Mengapa Kekerasan Seksual terhadap Perempuan Disabilitas Terus Terjadi? Featured

Written by  Syaima Sabine Fasawwa Jumat, 05 Mei 2023 09:09

Seorang perempuan berjalan tanpa arah di jalanan dengan perut yang besar dan pandangan kosong. Tak hanya sekali-dua kali, orang-orang di sekitarnya sudah melihat pemandangan itu berkali-kali. Kehamilan yang terakhir adalah kehamilan yang ke-8. 

Dua kehamilan di antaranya adalah hasil pernikahan yang pernah dilakukannya. Lainnya, tidak ada yang tahu jelas siapa yang terlibat dalam kehamilan perempuan tersebut. 

Ya, ia diperkosa berkali-kali tanpa ada perhatian berarti dari siapa pun. Bahkan pada kehamilannya yang ke-7, ia melahirkan di sungai tanpa bantuan medis. 

Itu adalah kisah perempuan difabel bernama Siti Suaedah, warga Mijen, Kota Semarang, sebagaimana diwartakan oleh Kompas.com

Kabar buruknya, kisah Siti bukan hanya satu-satunya. Banyak kasus serupa terjadi.

Pertanyaannya, sampai kapan kasus demikian akan terus ada?

***

Apa yang dialami Siti Suaedah merupakan problem sejak lama yang hingga kini belum tuntas. Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dengan disabilitas pun (masih) menjadi perhatian khusus, di samping masalah pelanggaran HAM berat, kekerasan seksual, femisida, kekerasan yang dialami minoritas seksual, perempuan rentan diskriminasi (HIV/AIDS), perempuan pembela HAM, kekerasan dengan pelaku anggota TNI atau POLRI, dan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.

Pada kasus ini, perempuan dengan disabilitas ganda (menyandang lebih dari satu jenis disabilitas) merupakan kelompok yang paling tinggi mengalami kekerasan (27 korban dari 72 kasus).

Sebagaimana kasus terhadap perempuan pada umumnya, kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas paling tinggi terjadi di ranah personal. 

Adapun bentuk kekerasan yang dialami adalah Kekerasan terhadap istri terdapat 2 orang, kekerasan terhadap anak perempuan terdapat 1 orang, dan kekerasan dalam pacaran sebanyak 2 orang. Sementara pelaku kekerasan adalah suami, pacar, dan ayah tiri.

Di samping himpunan data tersebut, terdapat Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) yang mencatat bahwa sepanjang 2022 terdapat 987 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas.

Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak Yogyakarta Nurul Saadah Andriani menerangkan bahwa pencatatan kasus kekerasan pada penyandang disabilitas di level nasional masih ditemukan kesenjangan data antara satu lembaga dengan lembaga lainnya. Nurul juga memaparkan bahwa di luar data-data yang ada, masih banyak kasus yang sama sekali belum tercatat.

Dinamika dan Kondisi Khas Perempuan Disabilitas

Sebagai perempuan sekaligus difabel, perempuan penyandang disabilitas mengalami apa yang disebut dengan kerentanan berlapis.

Pertama, perempuan dalam kultur patriarki ditempatkan sebagai objek seksual. 

Kedua, perempuan dengan disabilitas memiliki kondisi khas tersendiri hingga dipandang tidak mampu menjalankan peran di masyarakat dengan baik dan dianggap aib. Maka, tidak mudah untuk mengungkap kasus ketika kekerasan terjadi pada perempuan disabilitas (Komnas Perempuan, 2020).

Di samping itu, selain karena adanya stigma negatif masyarakat, Anggota Komnas Perempuan Bahrul Fuad mengatakan, perempuan penyandang disabilitas mengalami kerentanan karena memiliki pendidikan yang rendah, terjebak dalam kemiskinan, dan tidak mendapatkan layanan kesehatan yang memadai (Tempo.co, 2021).

Di samping itu, tidak sedikit hal yang mendorong kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas terjadi sebagai berikut:

  • Ketergantungan Perempuan Disabilitas

Atas kondisi khasnya, kelompok disabilitas memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang lain sebagai pendamping untuk memenuhi kebutuhannya (misal makan, bergerak, mandi, mengenakan pakaian, pembalut). Kondisi ini berpotensi memunculkan relasi yang tidak sehat yang pada sebagian kasus menyebabkan kekerasan seksual termasuk kasus inses.

