulinitas yang ada hanya membatasi laki-laki untuk mewujudkan potensi maksimalnya sebagai manusia.  Oleh sebab itu, laki-laki harus dapat keluar dari citra itu dan membebaskan diri untuk menjadi laki-laki yang mereka inginkan, termasuk kesiapan untuk berubah ketika situasi mengharuskan mereka untuk berubah.

Kedua, laki-laki harus memiliki kecakapan personal dan relasional. Kecakapan-kecakapan personal diperlukan untuk memungkinkan laki-laki dapat mengelola diri secara sehat ketika terjadi tekanan-tekanan sebagai konsekuensi dari perubahan-perubahan yang terjadi di luar diri laki-laki, seperti ketika terjadi wabah Covid-19 yang mengubah seluruh tatanan kehidupan manusia. Sementara, kecakapan relasional akan memungkinkan laki-laki memiliki kemampuan untuk menyelesaikan konflik dan perbedaan dengan orang lain, seperti dengan pasangan, anak atau orang lain secara positif dan non kekerasan.

Ketiga, laki-laki harus lebih terbuka dan fleksibel dengan peran-peran gender mereka. Pandangan terkait dengan pembagian peran sosial berdasarkan jenis kelamin hendaknya ditinggalkan laki-laki karena akan menghalangi laki-laki untuk dapat beradaptasi dengan setiap perubahan. Dengan mempraktikkan peran-peran yang lebih fleksibel dan beragam akan meningkatkan kemampuan laki-laki untuk bertahan hidup dalam situasi sosial yang dinamis dan berubah cepat. Wallahu’alam.

 

Nur Hasyim

Anggota Dewan Pengawas Yayasan Rifka Annisa Sakina

Rabu, 21 Februari 2018 16:41

Sebagai anak-anak, kita tidak dibatasi dalam bermimpi dan mengungkapkan aspirasi tentang masa depan. Kita merasa kita bisa menjadi apapun yang kita inginkan: astronot, kesatria dengan baju besi yang berkilauan atau penyelam di lautan yang dalam. Namun kemudian terdapat sesuatu yang disebut “pelabelan pada gender” yaitu sebuah gagasan atas apa yang tidak dan dapat dilakukan oleh anak laki-laki dan anak perempuan secara tradisional. Anak perempuan diharapkan untuk cakap di bidang seni dan humaniora, sementara anak laki-laki diarahkan pada matematika dan sains. Pelabelan ini terpenuhi dalam proses perkembangan sampai anak-anak tersebut mulai membentuk preferensi dan jalur karirnya. Kebanyakan laki-laki bekerja di pekerjaan dengan upah yang lebih baik pada bidang sains, teknik, teknologi dan informatika, sementara perempuan cenderung memilih profesi pengajar dan pekerja sosial.

Pada abad yang lalu slogan dalam Bahasa Jerman "Kinder, Küche, Kirche" yang biasa dikenal masih digunakan dalam percakapan sehari-hari. Slogan tersebut bisa diterjemahkan menjadi "anak-anak, dapur, gereja". Ini memiliki konotasi yang sangat menghina, menggambarkan apa yang dilihat sebagai model peran tradisional perempuan di masyarakat Barat kontemporer. Saat ini terkadang slogan tersebut diganti dengan "Kinder, Küche, Karriere", yang berarti "anak-anak, dapur, karir", yang menunjukkan bahwa seorang perempuan masih dipandang sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas rumah tangga dan merawat anak-anak, sementara dia juga diminta untuk menjadi seorang perempuan karir. Pelabelan dan beban ganda ini mulai berkurang di Jerman, terutama dalam beberapa tahun terakhir. Namun masih banyak yang harus dilakukan. Mengakui dan mengatasi pelabelan gender ini sangat penting untuk mewujudkan kesetaraan gender menjadi kenyataan. [1]

Konteks Jaman Dahulu

Laki-laki yang sudah menikah biasanya memiliki hak untuk menentukan keputusan akhir terkait seluruh masalah keluarga sampai tahun 1957 ketika Undang-Undang Persamaan Hak mulai berlaku. Baru pada tahun 1977, perempuan di bagian barat Jerman berhak memperoleh pekerjaan tanpa izin dari suami mereka. Hak perempuan untuk memilih bahkan tidak sampai seratus tahun di Jerman, karena perempuan baru diperbolehkan memberikan suara pada tanggal 19 Januari 1919. [2]

Situasi Hukum

Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dijamin melalui Pasal 3 dalam Undang-Undang Dasar Republik Federal Jerman. Pasal ini menyatakan [3] :

Semua orang harus sama di hadapan hukum. Laki-laki dan perempuan harus memiliki hak yang sama. Negara harus mempromosikan pelaksanaan yang sebenarnya bagi persamaan hak perempuan dan laki-laki dan mengambil langkah untuk mengeliminasi kerugian-kerugian yang ada saat ini. Tidak ada orang yang harus disukai atau tidak disukai karena jenis kelamin, keturunan, ras, bahasa, tanah air dan asal-usul, kepercayaan, atau agama atau pendapat politik. Tidak ada orang yang harus dibenci karena cacat.

