Pengalaman Perempuan di Ruang Digital Featured

Written by  Firda Ainun Selasa, 28 Maret 2023 16:16

 

Di mana perempuan berada, di situ terdapat kemungkinan terjadinya kekerasan berbasis gender—tidak terkecuali di ruang publik. Menurut laporan Status Literasi Digital Indonesia 2021 dari Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Katadata Insight Center (KIC), Indonesia memiliki skor indeks literasi digital rata-rata 3,49 poin pada tahun 2021.Laporan ini mencatat ada 55% responden laki-laki yang skor literasi digitalnya tinggi alias di atas rata-rata nasional. Sedangkan proporsi responden perempuan yang meraih skor di atas rata-rata baru 45%. Data ini menjadi penanda bahwa masih terjadi ketimpangan literasi digital antara perempuan dan laki-laki.  Di ruang publik ini pula, perempuan kemudian mengalami hambatan dalam mendapatkan hak atas rasa aman dan nyaman. Adapun ruang publik itu sendiri seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi, terutama melalui kehadiran internet, telah mengalami perkembangan hingga muncul bentuk baru berupa digital publics atau ruang publik digital.

Di satu sisi, ruang digital sebagai ruang publik baru, menawarkan inklusivitas bagi penggunanya. Ruang digital yang mengakomodasi kemunculan media sosial dan platform berbasis konten lainnya dibayangkan sebagai cara untuk meratakan hambatan akses yang ada, terutama bagi kelompok termarjinalisasi yang tidak selalu memiliki akses yang sama ke ruang publik luring.

Namun, selain membuka peluang, internet juga memunculkan tantangan. Termasuk tantangan yang berkaitan dengan terjadinya kekerasan berbasis gender pada perempuan di ruang digital. Karena internet dan ruang digitalnya telah berkembang menjadi tempat bagi orang untuk berbagi ragam ekspresi, tidak menutup kemungkinan bahwa lontaran ekspresi tersebut juga mencakup ekspresi yang menunjukkan ketidaksetaraan, hingga berujung pada kekerasan. Sehingga, ruang digital ini pada waktu yang sama sekaligus dapat menjadi ruang baru atas terjadinya kekerasan, salah satunya kekerasan berbasis gender tersebut. Adapun kekerasan dalam konteks ini umum disebut sebagai kekerasan berbasis gender online (KBGO). Dapat dimaknai pula bahwa teknologi di sini telah memfasilitasi terjadinya KBGO. Selain itu, dapat dipahami juga bahwa perempuan sebagai bagian dari kelompok marginal yang rentan terhadap kekerasan berbasis gender di ruang publik, kemudian mengalami perluasan lingkup, yang kemudian mencakup ranah digital. Berdasarkan Catahu Komnas Perempuan sepanjang tahun 2022, tercatat kasus kekerasan di ruang publik 1.276 kasus dan KBGO atau kekerasan di ruang siber pada perempuan menjadi kasus kekerasan di ranah publik dengan angka paling tinggi, dengan jumlah kasus sebanyak 869.

Dosen Ilmu Hukum dan Gender Universitas Indonesia, Lidwina Inge Nurtjahyo, turut menegaskan bahwa pihak yang paling rentan menjadi korban KBGO adalah perempuan, dengan persentase sebesar 71% (The Conversation, 2020). Pernah mendengar kasus Baiq Nuril yang  merupakan guru di Nusa Tenggara Barat? Nuril adalah korban pelecehan seksual yang dilakukan seorang kepala sekolah. Saat persidangan, Nuril dilaporkan balik oleh terdakwa karena dianggap telah melanggar UU ITE. Nuril kemudian dihukum 6 bulan penjara dan dipidana denda senilai Rp500 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan. Kasus ini menjadi contoh nyata bahwa perempuan memiliki kerentanan di ruang digital dan mengalami ketimpangan literasi keamanan digital. 

Selain meningkatkan intensitas KBGO, perkembangan teknologi dan kemudahan akses ke internet pada akhirnya telah memperluas jangkauan KBGO. Objektifikasi perempuan melalui masifnya komentar dan headline pemberitaan yang seksis menunjukkan hal tersebut. Ini juga menunjukkan bahwa hari ini, istilah “Mulutmu, harimaumu” sudah tidak relevan karena sudah berganti zaman menjadi “Jarimu, harimaumu”. Populernya internet dan penggunaan media sosial juga telah menghadirkan berbagai modus KBGO, mulai dari penyebaran foto atau video tanpa konsen, komentar seksis, pengeditan foto, hingga pemerasan yang mengandung unsur pengancaman. 

