Sekolah Gratis Penguatan Keluarga

Written by  Shinta Maharani Kamis, 10 Januari 2019 09:03

IMG 5906 min

Kusmargana bicara tentang membangun relasi setara dalam keluarga di pertemuan komunitas yang digelar Rifka Annisa Women Crisis Center di Wildlife Rescue Centre Kecamatan Pengasih, Kulon Progo, Yogyakarta. Ahad pagi hingga sore hari, 16 Desember 2018, suami Rosiawati ini menjelaskan bagaimana cara laki-laki berkomunikasi dengan isteri. 

Materi yang Kusmargana sampaikan di depan sekitar 30-an peserta merupakan bagian dari modul diskusi komunitas kelompok ayah atau laki-laki dewasa. Pertemuan kali itu melibatkan ayah dan ibu dari Desa Sendangsari, Tawangsari, dan Karangsari. 

Materi yang dibahas antara lain tentang relasi sehat tanpa kekerasan, komunikasi sehat, trauma dan pemulihan, mengelola stres dan rasa marah. Ada juga berbagi peran dalam pekerjaan rumah tangga serta merencanakan keluarga. 

Kusmargana memberikan masukan kepada peserta pertemuan agar pasangan membangun komunikasi yang baik ketika terjadi konflik dalam rumah tangga. Komunikasi penting supaya masalah tidak terus menumpuk. Dengan membicarakan semua masalah, maka pasangan tak gampang lari dari tanggung jawabnya untuk segera menyelesaikannya. Selain itu, ia juga bicara agar pasangan berani mengungkapkan masalah pribadinya agar ada solusi yang bisa digunkan untuk mengatasinya. 

Kusmargana menjadi fasilitator diskusi kelompok ayah sejak 2017. Dia mulai menjadi peserta diskusi di Desa Tawangsari, Pengasih, Kulon Progo sejak 2016. Di tahun 2016, diskusi kelas laki-laki tak lepas dari peran sejumlah tokoh masyarakat di desa tersebut. Rubino, Kepala Dusun Garang, Tawangsari dan Sigit Susetyo, Lurah Desa Tawangsari terlibat dalam proses perekrutan kelas ayah. Mereka menjadi role model warga Tawangsari. 

Semula Kusmargana tidak begitu tertarik dengan ajakan pendamping dari Rifka Annisa Women Crisis Center untuk menjadi peserta kelas tersebut. Dia ingat, Dewi Julianti (Ulie) dari Rifka Annisa datang ke rumahnya untuk menjelaskan program tersebut. “Mbak Ulie bilang itu soal penguatan keluarga. Lalu saya ngomong ke isteri dan tidak ada salahnya ikut,” kata Kusmargana. 

Kelas ayah dan kelas ibu merupakan pasangan suami isteri. Keduanya dilibatkan agar mendapatkan informasi yang sama. Tujuannya untuk membangun kesadaran dan bersama-sama melakukan perubahan di rumah tangga agar lebih adil dan setara. 

Rosiawati, isteri Kusmargana merupakan peserta kelas ibu. Keduanya mengikuti 10 sesi pertemuan di kelas yang berlangsung di Balai Desa Tawangsari. Kelas ayah berlangsung malam dan kelas ibu berlangsung siang. Mereka rajin mengikuti kelas yang masing-masing sesi membutuhkan waktu dua jam. 

Buat keduanya kelas itu seperti sekolah yang menyenangkan. Mereka belajar materi penguatan keluarga, seks dan gender, komunikasi sehat, pengasuhan anak, kesehatan reproduksi, pengelolaan emosi, dan pengelolaan keuaangan. 

Materi yang berat itu disampaikan dengan cara yang menyenangkan. Fasilitator dari Rifka Annisa memberikan permainan di tengah-tengah materi supaya peserta tak jenuh. Kelas juga terasa tak membosankan karena setiap peserta bisa berbagi pengalaman dengan aman dan nyaman. Ada kesepakatan antar-peserta kelas bahwa segala cerita yang bersifat rahasia tak boleh keluar dari pertemuan itu. 

Pertemuan itu juga tak boleh memaksa peserta bila tak mau bercerita. Prinsipnya adalah saling menghormati. Di kelas juga peserta tidak boleh merokok dan selama di kelas ponsel harus dalam keadaan hening supaya peserta bisa fokus belajar. “Itu semacam kontrak belajar,” kata Kusmargana. 

