Situasi pandemi mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia, terutama dalam hal budaya berinteraksi. Rifka Annisa tengah menjalankan kegiatan dari program Prevention+. Repogramming pun terjadi, dan hal ini terjadi di seluruh lembaga kecuali yang dari awal desain program mereka menggunakan metode online. Hampir semua aktvitas dilakukan dari rumah dan secara online. Beberapa kegiatan online yang dilaksanakan bersama komunitas dampingan diantaranya: diskusi ayah, diskusi ibu, diskusi remaja, pertemuan alumni diskusi, dan seminar online.
Terdapat banyak aplikasi yang digunakan untuk melakukan pertemuan online. Beberapa aplikasi yang familier dan sering digunakan adalah WhatsApp, Zoom Meeting, Skype, Cisco Webex Meeting, dan Google Meet. Namun yang paling sering digunakan adalah WhatsApp dengan fitur group chat-nya. Pertimbangan utama adalah faktor aksesibilitas. “WhatsApp menjadi satu-satunya aplikasi yang ramah bagi kebanyakan orang di komunitas” ungkap Rico, salah satu community organizer dalam program Prevention+. Sementara itu untuk menjangkau komunitas lebih luas, beberapa seminar online menggunakan Zoom Meeting yang ditautkan ke YouTube live.
Dalam prosesnya, tentu menemui beberapa hambatan. Pertama, secara umum sinyal masih menjadi hambatan utama. Beberapa lokasi memang memiliki sinyal yang tidak bersahabat. Baik teman-teman Rifka Annisa maupun peserta dari komunitas dampingan, sinyal menjadi kendala utama. Kedua, kuota yang semakin boros, terutama saat menggunakan Zoom Meeting. Beberapa kegiatan koordinasi dan evaluasi dilakukan sekitar 1-3 jam. Pernah suatu ketika mengecek pemakaian kuota yang digunakan dalam rapat koordinasi dengan aplikasi Zoom Meeting. Dalam 3 jam pertemuan online menghabiskan 563 Megabyte (MB) atau sekitar 0,5 Gigabyte (GB).
Dari pendamping komunitas, Irma salah satu community organizer menceritakan tantangan aksesibilitas ketika melakukan kegiatan online. “Pernah saya melakukan jajak pendapat dengan bapak-ibu di komunitas. Saya kirimkan beberapa gambar aplikasi chat atau meeting. Dari sekian banyak aplikasi, paling familier adalah Zoom Meeting. Beberapa mengaku mengetahui Zoom Meeting, tapi HP-nya tidak kompatibel, memorinya sudah penuh, sudah nggak bisa install aplikasi itu. Sejauh ini yang digunakan adalah WhatsApp. Ketika seminar online melalui Zoom, teman-teman menautkan ke YouTube, supaya teman-teman di komunitas juga bisa mengakses melalui YouTube. Kalau YouTube kan di semua HP hampir ada, bahkan menjadi aplikasi bawaan saat membeli HP. Yang penting bagaimana informasinya sampai” jelasnya.
Selain itu, hambatan yang dihadapi yaitu beberapa situasi di rumah yang tidak mendukung untuk fokus menyimak. Pada sesi diskusi kelas ayah, hal ini dialami oleh Pak Herman dalam grup diskusi “Maaf bapak-bapak, saya slow respond dulu, sedang menemani anak belajar”. Ada juga yang waktunya bersamaan dengan tugas lain, Pak Kirdi misalnya, “Mohon maaf belum bisa bergabung karena ada pertemuan di balai desa”. Saat kelas ibu, Mbak Nus dari kelas ibu juga mengalami hal yang sama, “Maaf belum bisa bergabung… (mengirim foto sedang menyuapi anaknya), ini anak kalau belum tidur ngajak ngomong terus, nggak konsen menyimak”. Dan di kelas remaja, ada yang berhalangan ikut karena sedang bekerja dengan shift waktu tertentu.