Pada tahun 1994, sebuah pasal baru ditambahkan ke dalam Konstitusi Jerman yang memberikan kewajiban kepada pihak yang berwenang untuk melawan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, sejauh ini negara mempromosikan pelaksanaan faktual dari kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dan berusaha untuk menghilangkan kerugian yang ada. Hukum menjamin hak yang sama dan mencegah diskriminasi di Jerman dan dikembangkan atas dasar hak-hak persamaan [4]. Undang-undang Umum tentang Kesetaraan Perlakuan telah berlaku sejak tanggal 18 Agustus 2006. Undang-Undang ini mencakup empat Petunjuk Anti-Diskriminasi Uni Eropa dalam hukum Jerman. Ujuan dari Undang-undang ini adalah untuk mencegah atau untuk menghentikan diskriminasi atas dasar rasis atau asal etnis, jenis kelamin, agama atau kepercayaan, kecacatan, usia atau orientasi seksual. Undang-undang Umum tentang Kesetaraan Perlakuan mengatur klaim dan konsekuensi hukum dalam kasus diskriminasi, baik di bidang pekerjaan maupun di bidang hukum perdata [5]. Mengenai pelaporan jenis kelamin, Pemerintah Federal menyampaikan Laporan Kesetaraan Jenis kelamin pertama di tahun 2011 dan dilakukan dengan keputusan Bundestag Jerman (parlemen) untuk terus menyusun laporan tersebut dalam setiap periode pemilihan. [6]

Pendidikan

Sama seperti di seluruh negara Eropa, dulu perempuan memiliki banyak kekurangan dibandingkan dengan laki-laki dalam perjalanan pendidikan mereka. Perempuan dan laki-laki mungkin bisa memiliki nilai yang sama atau bahkan lebih baik ketika di sekolah menengah, tetapi ketika mereka melanjutkan ke universitas, para laki-laki lebih mendominasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin sulit bagi seorang perempuan untuk naik ke puncak. Pada bidang akademik, untuk waktu yang sangat lama kebanyakan yang melanjutkan pendidikan hingga PhD dan menjadi profesor adalah laki-laki. Dalam dekade terakhir negara-negara Eropa telah melakukan upaya signifikan untuk memperbaiki situasi akses pendidikan yang setara. Di Jerman pada tahun 1990, jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan mmulai meningkat dari 29-37% [7]. Sejak itu semua perbedaan dalam persentase belajar telah lenyap sampai hari ini. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa dengan adanya kesempatan yang sama untuk mengakses, lebih banyak perempuan yang memperoleh hasil pendidikan yang lebih baik dan lebih baik dalam belajar daripada laki-laki. Di bidang obat-obatan terdapat 9% pelajar perempuan dan 4% pelajar laki-laki. Karena ini adalah perkembangan terkhir yang meningkat pada tahun-tahun sebelumnya, maka laki-laki masih memperoleh posisi yang lebih tinggi di universitas [8].

Pekerjaan

Sebelumnya Jerman telah berkomitmen bahwa pada tahun 2016, perusahaan yang ditentukan dan terdaftar sebagai saham akan diminta untuk mencadangkan setidaknya 30% kursi pengawas untuk perempuan dalam jajaran dewan mereka.  [9]  Sejak 1 Januari 2016, kuota jenis kelamin sebesar 30% telah diterapkan untuk dewan pengawas usaha yang terdaftar dan patuh pada penentuan tujuan berbasis paritas. Bayaran diskriminasi telah dilarang, namun Pemerintah Federal juga berencana untuk memperkenalkan peraturan transparansi baru. Dibandingkan denga proporsinya di masyarakat, perempuan yang berada dalam posisi pengambil keputusan kurang terwakili di Jerman, baik di bidang politik maupun ekonomi – meskipun hak yang sama untuk perempuan dan laki-laki dijamin oleh Undang-Undang Dasar, oleh Federal Equal Treatment Act dan oleh undang-undang yang berlaku di negara bagian Federal (Lander) dan terlepas dari kenyataan bahwa kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan merupakan tujuan penting dari kebijakan kesetaraan. Partisipasi perempuan di posisi teratas perusahaan adalah isu yang berlaku, berbeda dengan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik. [10]