 

  • Keterbatasan Kemampuan Komunikasi dan Ketidakberdayaan untuk Melawan

Kondisi disabilitas tertentu dapat mengakibatkan perempuan disabilitas tidak mampu untuk melakukan negosiasi terhadap aktivitas seksual dengan pasangannya. Hal ini disebabkan karena adanya hambatan komunikasi dan intelektual (WHO dalam Media Indonesia, 2022).

 

  • Dinamika Psikologis Difabel

Pada suatu kondisi, kelompok disabilitas berkeinginan untuk diterima dan disukai orang lain. Sehingga, ketika kekerasan seksual terjadi disertai adanya ancaman untuk meninggalkan/ tidak menemani lagi, akan muncul kekhawatiran yang membuatnya terpaksa mengikuti keinginan pelaku (Masriany Sihite, Yayasan Pendidikan Dwituna Rawinala).

 

  • Keterbatasan Memahami Situasi

Kemampuan kognitif yang terbatas dapat menghambat dalam memahami situasi yang notabene merupakan kekerasan seksual. Daya tangkap dan daya nalar yang berbeda juga dapat menghambat kemampuan mengontrol kebutuhan biologis dan memahami norma-norma sosial, sehingga naluri seksual hampir sama dengan naluri kebutuhan makan saat merasa lapar. Kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh pelaku.

 

  • Minimnya Pendidikan Seks

Minimnya edukasi kesehatan seksual dan reproduksi turut menjadi faktor penyebab anak difabel (maupun anak secara umum) tidak mengerti apa yang terjadi pada tubuh mereka, sehingga dimanfaatkan oleh pelaku karena anak tidak memahami bagian tubuh yang tidak boleh disentuh orang lain.

Berbagai situasi khas tersebut pada gilirannya memunculkan berbagai stigma termasuk mitos yang kemudian memperburuk penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas.

Menegaskan kondisi tersebut, Fadila Nur Amalia dalam penelitian bertajuk ”Mendambakan Peradilan yang Aksesibel terhadap Anak Disabilitas” menyatakan bahwa penyandang disabilitas lebih sulit untuk mendapatkan layanan penyelesaian hukum terkait kasus kekerasan seksual dikarenakan berbagai mitos demikian juga beredar di kalangan aparat penegak hukum (Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak Yogyakarta, 2020).

Mitos pertama, terkait pandangan bahwa penyandang disabilitas adalah individu yang tidak bisa dipercaya. Dikatakan bahwa ekspresi penyandang disabilitas berbeda dari korban kekerasan pada umumnya.

Mitos kedua, berkaitan dengan anggapan bahwa penyandang disabilitas tidak mampu memberikan keterangan sebagai saksi. Dalam arti, aktivitas seksual yang terjadi dianggap tidak dapat dinyatakan sebagai kekerasan, tetapi dianggap semata-mata terjadi karena hasrat seksual. Fadila menambahkan, hubungan seksual juga dapat terjadi karena timpangnya relasi kuasa berdasarkan gender, umur, keadaan fisik dalam budaya yang patriarki.

Mitos demikian pada akhirnya membuat penegak hukum tidak memiliki keberpihakan kepada penyandang disabilitas. 

 

Sumber:

Artikel Media Indonesia “Anak Disabilitas Dua Kali Lipat Lebih Rentan Alami Kekerasan Seksual” (2022)

Artikel Tempo.co “Komnas Perempuan Ungkap Bentuk Kekerasan Berlapis kepada Anak Perempuan Difabel” (2021)

Komnas Perempuan “Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023 Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara: Minimnya Pelindungan dan Pemulihan” (2023)

Konferensi Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak Yogyakarta “Ketiadaan Informasi dan Lemahnya Hukum: Akar Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Disabilitas” (2020)

Laporan Ringkas Kajian Disabilitas tentang Pemenuhan Hak Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan Seksual: Capaian dan Tantangan oleh Komnas Perempuan (2020)

Artikel Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak Yogyakarta “Kasus Kekerasan Disabilitas Harus Tercatat” (2023)



Read 6548 times Last modified on Jumat, 28 Juli 2023 22:31
46412599
Today
This Week
This Month
Last Month
All
1369
86407
264844
306641
46412599