Pada tahap persiapan, tentu bukan hal yang mudah juga untuk memfasilitasi diskusi secara online. Rico menyebutkan beberapa catatan dari segi persiapan materi. Ia menjelaskan bahwa “Dalam persiapan diskusi online, beberapa tantanganya pertama, materi perlu disesuaikan dengan situasi sekarang, jadi perlu waktu lebih untuk melengkapi dan mengolah dari berbagai sumber. Kedua, mengemas materi menjadi konten dalam bentuk visual dan menarik untuk dikonsumsi. Dalam hal ini butuh waktu untuk mendesain, sebuah tantangan baru bagi yang tidak terbiasa mendesain. Ketiga, beberapa orang menyayangkan ketika ada konten video yang berukuran agak besar (diatas 10MB). “Mendownload video juga memakan kuota”. Pelajaran yang dapat dipetik dari proses persiapan materi adalah, menyajikan materi dalam satu klik. Artinya, bagaimana menuangkan materi dalam satu gambar yang mudah diakses. Visualisasi juga membantu menarik perhatian untuk membaca dan mengerti materinya.
Ada catatan menarik dari Ibu Yuni, fasilitator komunitas pada kelas Ibu. “Menurut saya, diskusi online itu sudah cukup efektif di masa pandemi ini, tapi tantangannya juga pasti ada, seperti terkendala sinyal, dan kalau saya pribadi kadang ketinggalan ‘kereta’ jauh karena loading yang lambat, jadi kurang nyambung dengan materi diskusi. Tapi pada akhir sesi bisa membaca lagi dan menyimpulkan sih, jadi menurut saya juga mudah untuk mengikutinya. Saat membaca lagi jadi nyambung” kata Bu Yuni.
Irma menambahkan, “Memang proses diskusi online ini tidak mudah bagi beberapa orang. Proses pengondisian peserta agak sulit. Beda dengan pertemuan langsung, kami lebih mudah membangun kondisi dalam penyampaian materi. Kalau online, kita harus chat pribadi, dan itupun kadang responnya lama. Ketika bertemu langsung juga ada kedekatan secara emosional, beda dengan online, misal situasinya sedang kalut, bisa jadi di dalam aktivitas online terkesan bahagia”. Dari peserta diskusi, Tuti juga menambahkan sebuah catatan bahwa,”Diskusinya bisa diterima, tetapi kurang puas. Pokoknya beda dengan bertatap muka langsung”. Ada juga peserta yang tidak fokus karena saat pertemuan online berlangsung, peserta juga sedang mengasuh anak, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan melakukan aktivitas lain.
Dengan berbagai tantangan itu, ada sebuah refleksi bahwa proses pengorganisasian yang dilakukan secara online barangkali kurang tepat. Dalam proses pengorganisasian, ikatan emosional yang belum terbangun membuat kecanggungan dalam prosesnya. Kemudian, ada satu aspek lagi yang menjadi bahan diskusi selanjutnya terkait keamanan digital. Setiap menggunakan aplikasi, pasti ada data-data yang harus kita isi sebagai registrasi. Beberapa isu digital yang muncul adalah penyalahgunaan data pengguna. Meskipun hal ini masih menjadi perdebatan, tetapi kemungkinan dan kesempatan untuk itu sangat nyata. Hal ini menjadi kewaspadaan bersama, di tengah adanya kebutuhan layanan yang ditawarkan.
Pandemi COVID-19 menyerang 213 negara di dunia sejak akhir 2019. Data secara global menunjukkan jumlah kasus COVID-19 telah mencapai 1.392.647 kasus dengan total kematian sebanyak 593.209 kasus. Sementara itu, kasus yang terjadi di Indonesia sebanyak 83.130 kasus dengan angka kematian sebanyak 3.957 kasus.