Kesenjangan Gaji Jenis kelamin

Untuk kesenjangan gaji jenis kelamin, perempuan di Jerman masih mengalami perbedaan pembayaran dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan cenderung mempelajari lebih banyak ilmu sosial dan humaniora sedangkan laki-laki lebih banyak mempelajari hard science. Karena pilihan tersebut, kemudian berdampak pada pendapatan kedua kelompok  pekerjaan karena pekerjaan yang terkait dengan ilmu sosial dan humaniora cenderung mendapatkan upah yang lebih sedikit. Pemerintah Federal telah meluncurkan sebuah program yang mendorong perempuan untuk mempelajari ilmu teknik, teknologi, atau ilmu yang berhubungan denngan sains untuk melawan kecenderungan ini [11]. Upaya yang dilakukan untuk merubah stereotip jenis kelamin adalah adanya Hari Anak Perempuan dan Hari Anak Laki-Laki, yang juga disebut sebagai Hari Masa Depan Siswa. Program ini memungkinkan perempuan untuk melihat lingkungan yang didominasi oleh laki-laki seperti ilmuwan komputer atau sebagai tukang kayu dan laki-laki juga dapat menghabiskan satu hari di sekolah dasar atau di tempat perawatan lansia. [12]

Uang Anak-Anak

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah fereal yang berbeda dengan mayoritas politik lainnya berfokus pada kebijakan keluarga. Jumlah fasilitas penitan anak meningkat, all-day school  didirikan sebagian dan skema penggantian pendapatan baru telah diebentuk. [13] Penduduk wajib pajak Jerman berhak atas TK jika mereka memiliki anak. Itu semua adalah tunjangan (juga disebut Child Benefit) dari pemerintah Jerman untuk membantu membiayai sebagian biaya untuk membesarkan anak-anak. Besar biaya tersebut antara  € 192 sampai € 223 per anak setiap bulannya. Orang tua menerima uang anak-anak ini dari pemerintah sampai anak-anak berusia 18 tahun, meskipun bisa berlanjut sampai usia 25 tahun jika mereka masih bersekolah atau memenuhi persyaratan lain untuk melakukan perpanjangan. Mulai bulan Januari 2017 keuntungan telah dinaikkan menjadi € 192 per bulan per anak untuk dua anak pertama, € 198 untuk anak ketiga dan € 223 untuk masing-masing anak berikutnya. [14]

Uang Orang Tua

Elterngeld atau "Uang Orangtua" dibatasi pada 12 atau 14 bulan pertama setelah kelahiran anak tersebut. Jumlah Elterngeld didasarkan pada pendapatan setelah pajak dari orang tua yang didedikasikan untuk merawat bayi yang baru lahir dan dipandang sebagai subsidi pendapatan terbatas. Hal ini memungkinkan kedua orang tua untuk menggunakan hak mereka untuk cuti dalam rangka kelahiran baru anak mereka dan juga untuk menerima Elterngeld - dengan membagikan jangka waktu "Elterngeld" yang dialokasikan (total 12-14 bulan). Hal ini menjelaskan bahwa ibu (atau ayah yang tinggal di rumah) adalah orang yang "dipekerjakan" dan mendorong ayah untuk berkontribusi lebih aktif terhadap perawatan anak-anak. [15] Eltergeld telah memberi kontribusi pada lebih banyak "ayah aktif". 34% ayah di Jerman mengambil cuti orang tua dengan rata-rata pengeluaran 3,1 bulan di rumah dengan anak mereka. [16] Aturan cuti orang tua, yang mencakup tiga tahun, tetap berlaku. Orangtua mungkin tetap bekerja tapi saat cuti mereka tidak menerima upah atau tunjangan. Sejak 2013 semua keluarga memiliki hak untuk memberi anak mereka perawatan anak yang disediakan oleh negara. [17]

