Selasa, 03 Juli 2018 09:15

Kepada Rifka Annisa Women’s Crisis Center

Saya Laksono, laki-laki yang tinggal di Surabaya. Menarik membaca pengalaman perempuan yang mendapat kekerasan. Saya turut bersimpati dengan semua penderitaan yang terjadi. Meski demikian, saya juga ingin protes kepada Rifka Annisa, kenapa lebih terkonsentrasi mendampingi perempuan?

Laki-laki banyak juga yang mendapat kekerasan. Bukankah ini salah satu bentuk diskriminasi? Barangkali protes saya memang subyektif karena saya merasa menjadi bagian kaum laki-laki. Saya mengakui ada beberapa perempuan yang mendapat perlakuan tidak enak dari suami atau orang lain, tetapi berapa persentasenya? Jangan-jangan suaranya saja yang besar, tetapi faktanya kecil. Apa sebenarnya dampaknya? Jangan terlalu didramatisir ah!

Kasus yang terjadi pada artis kita, misalnya. Saya pikir itu hanya akal-akalan mereka mendapat publisitas gratis guna mendongkrak kepopuleran. Yah, lumayan terkenal menjadi artis infotainment meski enggak dapat order sinetron

Terima kasih!

(Laksono)

 

Jawaban :

Yang terhormat Pak Laksono (jawaban ini juga ditujukan untuk Y dan I di Jakarta, serta S di Bali). Terima kasih atas perhatiannya terhadap kolom kami. Suara Bapak mewakili pandangan serupa di kalangan masyarakat dunia yang juga tidak habis pikir mengapa perempuan mendapat perhatian dan prioritas untuk masalah ini. Di seluruh dunia, setiap kali persoalan kekerasan terhadap perempuan dibahas, maka serta-merta pernyataan dan gugatan itu muncul.

Masalah kekerasan terhadap perempuan dalam kehidupan domestik (rumah tangga) terangkat ke permukaan dan menjadi perhatian ilmuwan sosial sejak awal tahun 1970-an. Pada masa itu banyak riset dilakukan untuk melihat apa sebetulnya yang dialami perempuan karena kebutuhan yang terus mendesak untuk adanya rumah aman guna menampung perempuan yang terpaksa lari menyelamatkan diri dari rumahnya akibat perlakuan kasar suami atau pasangan lelakinya.

Ternyata riset menunjukkan banyak perempuan mengalami persoalan berat dalam rumah tangga akibat perlakuan fisik, psikis, maupun seksual yang sifatnya ”menganiaya”, ”meneror”, atau ”menyakitkan” dari suami atau pasangan lelakinya.

Riset terus dikembangkan untuk melihat bagaimana sebetulnya peluang lelaki dan perempuan menjadi pelaku dan korban kekerasan. Beberapa studi pun dilakukan dengan cara mendokumentasikan laporan yang masuk di kantor polisi, rumah sakit, dan pengadilan, untuk melihat laporan dan pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan penganiayaan, keluhan fisik, dan psikis akibat penganiayaan dan gugatan perceraian.

Temuan dari studi di beberapa kota dan negara yang berbeda menunjukkan memang ada fakta lelaki dan perempuan sama-sama dilaporkan sebagai pelaku dan juga korban kekerasan domestik, tetapi persentase lelaki sebagai pelaku jumlahnya 7-8 kali lipat dari jumlah perempuan yang dilaporkan melakukan kekerasan domestik.

Hasil riset ini juga memberi petunjuk, kekerasan yang dilakukan perempuan kepada pasangan lelakinya biasanya dimotivasi upaya pembelaan diri karena mereka telah ditekan selama ini. Jadi, lebih merupakan ”pukulan balik” kepada pasangan lelakinya dan karena ekspresi emosi/kemarahan semata. Sementara, kekerasan oleh lelaki umumya dimotivasi dominasi, maskulinitas, dan ekspresi kekuasaan terhadap istri atau pasangan perempuan.

Perbedaan lain adalah dampaknya. Sama-sama mengalami kekerasan domestik, perempuan menderita lebih banyak konsekuensi negatif, mulai dari kesehatan mental, fisik, fungsi reproduksi, hingga kehidupan sosial, dan pekerjaan. Perempuan juga berisiko lebih tinggi untuk terbunuh, mengalami teror, dan ketakutan berkepanjangan, walaupun mereka telah berpisah atau bercerai dari suami atau pasangan lelaki yang menganiayanya. Pola semacam ini hampir tidak dijumpai pada lelaki yang melaporkan diri menjadi korban kekerasan domestik.

Jadi, Pak Laksono, membicarakan kekerasan domestik memang tidak sesederhana yang kita duga. Ini bukan sekadar memanjakan perempuan atau mendiskriminasi lelaki, tetapi memang ada situasi kultural dan struktural yang rumit di banyak tempat yang menjadikan nilai kemanusiaan lelaki dan perempuan menjadi tidak setara.

Rachel Jewkes, dokter asal Afrika Selatan, dalam tulisannya di jurnal internasional Violence Against Women April 2002, menulis teori bahwa kekerasan domestik merupakan fenomena yang kompleks karena faktor penyebabnya berlapis-lapis. Jewkes yang melakukan meta-analisis dari ratusan riset tentang kekerasan domestik di berbagai negara menyebutkan, ada dua penyebab paling dasar, yaitu ideologi superioritas lelaki di masyarakat (rendahnya posisi tawar perempuan), dan kultur kekerasan dalam penyelesaian konflik. Kedua faktor dasar itu dibumbui faktor lain seperti stres, kemiskinan, minum alkohol, peran model dari ayah yang kasar kepada ibu, dan sebagainya, menjadikan kekerasan domestik lebih prevalen dilakukan suami/lelaki terhadap istri/perempuan pasangannya.

Jadi, itu sebabnya prioritas diberikan kepada perempuan. Dikatakan Jewkes, perempuan yang terdidik dan berasal dari budaya tidak merendahkan perempuan terbukti sebagai faktor penting yang menghindarkan perempuan dari tindak kekerasan ini.

Demikian Bapak Laksono, penjelasan kami. Semoga bermanfaat! Salam, Rifka Annisa.

 

Kompas, Sabtu 29 Oktober 2005

46778856
Today
This Week
This Month
Last Month
All
2178
13513
287223
343878
46778856