Selaras dengan hal ini, catatan kasus Rifka Annisa menunjukan bahwa kasus KBGO dapat terjadi di berbagai platform media sosial, mulai dari Facebook, Instagram, dating apps atau aplikasi kencan, Twitter, YouTube, game online, dan media sosial lainnya. Adapun ditemui bahwa usia korban berusia beragam, dengan mayoritas rentang usia 12-25 tahun, yakni usia anak hingga dewasa awal. Dalam lingkup lebih luas, ini juga sejalan dengan temuan Nurtjahyo, bahwa sebagian besar korban berasal dari generasi muda. Sebab, sebagian besar yang menggunakan internet adalah anak muda, baik untuk bekerja maupun belajar.

Di samping itu, Rifka Annisa mencatat bahwa media sosial merupakan pintu awal terjadinya KBGO, yang dimulai dari bujuk rayu melalui fitur pesan pribadi atau direct message (DM) di platform media sosial. Berikutnya, korban dan pelaku bertukar informasi kontak berupa nomor telepon, lalu berlanjut ke pertemuan yang berujung pada pelecehan atau pemerkosaan. 

Adapun pendampingan kasus demikian perlu didukung oleh unit siber di kepolisian wilayah masing-masing. Optimalisasi peran masing-masing unit dapat membantu mempermudah penyelesaian kasus KBGO. Namun demikian, dalam prosesnya, konselor mendapati berbagai tantangan di lapangan. Di antaranya, ketidakpahaman korban terkait keamanan digital, minimnya saksi, minimnya alat bukti karena biasanya korban terguncang saat mengalami ancaman sehingga bertindak menghapus alat bukti, kurangnya perspektif gender penegak hukum, proses transmisi bukti dengan jelas. 

Dinamika pada kasus KBGO yang sedemikian rupa juga berkelindan dengan dampak yang mungkin terjadi pada diri korban. Lebih lanjut, KBGO berpotensi memberikan dampak yang berlapis bagi korban karena korban tidak lagi merasa aman, baik secara online di ruang digital maupun secara offline di ruang nyata. 

Adapun organisasi advokasi hak-hak digital Asia Tenggara atau Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dalam buku panduan “Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online” (2020) menerangkan bahwa dampak atau kerugian yang didapat korban beragam dan berbeda-beda pada tiap kasus, meliputi kerugian psikologis, keterasingan sosial, kerugian ekonomi, terbatasnya mobilitas sampai dengan takut akan menjadi korban lebih lanjut, dan karena hilangnya kepercayaan terhadap keamanan menggunakan teknologi digital, menghapus diri dari internet, yang mana memiliki implikasi lebih lanjut di luar sensor diri, seperti putusnya akses ke informasi, layanan elektronik, dan komunikasi sosial atau profesional. Oleh karenanya, KBGO dapat merugikan korban yang umumnya perempuan, dengan membatasi kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari peluang yang sama secara online yang biasanya didapatkan oleh laki-laki, seperti pekerjaan, promosi dan ekspresi diri.

Bersamaan dengan itu, adapun hal yang perlu diwaspadai dari KBGO adalah tindakan penyalahgunaan akses digitalnya, yang mana dapat berkontribusi terhadap budaya seksisme dan misoginis online, serta melanggengkan ketidaksetaraan gender di ranah offline. Situasi ini menegaskan bahwa pencegahan KBGO menjadi demikian penting.

Terdapat upaya sederhana yang bisa dilakukan untuk mencegah KBGO. Pertama, mengembangkan kesadaran akurat akan pentingnya perlindungan data pribadi. Kedua, terus memperkaya diri dengan ilmu agar struktur pengetahuan terbangun menjadi lebih kuat mengenai informasi digital dan segala risiko yang ada di dalamnya, sehingga sebagai pengguna mampu lebih bijak dalam menggunakan dan mengakses teknologi komunikasi digital.

Dalam mewujudkannya, perlu komitmen dan upaya, termasuk dari negara, untuk memastikan akses layanan digital yang aman bagi perempuan agar pemberdayaan bagi seluruh perempuan dapat terwujud dengan pemanfaatan teknologi dan kemampuan untuk mengaksesnya. 

 

Sumber 

Fathiyah Wardah. (2020). Kesenjangan Akses dan Literasi Digital Merugikan Perempuan. VoA Indonesia.

Lidwina Inge Nurtjahyo. (2020). Kekerasan seksual di internet meningkat selama pandemi dan sasar anak muda: kenali bentuknya dan apa yang bisa dilakukan?. The Conversation.

SAFEnet. (2020). Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online; Sebuah Panduan. Southeast Asia Freedom of Expression Network

Wawancara dengan Konselor Hukum Rifka Annisa pada 17 Maret 2023.

Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023 Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara: Minimnya Pelindungan dan Pemulihan Jakarta, 7 Maret 2023. 





Read 6532 times Last modified on Jumat, 28 Juli 2023 22:34
46427883
Today
This Week
This Month
Last Month
All
757
7555
280128
306641
46427883