Senin, 02 Juli 2018 14:03

Seorang laki-laki saat ini tengah bertekat menghentikan kekerasan yang dia lakukan terhadap istrinya. Dia juga tengah berusaha keras mengubah peri lakunya.

Kasus:

"Saya seorang laki-laki, ingin ikut berbagi dengan Rifka Anissa.

Usia saya 31 tahun, sudah menikah dengan 1 anak laki-laki berumur 4 tahun, saat ini bekerja di sebuah perusahaan swasta. Saya tertarik ikut berbagi dengan Rifka karena kok selama ini pembahasan di rubrik ini hanya persoalan perempuan. Sementara persoalan yang dialami laki-laki menurut saya juga tidak kalah berat, seperti pengalaman saya. Hanya saja laki-laki pada umumnya tidak akan mengeluh.

Saya tidak bermaksud mencari simpati karena saya anggap inilah risiko hidup sebagai laki-laki yang harus menjadi pemimpin, pelindung, kuat, dan sebagai panutan dalam keluarga.

Jujur saya jarang mengungkapkan persoalan berat kepada istri karena tidak ingin istri saya justru sedih, lagi pula saya tidak yakin istri bisa memahami. Bukannya saya merendahkan dia, tetapi memang pendidikan dia lebih rendah dari saya. Meskipun begitu, saya tetap menyayanginya karena dia adalah perempuan idaman saya, cantik, tidak banyak membantah, dan ibu yang cukup perhatian bagi anak saya meski secara intelektual saya tidak berharap banyak.

Namun, terkadang dia menjadi emosional sekali kalau sedang marah, malah kesannya terlalu menuntut, kurang bisa melihat situasi sehingga membuat saya cepat marah. Dulu dia tidak begitu, tetapi sejak dia mencurigai saya ada hubungan dengan teman kerja saya di kantor, sikap dia banyak berubah.

Saya menjadi sulit mengontrol emosi. Saya akui beberapa kali menampar dia agar diam. Tentunya dengan pukulan yang ringan saja, tidak bermaksud menyakiti. Saya sebenarnya tidak ingin memukul dia, tetapi rasanya emosi ini cepat naik melihat dia begitu emosional sementara kondisi saya sedang capai.

Saya memang dekat dengan teman kerja perempuan, tetapi saya tidak selingkuh. Dia tidak percaya. Kalau dia begini terus, bisa-bisa saya malah selingkuh beneran.

Bagaimana ya, saya tidak ingin menyakiti istri, tetapi juga ingin dia menghargai kejujuran dan usaha saya menjadi suami yang baik. Apalagi saya baca di media, sekarang sudah ada UU Anti-Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang sempat jadi perbincangan saya dengan teman-teman sesama suami. Bisa-bisa saya masuk bui hanya karena bertengkar dengan istri.

Terima kasih untuk masukannya..."

( G di Yahoo)

Jawaban:

Hallo Saudara G. Tentu saja kami senang Anda bersedia berbagi pengalaman dengan kami. Tidak sedikit laki-laki yang juga memanfaatkan hotline kami karena merasa menjadi korban kekerasan dan mereka protes karena kami hanya menyediakan konsultasi bagi perempuan korban kekerasan.

Rifka Annisa memang memilih untuk memberi pendampingan untuk perempuan korban kekerasan. Pilihan ini atas dasar fakta bahwa secara statistik perempuan karena keperempuannya lebih banyak dan lebih sering menjadi korban kekerasan daripada laki-laki, meskipun kami tidak mengelak kekerasan dapat menimpa siapa saja tak terkecuali laki-laki.

Selain itu kami melihat perempuan korban kekerasan memiliki pilihan terbatas untuk mendapat pertolongan yang berperspektif perempuan, sementara laki-laki memiliki banyak pilihan untuk mendapat pertolongan atau pendampingan seperti lembaga bantuan hukum, lembaga konsultasi psikologi, dan sebagainya.