Jumlah pasien COVID-19 di Indonesia terus bertambah. Terhitung pada minggu pertama dan kedua bulan Juli angka kasus melonjak hingga di atas 1.500 kasus. Pandemi COVID-19 memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat baik dari sisi kesehatan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan juga politik. Dampak yang signifikan juga terjadi pada kehidupan perempuan. Perubahan cara hidup dan bekerja selama masa pandemi ini meningkatkan beban kerja pada perempuan.
Dari sisi ekonomi, [2]ketika pekerjaan dilakukan dari rumah bersamaan dengan anak-anak melakukan sekolah dari rumah, tumpuan tanggung jawab mengurus rumah tangga sekaligus menjadi guru bagi anak-anak ada pada perempuan. Hasil survei daringyang dilakukan oleh Komnas Perempuan menemukan mayoritas responden (96% dari 2285 responden), baik laki-laki dan perempuan, menyampaikan bahwa beban pekerjaan rumah tangga semakin banyak. Jumlah perempuan yang melakukan pekerjaan rumah tangga dengan durasi lebih dari 3 jam berjumlah dua kali lipat daripada responden laki-laki. Diketahui jika1 dari 3 reponden yang melaporkan bertambahnya pekerjaan rumah tangga menyebutkan bahwa dirinya mengalami stres.[3]
Risiko lain yang dihadapi oleh perempuan adalah terbatasnya akses kesehatan reproduksi dan seksual. Rasa khawatir akan risiko penularan virus dan pembatasan layanan di fasilitas kesehatan menyebabkan perempuan enggan mendatangi puskesmas atau rumah sakit guna mendapatkan layanan pemeriksaan kesehatan reproduksi dan seksual, seperti pemeriksaan kehamilan maupun layanan keluarga berencana. BKKBN menyampaikan selama masa pandemi terjadi penurunan pengguna KB aktif sebanyak 10%-15% atau sekitar 10 juta jiwa. Adanya penurunan ini diperkirakan akan memicu terjadinya kehamilan sebanyak 370.000-500.000 kehamilan. [4]
Pandemi ini juga memberikan dampak lain, yaitu peningkatan risiko terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tingkat stres yang tinggi, persoalan ekonomi keluarga, dan juga penerapan kebijakan isolasi serta karantina yang membatasi pergerakan masyarakat, telah memicu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Data dari berbagai belahan dunia menunjukkan adanya tren peningkatakan kasus kekerasan terhadap perempuan selama masa pandemi COVID-19. Di Prancis terjadi peningkatan kasus kekerasan yang terlaporkan sebanyak 30% semenjak penerapan lockdown pada tanggal 17 Maret 2020, di Argentina kasus kekerasan dalam rumah tangga meningkat 25% sejak penerapan lockdown 20 Maret 2020, di Singapura dan Cyprus terjadi peningkatan pelaporan melalui telepon sebesar 33% dan 30%. Permintaan akses layanan shelter atau rumah aman juga dilaporkan terjadi peningkatan di Kanada, Jerman, Spanyol, Inggris, dan Amerika.[5] Adapun di Yogyakarta, Rifka Annisa mencatat adanya peningkatan perempuan yang mengakses layanan hotline Rifka Annisa dari Januari hingga Mei 2020 sebanyak 140 kasus. Kasus kekerasan seksual berbasis online pun mengalami peningkatan seiring dengan berubahnya cara kerja dan cara hidup masyarakat yang banyak menggunakan media online.
Peningkatan kasus ini tidak dibarengi dengan peningkatan layanan bagi perempuan korban kekerasan. Justru pada situasi pandemi ini, akses layanan bagi perempuan korban kekerasan sangat terbatas. Lembaga layanan, baik milik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat banyak mengubah bentuk layanan, baik dalam hal waktu pelayanan maupun metode pelayanan. Sebagian besar layanan berpindah ke layanan online dengan melalui telepon, surat elektronik, maupun WhatsApp. Pelayanan tatap muka hanya dilakukan pada situasi darurat. Hal ini tentu tidak menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan korban kekerasan yang tidak memiliki akses terhadap teknologi informasi, maupun mereka yang berada di wilayah dengan jangkauan sinyal telepon yang tidak memadai.
