Rabu, 05 September 2018 13:21

Bercerai Bukan di Tempat Menikah

Nama saya Fira, saya menikah pada tahun 2009 di Wonosobo. Awal tahun 2018, saya dan suami telah memutuskan untuk tidak melanjutkan pernikahan dan kami sepakat bercerai. Saya dan suami sudah tinggal di Yogyakarta sejak tahun 2012. Apabila ingin mengajukan perceraian, dimanakah sebaiknya saya mendaftarkan perceraian? Apakah bisa di Yogyakarta atau harus di Wonosobo? Terimakasih.

JAWAB

Pengaturan tentang perceraian di Indonesia diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di atas, terdapat dua mekanisme pengajuan gugatan cerai, berdasarkan agama atau keyakinan yang dianut para pihak yang mengajukan perceraian, termasuk tempat perceraian diajukan.

Perceraian Pasangan Muslim

Pasangan suami-istri yang beragama Islam harus tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Proses perceraian berdasarkan KHI pada Pasal 116 terdapat dua istilah, yaitu ‘cerai gugat’ dan ‘cerai talak’. Perbedaannya terletak pada pihak yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Cerai talak, yaitu cerai yang dijatuhkan suami di depan pengadilan, yang sesuai dengan hukum Islam. Ini berdasarkan penjelasan Pasal 14 UU Perkawinan dan PP No. 9/Th 1975.

Talak menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi: Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Adapun istilah cerai gugat (gugatan cerai), yaitu diajukan oleh istri, sebagaimana terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI: Gugatan perceraian diajukan oleh istri atas kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.

Untuk yang beragama Islam, gugatan diajukan di Pengadilan Agama tempat tinggal atau domisili istri, kecuali dalam hal istri dianggap meninggalkan rumah tanpa izin suami atau istilahnya nuzyuz. Apabila kepergian ini ada alasan tertentu, maka harus dijelaskan pada hakim, agar hakim dapat mempertimbangkan alasan kepergiannya sehingga tuduhan nuzyuz tidak terbukti.  

Perceraian Pasangan Non-Muslim

Gugatan cerai pasangan non-Muslim dapat dilakukan di Pengadilan Negeri. Sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) PP No. 9/Th 1975, bahwa gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri, atau kuasanya, kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Dengan demikian, jika suami yang menggugat cerai istrinya, suami harus mengajukan permohonan ke pengadilan di wilayah tempat tinggal istrinya saat itu, dan sebaliknya. Namun, jika tempat tinggal atau kediaman tergugat tidak jelas dan tidak diketahui atau berpindah-pindah, gugatan perceraian dapat diajukan ke pengadilan di wilayah kediaman penggugat.

Maka berdasarkan penjelasan di atas, Ibu tidak harus mengajukan gugatan cerai di Wonosobo, melainkan bisa di Yogyakarta. Adapun untuk pengajuan cerai di Yogyakarta, Ibu atau suami harus memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Yogyakarta atau Surat Keterangan Domisili di Yogyakarta. Surat Keterangan Domisili adalah surat yang dibuat dengan kegunaannya, dan dikeluarkan oleh pihak yang berwenang seperti ketua RT, ketua RW, Kepala Dusun, KepalaDesa, yang isinya untuk menerangkan status tempat tinggal seseorang dalam suatu wilayah atau daerah tertentu. Biasanya surat ini bisa dikeluarkan setelah berdomisili di suatu tempat, minimal dalam jangka waktu 6 (enam) bulan.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Jika ingin berkonsultasi lebih lanjut dapat datang langsung ke kantor kami di Jln. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta, atau via telepon di (0274) 553333 dan hotline 085100431298 / 085799057765, serta email di Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.. Kami ikut mendoakan yang terbaik bagi semua.

Rabu, 05 September 2018 13:09

Sunat Perempuan

Saya seorang dokter. Saya pernah mengikuti sebuah acara lokakarya terkait permasalahan kekerasan terhadap perempuan, dan pada saat itu dijelaskan bahwa salah satu bentuk kekerasan seksual adalah sunat perempuan. Yang ingin saya tanyakan, dari segi manakah sunat perempuan menjadi bentuk kekerasan seksual? Karena sunat itu bisa menjadi kewajiban di suku tertentu. Apabila mendapati ada pihak keluarga yang meminta sunat pada anak perempuan, sikap saya sebaiknya bagaimana? Terimakasih banyak.