Orang Tua Tunggal

Di Jerman, peraturan baru akan memperbaiki situasi keuangan orang tua tunggal. Karena orang tua tunggal sering tidak menerima dukungan finansial untuk anak-anak mereka dari ayah (atau, dalam kasus yang jarang terjadi, dari ibu), pemerintah federal membayar subsidi uang muka untuk memastikan stabilitas ekonomi mereka. Pada tanggal 16 November 2016, Kabinet Federal menyetujui sebuah peraturan baru mengenai pembayaran pemeliharaan uang muka federal (Unterhaltsvorschusszahlung). Dari bulan Juli 2017 dan seterusnya, pembayaran ini akan diberikan sampai anak berusia 18 tahun, sedangkan menurut peraturan yang berlaku sampai Juni 2017, diberikan sampai anak berusia 12 tahun dan paling lama 72 bulan. [18]

Abortus

Setiap perempuan di Jerman dapat memiliki kontrasepsi dan mereka berusia  20 tahun alat kontrasepsi itu dibagikan secara gratis. Menurut undang-undang Penal § 218  yang kontroversial, aborsi ilegal di Jerman, namun tidak dihukum ketika seorang perempuan mencari konseling sebelumnya. Tingkat aborsi terus menurun. Sehari setelah pil tersedia tanpa resep dokter. Rasio kematian ibu di Jerman termasuk yang terendah di dunia.

Kesimpulan

Kesetaraan jenis kelamin belum tercapai di Jerman dan akan ada lebih banyak perubahan yang diperlukan di masa depan untuk mencapainya. Meskipun demikian, alangkah baiknya jika melihat kembali sejarah dan meyadari, bahwa ini adalah perjalanan panjang yang telah dicapai perempuan. Setiap perubahan kecil dalam kebijakan dan setiap perempuan yang mencapai sesuatu adalah hal penting yang perlu diperhatikan karena mereka mengangkat semua perempuan ke depan. Negara anggota Uni Eropa yang berbeda berada pada tingkat kemajuan yang sangat berbeda, sementara harus diperhatikan bahwa negara-negara Skandinavia seperti Swedia memiliki kebijakan cuti parental yang lebih baik lagi, dan perusahaan dengan perbedaan besar bagi setiap jenis kelamin berisiko membayar denda, jika mereka tidak menanggapinya. [19] Penting untuk dicatat, bahwa cara Swedia atau Jerman menganjurkan kesetaraan jenis kelamin tidak dapat diberikan dengan cara yang sama ke negara lain seperti di Indonesia. Perlu diperhatikan kebutuhan setiap negara untuk melihat kemana arah yang ingin dituju oleh negara tersebut. Proses menuju masyarakat yang setara sama sekali tidak dapat dicapai dalam waktu satu tahun. Mungkin butuh waktu lama, tapi baik dan perlu untuk didiskusikan dan menginspirasi satu sama lain dalam prosesnya.

 

About the author: Malin Klinski is a student at Universitas Gadjah Mada where she studies at the Insitute for Social and Political Sciences.

Photo credit: @UN_Women

Referensi:

[1] European Institute for Gender Equality. 17. August 2017

[2] Botsch, Elisabeth (2015). The Policy on Gender Equality in Germany. Brussels: European Union. p. 7

[3] Basic Law for the Federal Republic of Germany

[4] Botsch, Elisabeth (2015). The Policy on Gender Equality in Germany. Brussels: European Union. p. 26

[5] Federal Anti-Discrimination Agency. The General Equal Treatment Act. Act Implementing European Directives Putting Into Effect the Principle of Equal Treatment. 2006.

[6] 2011 Annual Report on Gender Equality: Germany.

[7] studienwahl.de

[8] Bildungsbeteiligung und Bildungschancen. In: Bundeszentrale für Politische Bildung (31.05.2012).

[9] UN Women Report Germany. 2015

[10] Botsch, Elisabeth (2015). The Policy on Gender Equality in Germany. Brussels: European Union. p. 11

[11] Kleinhubbert, Guido. Sciences Struggle to Attract Young Women. In: Der Spiegel (24.09.2013).

[12] Girls-day.de/Boys-day.de

[13] Botsch, Elisabeth (2015). The Policy on Gender Equality in Germany. Brussels: European Union. p. 8

[14] www.kindergeld.org

[15] Botsch, Elisabeth (2015). The Policy on Gender Equality in Germany. Brussels: European Union. p. 19

[16] Report on Equality between men and women in the EU 2017

[17] www.bmfsfj.de

[18] Report on Equality between men and women in the EU. P.26

[19] Weller, Chris. Sweden is the best country in the world for women. In: The Nordic Business Insider (17.03.2017).

46136078
Today
This Week
This Month
Last Month
All
4524
25181
294964
279406
46136078