Sementara itu, layanan rumah aman banyak yang ditutup dengan alasan keamanan dan keterbatasan sumber daya untuk pengelolaan. Catatan dari diskusi nasional yang diselenggaran Forum Pengada Layanan menunjukkan bahwa layanan rumah aman menjadi paling sulit didapatkan saat pandemi ini. Jikalaupun ada yang menyediakan, seperti di Jakarta dan Yogyakarta, akses terhadap layanan ini sangat sulit dijangkau karena prasyarat yang ditetapkan sangatlah ketat. Penyedia layanan rumah aman mengharuskan calon penghuni yang merupakan korban kekerasan melakukan tes Covid-19 dengan biaya yang ditanggung sendiri.
Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diesease 2019 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan dan Peraturan Presiden no 54 tahun 2020 tentang Perubahan Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 memandatkan perubahan anggaran di berbagai instansi dan kelembagaan. Konsekuensi dari realokasi anggaran untuk percepatan penanganan pandemi COVID-19 ini adalah berkurangnya anggaran di sektor lain, termasuk untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di lembaga layanan milik pemerintah. Padahal, biaya penanganan kasus kekerasan saat pandemi ini justru meningkat karena keharusan untuk mengadakan alat pelindung diri yang memadai dan pembiayan tambahan untuk layanan online.
Di tengah berbagai tantangan keterbatasan sumber daya tersebut, lembaga layanan wajib terus menghadirkan layanan yang berkualitas, aman, dan inklusif bagi perempuan korban kekerasan dengan berbagai latar belakang identitas. Hal-hal yang bisa dilakukan oleh lembaga layanan dalam mengupayakan layanan berkualitas antara lain:
1. Mitigasi risiko COVID-19 dan adaptasi layanan
Mitigasi risiko COVID-19 harus dilakukan untuk memetakan potensi risiko dan hambatan yang dialami oleh perempuan korban kekerasan, keluarga dan staf pendamping sesuai dengan konteks masing-masing wilayah. Keberhasilan melakukan antisipasi terhadap resiko yang mungkin terjadi dalam situasi krisis ini akan berdampak pada keberlangsungan layanan dalam jangka panjang. Adaptasi terhadap layanan harus diberikan berdasarkan temuan mitigasi risiko yang sesuai dengan konteks. Pemilahan antara layanan penting dan darurat (esensial) serta layanan non-esensial perlu dilakukan untuk memandu lembaga layanan dalam melakukan adaptasi layanan yang disediakan.
Adaptasi yang mungkin bisa dilakukan adalah peralihan layanan jarak jauh berbasis online, penundaan pelaksanaan pertemuan yang melibatkan orang banyak, penyusunan mekanisme keamanan pada situasi isolasi, karantina maupun lockdown. Selain itu, lembaga layanan juga perlu untuk mengintegrasikan komponen edukasi COVID-19 dalam setiap tahapan layanannya.
2. Menyediakan protokol penanganan kasus kekerasan dalam situasi krisis
Novel coronavirus (2019-nCoV) menyebar dengan sangat cepat dan pada beberapa orang tidak menunjukkan gejala. Untuk mencegah penularan COVID-19 dalam proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, lembaga layanan harus menerapkan protokol yang ketat. Seyogianya protokol penanganan kasus kekerasan ini tidak saja mengatur langkah-langkah untuk mencegah penularan virus, tapi juga memastikan aspek keamanan bagi perempuan korban kekerasan dan pendamping korban.