Mirna di kota J

JAWAB

Salam dr. Mirna,

Temuan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dari hasil pemantauan selama 15 tahun (1998-2013) di Indonesia menyebutkan ada 15 bentuk kekerasan seksual, yaitu perkosaan, ancaman perkosaan, pelecehan seksual, penghukuman bernuansa seksual, pemaksaan kehamilan, pemaksaan pernikahan, penyiksaan seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, sunat perempuan, pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi, pemaksaan berbusana, prostitusi paksa, dan sunat perempuan.

Adapun, sunat perempuan menjadi salah satu bentuk kekerasan seksual, karena kebiasaan masyarakat ini sering ditopang dengan alasan agama dan/atau budaya, yang bernuansa seksual, dan dapat menimbulkan cidera secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan. Kebiasaan ini dapat pula dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan.

Kebijakan sunat perempuan di Indonesia sendiri masih pro-kontra. Pada tahun 2006, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Kemenkes mengeluarkan Surat Edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan. Surat Edaran ini membuat praktik sunat perempuan pada bayi perempuan tidak dilakukan. Namun, pada Mei 2008, MUI menentang larangan tersebut. MUI mengeluarkan Fatwa untuk menolak larangan khitan perempuan. MUI mengeluarkan fatwa tentang khitan perempuan yang berbunyi, khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Akhirnya, pada 2013, Kemenkes mencabut Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur tentang praktik sunat perempuan. Alasannya, banyaknya pihak yang masih beranggapan khitan perempuan yang dilakukan di Indonesia sama dengan di Afrika. Khitan perempuan di Afrika dilakukan dengan cara mutilasi, sementara di Indonesia, menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris dengan menggunakan jarum steril tanpa melukai.

Memang di Indonesia, praktek sunat perempuan tidak seperti di Timur Tengah dan Afrika. Di negara tersebut, sunat perempuan sampai menghilangkan bagian klitoris, dengan maksud supaya perempuan tidak dapat merasakan orgasme. Tujuannya adalah untuk mengontrol seksualitas perempuan, agar perempuan tidak berhubungan seksual dengan laki-laki selain pasangannya. Beberapa budaya di Indonesia bahkan secara simbolis saja melakukan sunat, misalnya diganti dengan kunyit atau rempah yang lain.

Secara medis, praktek sunat perempuan di Indonesia tidak mengganggu kesehatan. Namun juga tidak ada manfaat medis sama sekali. Yang berbahaya dari praktek ini adalah ide dasarnya, yaitu untuk mengekang hak perempuan dalam menikmati hubungan seksual. Perempuan dikontrol dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan seksualnya. Ini adalah perspektif yang sangat merendahkan, karena seolah-olah ketika kontrol itu tidak dilakukan, perempuan akan menjadi manusia yang tidak tahu norma dan etika. Inilah yang menyebabkan sunat perempuan dimasukkan ke dalam bentuk kekerasan seksual.

 Uraian di atas dapat menjadi bahan referensi bagi Ibu dalam membangun diskusi dengan keluarga yang hendak melakukan sunat perempuan pada anak perempuannya. Minimal, bahwa niat untuk melakukan sunat perempuan tidak dilandasi perspektif yang merendahkan seperti uraian di atas.

Kekerasan seksual bukan hanya serangan seksual secara fisik. Namun ucapan, sikap, maupun ide dasar, nilai, dan gagasan yang bernuansa seksual dan merendahkan perempuan, juga merupakan bentuk kekerasan seksual yang perlu kita kenali bersama untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Semoga uraian ini cukup menjawab pertanyaan Ibu. Jika masih ada yang ingin didiskusikan silahkan dapat datang langsung ke kantor kami di Jln. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta, atau via telepon di (0274) 553333 dan hotline 085100431298 / 085799057765, serta email di Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.. Terimakasih.

Selasa, 07 Agustus 2018 15:50

Perempuan di Era Kapitalisme

Kapitalisme bukanlah suatu kata yang asing dalam telinga kita. Kapitalisme membawa dunia pada sistem perekonomian yang tunduk pada norma serta aturan pasar. Terobosan kapitalisme adalah membentuk sistem pasar yang hegemonik dimana kekuasaan privat juga memiliki kemampuan untuk menciptakan pengaruh pada kawasan publik.  Adam Smith adalah peletak dasar pemikiran kapitalisme yang menjelaskan bekerjanya mekanisme hukum pasar atas dasar dorongan kepentingan-kepentingan pribadi karena kompetisi dan kekuatan individu dalam menciptakan keteraturan ekonomi (Prasetyo, 2004).