Kusmargana yang rajin dan aktif mengikuti kelas tersebut sejak 2017 didapuk menjadi fasilitator Desa Karangsari, desa yang tak jauh dari Desa Tawangsari. Ia memimpin enam hingga delapan peserta pada malam hari. Tak semua peserta datang pada malam hari. Beberapa tak datang karena alasan kecapekan setelah bekerja di siang hari. Beberapa beralasan karena tempat pertemuan di daerah perbukitan. 

Untuk merekrut peserta kelas ayah pun tidak gampang. Beberapa orang merasa ogah-ogahan untuk ikut pertemuan. Beberapa merasa khawatir bila ikut pertemuan itu, maka orang akan mencap dia sebagai pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Masalahnya tak semua orang paham tentang program Rifka Annisa. Sejumlah orang hanya tahu bahwa Rifka Annisa adalah lembaga yang menangani urusan KDRT semata. Padahal, menurut Kusmargana kelas ayah itu sangat penting untuk belajar sekaligus konsultasi tentang penguatan keluarga. Kelas itu bisa menjadi sekolah gratis untuk belajar penguatan keluarga. 

Sebelum mengisi kelas ayah, Kusmargana menyiapkan semua materi bersama Rifka Annisa. Tiga hari sebelum memberikan materi, pendamping dari Rifka Annisa membantu menyiapkan alur pertemuan. Misalnya pertanyaan-pertanyaan kunci kepada peserta, memancing peserta agar mau menyampaikan uneg-uneg, dan memberikan permainan-permainan di kelas supaya pertemuan menjadi cair dan tidak membosankan.”Modul dan pelatihan kemampuan berbicara di depan umum sangat membantu saya,” kata Kusmargana. 

Kepercayaan diri Kusmargana ini kemudian berdampak positif untuk komunitasnya di kelas ayah. Dia menularkan semua ilmu yang dia dapatkan kepada peserta. Kelas itu berlangsung dua pekan sekali selama 10 kali selama setahun. Dari belajar bersama itu, peserta yang datang dari beberapa dusun itu memahami bagaimana berkomunikasi yang baik dengan pasangan dan pola pengasuhan. 

Dia mencontohkan ada seorang ayah yang dahulu cuek terhadap anaknya kini menjadi perhatian pada anaknya. Selain itu, suami juga tak keberatan untuk berbagi peran dengan isteri, misalnya memandikan anak. 

Keberhasilan penyampaian materi kelas ayah juga dirasakan Sudarmadi, Ketua RT di Dusun Sendang, Desa Karangsari, Pengasih. Materi tentang pengasuhan anak, komunikasi dengan pasangan, dan berbagi peran dalam rumah tangga terbukti efekti mengurangi kekerasan berbasis gender. 

Sudarmadi dan isterinya, Rina merupakan salah satu peserta yang merasakan dampak dari pertemuan di kelas ayah dan kelas ibu. Buat mereka yang paling terasa berdampak adalah pengasuhan anak. Dahulu mereka kerap membentak anak ketika anak rewel. Sudarmadi dahulu dikenal sebagai seorang ayah yang menakutkan untuk anak-anaknya. Sedangkan, Rina dianggap sebagai ibu yang cerewet. 

Kini mereka lebih bisa mengelola emosi atau tidak marah kepada anak. Untuk mengelola emosi, salah satu caranya adalah rekreasi. Sudarmadi, Rina, dan anak-anak kerap menghabiskn waktu untuk berlibur di Waduk Sermo, Kulon Progo. “Rekreasi bisa menghilangkan penat dan mendekatkan anggota keluarga,” kata dia. 

Perubahan positif juga dialami pasangan Ganang dan Yemta setelah mengikuti kelas Prevention+. Pasangan dengan dua anak ini kini lebih ringan untuk saling bercerita ketika ada persoalan. Kebiasaan terbuka pada pasangan itu membuat mereka tak memendam masalah sehingga segera cepat selesai. Keduanya lebih gampang saling curhat dan mendengarkan. 

Mereka juga saling berbagi peran tugas rumah tangga sehingga lebih ringan. “Dengan ikut kelas ibu, saya tak lagi ada waktu untuk ngrasani atau ngobrol ngalor ngidul yang tak jelas dengan tetangga. Banyak manfaat dari mengikuti kelas ibu,” kata Yemta. 