Komponen yang penting dalam protokol penanganan kasus kekerasan ini adalah panduan khusus tentang layanan melalui media online, WhatsApp atau telepon, protokol khusus untuk penyediaan rumah aman, dan juga protokol khusus tentang layanan tatap muka dan pendampingan korban. Hal ini penting mengingat selama masa pandemi, perempuan korban kekerasan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama dengan pasangan. Situasi seperti ini berisiko menempatkan korban dalam situasi bahaya ketika melakukan pendampingan melalui telepon karena pasangan bisa lebih mudah menemukan jejak
3. Menguatkan layanan berbasis komunitas
Keterbatasan mobilitas lembaga layanan untuk bisa menjangkau korban secara langsung menjadi tantangan dalam menyediakan layanan yang berkualitas dan inklusif. Kegiatan penjangkauan dan home visit yang selama ini disediakan lembaga layanan menjadi sangat terbatas, bahkan banyak yang meniadakan layanan ini. Lembaga layanan berbasis komunitas yang memiliki akses lebih dekat dan mudah dengan korban memiliki peran penting untuk mengatasi situasi ini. Untuk itu, lembaga layanan harus terus-menerus dikuatkan dengan melakukan berbagai upaya peningkatan kapasitas seperti pelatihan, maupun supervisi jarak jauh. Selain berfungsi untuk memberikan pendampingan kasus yang ditemui di komunitas, lembaga layanan berbasis komunitas juga memiliki peran penting dalam melakukan edukasi kepada masyarakat tentang kekerasan terhadap perempuan dan pandemi COVID-19.
4. Berjejaring dengan Gugus Tugas dan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 di asing-masing wilayah
Pemerintah telah berupaya untuk menangani COVID-19, dengan membentuk gugus tugas penanganan dan satuan tugas penanganan COVID-19. Satuan tugas penanganan COVID-19 (satgas) ini dibentuk sampai level terendah (RT/RW) untuk melakukan upaya pencegahan penularan COVID-19, distribusi bansos, melakukan edukasi ke masyarakat, dan juga menjaga keamanan kampung. Lembaga layanan perlu membangun jejaring dengan satgas dan gugus tugas penanganan COVID-19 untuk membantu penanganan kasus dan merujukkan kasus yang teridentifikasi berisiko tinggi terpapar COVID-19. Selain itu, jejaring ini juga penting untuk mendorong pemenuhan hak perempuan korban kekerasan terhadap layanan bantuan sosial dan kesehatan selama masa pandemi.
5. Memastikan kesejahteraan para pendamping perempuan korban kekerasan
Kualitas layanan bagi korban kekerasan sangat bergantung pada kapasitas dan kualitas pendamping perempuan korban kekerasan. Oleh karena itu, well-being (kesejahteraan) jiwa pendamping korban perlu mendapat perhatian khusus dari lembaga penyedia layanan. Tren kasus yang meningkat selama masa pandemi berpotensi meningkatkan beban kerja pendamping korban. Kelelahan karena beban kerja yang berlebih ini dapat memicu burnout yang sangat mempengaruhi kondisi mental pendamping korban. Apalagi dalam situasi pandemi ini, pendamping korban juga rentan mengalami stres karena ketidakpastian dalam banyak hal, juga kekhawatiran yang muncul akan keselamatan jiwa mereka selama masa pandemi.
Lembaga layanan harus membuat mekanisme untuk pemulihan kelelahan atau stres yang dialami oleh pendamping korban, baik dengan menyediakan mekanisme self-care maupun healing bagi para pendamping.
[1] https://www.bing.com/search?q=Coronavirus+statistics+in+Indonesia&tf=U2VydmljZT1HZW5lcmljQW5zd2VycyBTY2VuYXJpbz1Db3JvbmFWaXJ1c01MIFBvc2l0aW9uPVRPUCBSYW5raW5nRGF0YT1UcnVlIEZvcmNlUGxhY2U9VHJ1ZSBQYWlycz1zY246Q29yb25hVmlydXNNTDtjb3VudHJ5Q29kZTpJRE47aW50ZW50OkNoZWNrQ29yb25hU3RhdHM7YWJvdmVuZXdzOlRydWU7IHw%3d&hs=mGuOwRaD93JDsPLeTMpwDB6QOt%2f8f%2fmzJXHb0knxRYs%3d&FORM=COVIDR
[2] Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sri Mulyani: Kuartal II Ekonomi Indonesia -4,3 Persen", https://money.kompas.com/read/2020/07/15/204000926/sri-mulyani--kuartal-ii-ekonomi-indonesia-4-3-persen?page=all.
