Rabu, 04 Juli 2018 11:32

Saya VN (26) ibu rumah tangga dan telah berumah tangga selama tiga tahun. Suami saya (40) mempunyai kebiasaan aneh, yaitu menonton film porno, melihat situs porno, dan akhirnya masturbasi.

Yang saya ketahui sejak menikah dia jauh lebih sering masturbasi daripada menggauli saya. Dari awal saya memang merasa kecewa tetapi saya mendiamkan hal tersebut sebab tidak tahu bagaimana harus membicarakannya. Sikap itu akhirnya menumpuk seperti bom waktu yang akhirnya meledak. Kalau selama ini dia melakukannya malam hari di ruang keluarga sambil menonton TV, sebulan terakhir dia melakukannya di tempat tidur, di samping saya, yang mungkin dia pikir saya sudah tertidur nyenyak.

Setelah kejadian pertama, saya marah dan mencaci-makinya dan mengatakan jijik kepadanya. Dia hanya cengengesan waktu itu. Dua minggu berikutnya dia melakukannya lagi, kali ini saya hanya mampu diam seharian. Merasa didiami dia berulang kali bertanya sebabnya. Saya bertanya balik kepadanya apa yang dia lakukan tadi malam. Dengan tenang ia mengatakan dia tidur. Saya meledak, saya bongkar tempat pakaian kotor dan melemparkan (maaf) pakaian dalam yang dia pakai semalam. Dia marah dan mengatakan saya tidak berhak mengatur apa pun, saya tidak berhak merampas hak asasinya yang sudah dilakukannya lebih dari 10 tahun sebelum menikah.

Apakah memang saya merampas hak asasinya? Sebelum menikah saya bekerja, tetapi setelah menikah dia meminta saya berhenti bekerja dengan alasan supaya segera punya anak karena hingga 1,5 tahun setelah menikah saya tidak kunjung hamil, kami periksa ke dokter. Ternyata suami saya dinyatakan mandul. Selama menjadi istrinya, suami tidak pernah sukarela memberi uang belanja. Awal menikah saya masih punya uang tabungan selama kuliah sehingga bisa membayar makan kami berdua di luar atau jajan ketika saya tidak masak. Tetap sekarang semua uang tabungan saya habis dan belanja harus meminta-minta uang kepada suami.

Bu, saya tidak tahan lagi dan ingin minta cerai darinya. Tolong yakinkan hati saya bahwa perceraian dengannya adalah jalan yang paling tepat."

(VN)

Jawaban:

Yth Ibu VN, beberapa waktu lalu kami berdiskusi kecil dengan beberapa rekan laki-laki yang sudah menikah. Topiknya, masturbasi yang dilakukan suami, apakah kehadiran pasangan (istri) tidak cukup memenuhi kebutuhan seksual sehingga suami masih masturbasi.

Catatan menarik dan diskusi antara lain adanya kemungkinan suami masih melakukan masturbasi karena berkaitan dengan fantasi seksual.

Menurut salah satu rekan, ada kecenderungan mereka melakukan masturbasi ketika berada dalam situasi baru, terutama di tempat yang menurut mereka nyaman dan indah meskipun saat itu bersama pasangan. Menurut mereka, hal itu sifatnya subyektif-psikologis sehingga sulit dijelaskan.

Walaupun demikian, mereka menekankan masturbasi tidak perlu dilakukan apabila istri ada bersama. Salah satu rekan menekankan, hal ini merupakan prinsip hidup yang diungkapkannya sebagai, “Meskipun aku lapar waktu di jalan, aku lebih suka makan di rumah”. Intinya, dia merasa berhubungan seksual dengan istri lebih menyenangkan dan lebih baik.

Mereka sepakat, masturbasi di depan istri merupakan tindakan tidak terpuji karena sangat mungkin menyinggung perasaan istri, kecuali jika hal ini dilakukan bersama sebagai variasi hubungan seksual yang disepakati dan menimbulkan kepuasan bersama.

Ungkapan di atas memang bukan hasil penelitian, tetapi lebih sebagai fakta kecil di sekeliing kita. Menurut artikel dalam sebuah majalah keluarga, hasil survei menyebutkan, 66-67 persen pria beristri masih masturbasi di samping berhubungan seks dengan pasangan. Dan hasil itu, tampaknya masturbasi oleh sebagian besar suami seperti hal yang relatif biasa dilakukan, begitu kata artikel tersebut.

Alasan suami bermasturbasi antara lain karena konflik terus-menerus atau ejakulasi dini yang tidak tertangani. Melalui masturbasi, segala keluhan, permasalahan, dan hambatan yang menyebabkan hubungan seks terhenti bisa ditutupi. Melalui masturbasi, suami lebih leluasa dalam berfantasi dan mengatur waktu klimaks berdasarkan standar kepuasannya sendiri.

Prakash Kothari dalam bukunya, Common Sexual Problem and Solutions, menyebutkan masturbasi bukan penyakit. Orang harus membedakan antara masturbasi berlebihan dan masturbasi kompulsif, yaitu orang yang melakukan masturbasi bukan karena merasa butuh kepuasan, tetapi semata karena menjalankan aktivitas masturbasinya. Untuk itu, yang perlu disembuhkan adalah masalah psikis orang tersebut, bukan masturbasinya (ini pandangan dari sudut medis, bukan pandangan normatif).

Dengan kata lain, ada kemungkinan masturbasi suami Anda selama ini berkaitan dengan kondisi psikologisnya, terkait dengan permasalahan infertilitasnya yang tentunya berpengaruh terhadap egonya sebagai laki-laki.

Kami dapat memahami bila Anda tersinggung berat dengan kejadian ini. Menurut kami, selama ini Anda memang telah ditelantarkan lahir batin oleh suami. Rasa jijik terhadap kebiasaan masturbasi suami rupanya menjadi puncak kekesalan pada suami yang selama ini Anda pendam. Sangat tampak dan ekspresi Anda, seolah kesabaran Anda sudah habis.

Kami tak tahu upaya apa yang sudah Anda lakukan bersama suami untuk mengatasi persoalan sebelumnya. Apakah Anda sudah mencoba berbicara dari hati ke hati dan mengungkapkan perasaan dan pikiran kepada suami? Apakah pernah Anda upayakan tawar-menawar agar dicapai win-win solution? Semua itu adalah upaya yang ada baiknya ditempuh sebelum memilih pintu darurat, perceraian.

Nah, Bu VN, keputusan akhir ada di tangan Anda. Semoga kebaikan senantiasa bersama Anda.

 

Kompas, Sabtu 13 Agustus 2005

46775453
Today
This Week
This Month
Last Month
All
10110
10110
283820
343878
46775453