Perubahan positif setelah mengikuti kelas ayah dan ibu juga dialami pasangan Suryanto dan Lusiana dari Dusun Bulurejo, Desa Kepek, Saptosari, Gunung Kidul. Keduanya kerap beradu urat ketika punya pandangan yang berbeda sebelum mengikuti kelas ayah dan kelas ibu. Masing-masing pernah ngotot untuk mempertahankan pendapatnya. Suasana rumah tangga menjadi tegang. 

Suatu hari Kepala Dusun Bulurejo, Semi Nurhayati melakukan sosialisasi tentang kesetaraan gender di Balai Desa Kepek. Lusiana mendapat undangan untuk datang ke acara tersebut. Ia menunjukkan ketertarikannya ikut serta dalam forum itu. Kepada Lusiana, Semi Nurhayati meminta agar Lusiana ikut kelas ibu program Rifka Annisa. Lusiana kemudian membicarakan hal itu dengan suaminya, Suryanto. 

Keduanya mulai mengikuti kelas ayah dan ibu tahun 2017 bersama belasan pasangan lainnya. Lusiana tertarik ikut kelas ibu karena program itu menyangkut hal-hal sederhana, yaitu kebutuhan keseharian keluarganya. Buat dia berumah tangga nggak ada sekolahnya. Apalagi di desa, forum-forum seperti itu jarang ada. Lusiana dan Suryanto kemudian memutuskan untuk ikut menjadi peserta kelas ayah dan ibu. “Kelas itu seperti sekolah rumah tangga gratis,” kata Lusiana. 

Di kelas ibu, Lusiana rajin mengikuti materi di antaranya tentang komunikasi dengan pasangan dan pengasuhan anak. Buat dia dua materi ini paling terasa dampaknya karena membawa perubahan positif untuk keluarganya. Ibu satu anak ini menyadari perlu keterbukaan untuk membicarakan berbagai persoalan rumah tangga dengan suaminya. Unek-unek harus dikeluarkan supaya tidak menjadi beban yang semakin menumpuk. 

Sebelum mengikuti kelas ibu, Lusiana kerap memendam persoalan yang dia hadapi seorang diri. Bebannya banyak dalam kondisi kecapekan mengurus rumah tangga. Dia mencontohkan tak berani menyampaikan masalahnya ketika bertemu suaminya yang pulang larut dari kegiatan ronda. “Lama kelamaan nyesek karena memendam masalah,” kata Lusiana. 

Kelas ibu tentang komunikasi mengajarkan Lusiana untuk berani bicara kepada pasangan. Ia mencoba menerapkan apa yang dia dapat di kelas di rumah. Lusiana 

mengajak suaminya duduk, membicarakan masalah yang dia hadapi. Hasilnya menggembirakan. Suryanto merespon dengan baik. Kini Lusiana dan Suryanto merasakan kehidupan keluarga yang lebih harmonis. 

Dampak positif dari kelas ibu yang juga terasa adalah materi pengasuhan anak. Sebelum terlibat di kelas ibu, Lusiana seringkali membentak anaknya saat dia kecapekan. Anaknya menjadi kerap murung atau tidak ceria. Lusiana tidak tahu bahwa membentak anak bisa berdampak buruk untuk perkembangan anak. Di kelas ibu ia mulai memahami bagaimana seharusnya memperlakukan anak. Orang tua tak sepantasnya memperlakukan anak dengan kasar, misalnya memarahi dengan kata-kata kasar, memukul, dan mencubit. 

Pengalamannya menjadi peserta kelas ibu ia tularkan kepada 25 peserta kelas ibu di Desa Ngloro, Saptosari. Desa ini berjarak lima kilometer dari rumah Lusiana. Sejak awal 2018 dia menjadi fasilitator kelas ibu. Lusiana aktif menceritakan hal-hal baik yang dia rasakan ketika mengikuti kelas ibu. Membangun komunikasi yang baik dan mengasuh anak menjadi dua hal yang ia tekankan saat menjadi fasilitator kelas ibu. Tanggapan peserta positif. “Cerita pengalaman itu lebih gampang dipahami peserta,” kata Lusiana.

 

Tentang penulis: Shinta Maharani adalah koresponden Majalah Tempo dan penulis lepas Vice. 

Read 8511 times Last modified on Senin, 28 Januari 2019 10:17
46309163
Today
This Week
This Month
Last Month
All
10112
54851
161408
306641
46309163