[3] https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-hasil-kajian-komnas-perempuan-tentang-perubahan-dinamika-rumah-tangga-dalam-masa-pandemi-covid-19-3-juni-2020
[4] https://kesehatan.kontan.co.id/news/wow-bkkbn-menghitung-potensi-kehamilan-di-masa-pandemi-covid-19-capai-500000
[5] https://www.unwomen.org/en/digital-library/publications/2020/04/issue-brief-covid-19-and-ending-violence-against-women-and-girls
Widi—bukan nama sebenarnya, tengah kebingungan. Sudah tiga tahun lamanya ia mengalami KDRT berulang. Kini, perempuan paruh baya dan anaknya itu tak lagi tinggal serumah bersama suaminya. Perempuan yang sehari-hari berjualan online itu harus berpindah-pindah rumah dari rumah teman atau saudara. Kini, situasi pandemi membuat bebannya bertambah. “Tidak enak dalam suasana corona seperti ini harus menumpang di rumah saudara,” jelasnya. Hal itu ditambah lagi minimnya pendapatan selama pandemi yang pada akhirnya tak cukup untuk mengidupi diri dan anaknya.
Meskipun data yang tersedia masih jarang ditemui, laporan dari China, Inggris, Amerika, dan negara lain menandakan adanya kenaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga sejak awal penyebaran COVID-19. Jumlah angka kekerasan dalam rumah tangga yang terlapor di Kantor Polisi di Kota Jingzhou, Provinsi Hubei, meningkat tiga kalinya di Februari 2020, apabila dibandingkan di periode yang sama tahun lalu. (COVID-19 and Violence Against Women What the Health Sector/System Can Do. Dokumen WHO. 7 April 2020).
Sedangkan dari data kasus Rifka Annisa Januari—Mei 2020, terjadi peningkatan jumlah klien yang mengakses layanan. Lonjakan terjadi pada bulan April dan Mei, yakni sebanyak 67—98 aduan; dibandingkan bulan-bulan sebelumnya yang berkisar 33—41 aduan. Dari jumlah aduan tersebut, paling banyak diakses oleh klien yang berusia 18—45 tahun.
Pandemi dari Kacamata Gender
Jika dilihat dari aspek gender, pandemi ini memberikan dampak yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Hilangnya sekat-sekat kerja domestik dan kerja publik pada saat masa karantina #dirumahaja, tanpa diikuti oleh perubahan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, memberikan beban yang berlipat-lipat bagi perempuan. Perubahan ini dapat menimbulkan situasi krisis dalam sebuah keluarga. Masa krisis dapat menjadikan sebuah keluarga kuat, namun juga bisa membuat keluarga lemah dan berkonflik.
Peran gender yang baku membuat perempuan rentan mengalami beban ganda dalam situasi pandemi. Perempuan yang bekerja di publik, kini mau tidak mau mengerjakan pekerjaannya di rumah, menggantikan peran guru menjadi pengajar di rumah, mengasuh anak, serta melakukan pekerjaan domestik. Bagi sebagian laki-laki, anjuran untuk #dirumahaja dengan peran gender yang kaku, membuat laki-laki merasa kehilangan sosok idealnya dan kehilangan kontrolnya atas perempuan. Penghasilan berkurang bahkan terancam atau kehilangan pekerjaan menjadi salah satu pemicunya.
“Ketika suami mengalami PHK, suami istri serta anak lebih sering berkonflik. Ada juga klien kekerasan terhadap istri yang sebelumnya sudah mengalami peristiwa kekerasan, dalam kondisi bekerja di rumah frekuensi kekerasan dari suami semakin sering terjadi,” jelas Indiah Wahyu Andari, Manajer Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Menurutnya, ‘reunifikasi’ yang diakibatkan oleh WFH membuat perempuan korban kekerasan juga cenderung menunda penyelesaian masalahnya.