Di berbagai negara-negara di dunia, termasuk Indonesia muncul industri-industri yang bergerak di segala bidang diantaranya fashion, kecantikan, makanan dan masih banyak lagi. Kemunculan industri membawa beberapa dampak positif dan negatif. Positifnya turut andil dalam mengurangi pengangguran di Indonesia. Negatifnya, buruh di sektor industri justru terdiskriminasi khususnya buruh perempuan lantaran peran gendernya. Tidak banyak perusahaan yang sensitif terhadap peran-peran perempuan misalnya peran reproduksi, peran menyusui, menstruasi, hamil dan sebagainya. Penjelasan Ratna (dalam Subagya dkk, 2013) Serikat pekerja Nasional (SPN) pada tahun 2007 sekitar 70% di sector tekstil, garment dan sepatu adalah perempuan. Sementara Federasi Serikat Pekerja Perkayuan dan Kehutanan Indonesia (FSP-Kahutindo) menyebutkan 60% buruh kehutanan (termasuk didalamnya perkebunan sawit, kopi, tembakau) adalah perempuan. Kebanyakan dari mereka bekerja bukan dalam sistem kerja tetap tetapi dalam sistem kerja kontrak yang minim perlindungan.

Masih banyak perempuan tidak mengetahui hak-haknya sebagai pekerja. Undang-undang No 13 Tahun 2003 banyak mengatur soal tenaga perempuan di dalamnya. Meski demikian, antara peraturan dan yang terjadi di lapangan nampaknya berbeda. Pasal 82 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Tetapi pada realitasnya tak jarang buruh perempuan yang di PHK karena hamil, dianggap bahwa tenaganya tidak produktif lagi.  

Lebih parah lagi, perempuan tidak hanya diambil tenaganya, tetapi juga dijadikan suatu komoditas. Komoditas merupakan sesuatu yang mudah untuk diperdagangkan. Seperti yang sering kita temui bahwa iklan di televisi, majalah, Instagram dan sebagainya, selalu menjadikan perempuan sebagai media promosi, memberikan pengertian bahwa perempuan yang cantik itu adalah perempuan yang putih, tinggi, langsing dan untuk mewujudkannya maka harus membeli produk-produk yang diiklankan. Apabila tidak memenuhi kriteria yang dtampilkan di media maka dia tidak dianggap cantik. Sebenarnya, menjadikan diri putih, langsing itu merupakan sebuah pilihan. Hal tersebut akan bermasalah apabila memaknai dan mendefinisikan kecantikan terlalu sempit dengan harus memakai produk-produk tertentu (Sulaiman, 2018).

Lebih jauh lagi, hadirnya industrialisasi membuat masyarakat menjadi semakin konsumtif dengan produk-produk yang memikat. Alhasil banyak perempuan yang menjadi pekerja migran untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ketika perempuan menjadi pekerja migran, tidak selalu fungsi pengasuhan di keluarganya berjalan dengan baik lantaran tidak ada dukungan dari suami dan anggota keluarga lainnya sehingga semakin rentan rumah tangga tersebut mengalami konflik. Pemerintah sering membanggakan pendapatan yang masuk dari buruh migran perempuan, dan berpendapat bahwa hal ini akan berkontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi negara. Buruh migran perempuan banyak mendapatkan perlakukan kasar dari majikan, penganiayaan, perkosaan hingga pembunuhan. Pemerintah memperlakukan rakyatnya sebagai sumber pendapatan negara, bertransaksi dengan rakyat sebagai regulator semata, bukan sebagai pelindung, pengayom, dan penanggung jawab nasib setiap individu warga negaranya (Falah, 2012).

Sangat diperlukan pengawasan dan tinjauan ulang kepada beberapa industri yang ada di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang ketenagakerjaan yang sudah dibentuk. Selain itu, perlu adanya pengetahuan yang ditujukan kepada buruh agar lebih paham mengenai permasalahannya dan apa yang harus dilakukan karena kebanyakan buruh perempuan tidak menyadari dan tidak mengetahui posisi dan haknya.