Untuk kasus Anda, satu hal yang kami hargai adalah kesadaran Anda bahwa apa yang Anda lakukan terhadap istri adalah sesuatu yang keliru. Seingat kami, hanya sedikit suami yang melakukan pemukulan (atau kekerasan dalam bentuk lain) terhadap istrinya bersedia mengakui hal itu sebenarnya tidak boleh dilakukan.

Saudara G, ungkapan bahwa pemukulan itu tidak keras dan dimaksudkan tidak untuk menyakiti, rasanya itu khas disampaikan para suami yang melakukan pemukulan. Namun perlu Anda ketahui, toleransi terhadap sesuatu hal sering kali bersifat berjenjang. Maksudnya, mungkin memang pukulan Anda ketika itu hanya pelan dan tidak menyakitkan, akan tetapi ketika Anda nanti berkonflik lagi dengan istri dan Anda menggunakan pemukulan lagi, sangat mungkin pukulan itu meningkat intensitasnya tanpa Anda sadari. Sangat mungkin pukulan berikutnya menyebabkan istri Anda menjadi benar-benar kesakitan atau meninggalkan bekas seperti memar. Walaupun Anda katakan pukulan Anda tidak menyakitkan dan tidak meninggalkan bekas fisik pada istri Anda, kami yakin "luka" yang ditimbulkan lebih bersifat psikologis. Hati istri Anda yang terluka.

Selain itu, penyelesaian masalah yang Anda pilih yakni dengan menampar istri, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Anda karena sebenarnya Anda memiliki pilihan lain seperti mengajak bicara istri dengan baik-baik atau cara nonkekerasan lainnya. Oleh karena itu, Anda tidak dapat membebankan kesalahan kepada istri dengan mengatakan karena istri Anda emosional atau membuat permakluman bahwa Anda lepas kendali.

Saudara G, memang tidak mudah bagi laki-laki yang dibiasakan untuk menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan konflik dan perbedaan untuk berubah memilih jalan nonkekerasan dalam menyelesaikan masalah, namun bukan berarti tidak mungkin. Untuk mengubahnya Anda perlu pendampingan dan latihan.

Lalu mengenai keinginan Anda menghentikan pemukulan itu, kami optimistis Anda bisa melakukannya karena Anda sudah punya modal besar yaitu "keinginan untuk menghentikan". Kami menyarankan Anda berdua melakukan konseling yang dapat memediasi Anda berdua mengurai persoalan dan mencari alternatif solusi bagi perbaikan hubungan Anda berdua.

Khusus untuk Anda sebagai suami, seperti yang sudah kami singgung, memerlukan pendampingan dan penanganan tentang komunikasi dan perilaku nonkekerasan, seperti teknik pengendalian emosi dan sebagainya. Sekiranya Anda berdomisili di Yogyakarta, Anda dapat datang ke Rifka Annisa karena kami mulai menawarkan pendampingan untuk laki-laki yang ingin menghentikan perilaku kekerasannya. Dalam program ini Anda akan didampingi konselor laki-laki yang dilatih khusus untuk menangani masalah seperti yang Anda hadapi.

Mengenai Undang Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pada tanggal 14 September 2004 lalu memang telah disahkan DPR RI. Jika Anda sudah memiliki tekat untuk menghentikan kekerasan yang Anda lakukan, Anda tidak perlu takut dengan UU itu, justru UU itu dapat memotivasi Anda untuk mengubah perilaku Anda. Kecuali jika Anda tidak memiliki keinginan mengubah perilaku kekerasan Anda, sepatutnya Anda takut dengan UU itu.

Saudara G, semoga masukan ini bermanfaat bagi Anda, dan silakan hubungi kami melalui hotline atau datang langsung bila Anda membutuhkan layanan kami. Salam dari Rifka Annisa.

 

Kompas, 18 Oktober 2004

46815080
Today
This Week
This Month
Last Month
All
6120
49737
323447
343878
46815080