Lonjakan kasus yang terjadi terjadi pada bulan kedua setelah diterapkannya layanan online di Rifka Annisa. Hal itu mengindikasikan dua hal. Pertama, layanan online memang medium yang tepat dan memudahkan akses perempuan korban sehingga memberikan dampak positif. Namun, disisi lain ada kemungkinan bahwa klien usia di atas 45 tahun kesulitan mengakses layanan akibat keterbatasan alat, kuota/pulsa serta dan kekurangterampilan terhadap teknologi internet. Dengan kata lain, layanan online juga dapat membuat perempuan lebih sulit mengakses layanan.
Berkaca dari kasus Widi di atas, keterbatasan sumber pemasukan ekonomi di tengah pandemi juga merupakan ‘tembok tebal’ bagi perempuan korban dalam mengakses layanan. Meski lembaga layanan baik LSM maupun pemerintah menyediakan layanan gratis untuk mengakses layanan konseling, konsultasi hukum, maupun shelter, tetapi masih banyak biaya yang ditanggung oleh perempuan korban, seperti transportasi, biaya hidup sehari-hari apabila ia tidak mempunyai penghasilan dan tergantung dari pasangan.
Tantangan Lembaga Layanan
Tidak hanya klien yang harus beradaptasi, lembaga layanan pun mengalami adaptasi yang cukup kompleks dalam menyediakan layanan di masa pandemi. Di awal adanya kebijakan bekerja di rumah, Rifka Annisa menerapkan layanan konseling online. Menurut pengalaman Rifka Annisa, ada beberapa tantangan dalam mengaplikasikan layanan oline. Pertama, bagaimana menyediakan layanan yang aman bagi klien maupun pemberi layanan. Kedua, menyediakan layanan yang efektif, efisien, serta mudah dijangkau oleh klien. Ketiga, bagaimana menyikapi peningkatan jumlah aduan dengan tenaga pendamping yang terbatas, serta mampu memeratakan beban dari pendamping. Keempat, menyediakan sarana prasarana yang memadai untuk kebutuhan layanan online pendamping. Kelima, mempersiapkan keterampilan pendamping selama melakukan layanan online. Keenam, persiapan dan penerapan protokol kesehatan pada kerja-kerja pendampingan yang tidak bisa dilakukan melalui online seperti pembuatan HPP, pemeriksaan di kepolisian, atau layanan penjangkauan bagi dalam situasi kedaruratan.
Terkait protokol kesehatan, Rifka Annisa membuat panduan pencegahan di masa pandemi. Namun, tantangan lainnya adalah membiasakan penerapan protokol kesehatan serta menyediakan sarana pra sarananya. “Pandemi membuat perubahan kebiasaan, termasuk dalam konseling. Misal tidak berjabat tangan dan berpelukan, atau menyentuh klien ketika klien menangis.”
Selain itu hal lain yang perlu pembiasaan adalah pemakaian alat pelindung diri, serta konsistensi dalam menerapkan protokol kesehatan seperti mencuci tangan atau penggunaan hand sanitizer serta disinfektan pada kerja-kerja yang mengharuskan offline. Selain itu persiapan lainnya adalah cek suhu badan serta penyediaan form assessment yang harus diisi klien pada situasi tertentu yang mengharuskan klien mendatangi kantor.
“Di awal penerapan layanan online, Rifka Annisa awalnya hanya mempunyai satu nomor hotline. Kemudian agar beban tidak bertumpuk, satu nomor hotline akhirnya dihubungkan ke beberapa nomor hotline yang dipegang konselor,” jelas Indiah. Keterampilan konselor dalam memberikan tanggapan dalam layanan online juga krusial untuk dipersiapkan. Berbeda dengan layanan konseling tatap muka, layanan konseling melalui telepon berarti tidak bisa melihat ekspresi wajah, sehingga butuh keterampilan untuk membaca ekspresi melalui suara. Belum lagi, satu konselor yang rata-rata mendengarkan telepon kurang lebih 7 jam per hari memerlukan perlu penyesuaian. Belum lagi layanan pemulihan yang berupa terapi juga sulit untuk dilakukan secara online.
Tantangan lain yang cukup serius dihadapi oleh lembaga layanan adalah layanan shelter. Di awal masa pandemi, hampir semua lembaga yang mempunyai layanan shelter belum mempunyai kesiapan sehingga tidak membuka layanannya. Bisa dibayangkan, ketika situasi pandemi dimana kasus tidak berkurang, kebutuhan klien akan shelter tetap mungkin terjadi. Selanjutnya, adanya diskusi di Forum Perlindungan Korban Kekerasan DIY memutuskan bahwa negara harus tetap hadir memberikan layanan, sehingga terbit surat edaran Forum Perlindungan Korban Kekerasan di DIY, yang prinsipnya memberikan himbauan agar layanan harus tetap dibuka, dengan catatan memastikan layanan tersebut aman. Pada umumnya, setiap lembaga layanan shelter milik pemerintah mensyaratkan adanya surat keterangan tidak terpapar COVID-19, di mana pembiayaan dari surat keterangan tersebut masih belum diketahui sumber pendanannya. Meski demikian, Beberapa rumah sakit terutama RSUD sudah bersedia untuk menjadi tempat test dan biaya akan diklaimkan ke Kementerian Kesehatan. Apabila hasilnya positif, maka korban akan mengikuti protokol pasien COVID-19, dan apabila hasilnya negatif akan dikembalikan ke lembaga layanan.
Selain layanan shelter, tantangan lainnya yang dihadapi perempuan koran adalah akses hukum. Tantangan terkait akses layanan hukum yang pernah ditemui di awal pandemi adalah berkaitan dengan respon kepolisian terhadap laporan KDRT. Saat itu, terdapat klien yang mengalami kekerasan yang cukup parah, kemudian lapor ke kantor polisi. Saat di awal-awal masa pandemi, petugas tidak berani mengantarkan visum ke rumah sakit, sehingga klien diminta untuk datang langsung ke rumah sakit. Di saat situasi normal pun, kasus-kasus KDRT masih mendapatkan perhatian yang kurang, terlebih di masa pandemi. Pada akhirnya, kasus tersebut didamaikan di kepolisian, dan klien kembali bersama suami.
Selain kepolisian, hal lain yang berkaitan adalah layanan pengadilan yang berupa layanan online, baik pengadilan pidana maupun perdata. Hal ini memberikan tantangan tersendiri bagi perempuan yang tidak akrab dengan teknologi, karena mulai proses komunikasi dan pendaftaran melalui email pribadi klien. Dalam kondisi klien tidak ada yang membantu, maka proses pendaftaran ini biasa dibantu oleh pendamping. Namun, proses pendampingan itu sendiri juga bukan hal yang mudah, karena baik klien maupun pendamping harus beradaptasi berkomunikasi secara tidak langsung menggunakan ponsel serta internet.
Dari berbagai tantangan tersebut, ternyata pandemi tidak hanya membuat perempuan lebih rentan di dalam keluarganya, tetapi ketika ia mengalami kekerasan, ia menghadapi tantangan kembali dalam meraih keadilan. Untuk mengatasi tantangan tersebut, dibutuhkan langkah-langkah penyadaran serta peningkatan keterampilan bagi perempuan yang mengakses layanan. Selain itu, di sisi lain laki-laki pun perlu diberikan edukasi cara-cara menghadapi berbagai perubahan situasi di masa pandemi, agar tidak memicu konflik dengan pasangan. Selain itu, untuk tantangan yang menyangkut layanan, perlu kerjasama dan koordinasi berbagai pihak, pemerintah seperti dinas dan rumah sakit daerah, rumah sakit swasta, aparat penegak hukum, serta lembaga pendamping.