Referensi

Daulay, H. (2006). Buruh Perempuan di Industri Manufaktur Suatu Kajian dan Analisis Gender. Harmona Daulay adalah Dosen FISIP USU .

Falah, M. (2012, Desember 16). Dilema Perempuan di Tengah Kapitalisme . Retrieved from Kolom: https://republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/12/12/26/mfmiez-dilema-perempuan-di-tengah-kapitalisme

Prasetyo, E. (2004). Kapitalisme dan Neoliberalisme Sebuah Tinjauan Singkat . Ekonomi Politik Journal Al-Manär Edisi I/2004 .

Subagya, S., Indria L, S., & Budiati, A. C. (2013). Pengarusutamaan Gender dan Optimalisasi Peran Serikat Pekerja Sebagai Upaya Perlindungan Berbasis Gender Bagi Perempuan Buruh Pabrik di Kabupaten Karanganyar. FIS40 (1)(2013).

Sulaiman, A. (2018, February 5). Perempuan dan Kapitalisme. Retrieved from Nusantara News: https://nusantaranews.co/perempuan-dan-kapitalisme/

--------------------------

Ditulis oleh Muflikhah dan Dwi Utami, mahasiswa Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya

Disclaimer: Opini dalam tulisan ini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak merepresentasikan sudut pandang Rifka Annisa secara keseluruhan.

Sumber gambar: https://www.cartoonmovement.com/collection/78

Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.  Sedangkan menurut definisi WHO, batasan usia anak adalah sejak anak dalam kandungan sampai usia 19 tahun. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, Bagian 1 pasal 1, yang dimaksud anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal (Kemenkes, 2014).

Salahuddin dalam (Fitria, 2016) menjelaskan bahwa menurut pandangan behaviorisme, sifat-sifat manusia tidak ada yang turun temurun. Semua aspek individu bisa diatur dan bisa dikondisikan, yaitu menurut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam lingkungan seorang anak. Artinya cara anak beradaptasi dan hidup dalam sebuah lingkunganlah yang menentukan sikap dan sifat anak. Keluarga adalah lingkungan pertama yang memberikan anak pondasi untuk menuju kehidupan yang sesungguhnya. Keluarga sebagai tempat pertama kali anak diberikan sosialisasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Bagaimana perlakuan orang tua terhadap anak secara tidak langsung mempengaruhi perilaku anak terhadap orang lain.

Mastumoto dalam (Fitria, 2016) pola asuh adalah budaya yang dipandang sebagai kebiasaan, sikap atau perilaku, budaya sendiri merupakan sekumpulan sikap, nilai, keyakinan dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Setiap keluarga mempunyai pola asuh anak yang berbeda-beda. Bahkan seringkali, ada perbedaan pola asuh antara anak laki-laki dan perempuan. Pada anak perempuan lebih ditekankan pada penanaman norma-norma kesopanan dan susila serta kepantasan dalam bergaul. Pada anak laki-laki lebih pada etika pergaulan sosial yang berhubungan dengan loyalitas pada kelompok dan nilai-nilai masulinitas yaitu kekuatan fisik dan persaingan. Jika anak laki-laki mempunyai permasalahan dengan temannya yang berjenis laki-laki maka alternatifnya adalah melakukan perlawanan fisik (Hasyim, dkk, 2007). Hal ini yang kemudian terbawa hingga dewasa.

Dengan dalih melindungi, anak perempuan seringkali tidak diperbolehkan untuk keluar sendirian dan harus ditemani karena rentan terhadap kejahatan. Sebaliknya anak laki-laki lebih dibebaskan ketika pergi keluar karena dianggap bisa menjaga dirinya sendiri. Hal ini menyebabkan beberapa anak merasa tidak adil. Bahkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh (Fitria, 2016) karena kebebasan yang diberikan, anak laki-laki cenderung memiliki egosentrisme yang menyebabkan mereka menjadi lebih individualis.

Dalam hal ini, keseimbangan sifat feminim dan maskulin dalam pengasuhan harus dipahami oleh orang tua, agar anak laki-laki tidak tumbuh menjadi anak yang hanya mengandalkan kekuatan fisik dan anak perempuan tidak selalu merasa lemah dan rendah diri. Maskulin merupakan sebuah bentuk konstruksi kelelakian terhadap laki-laki. Meliputi sifat kemandirian, kekuasaan, kerja dll (Demartoto, 2010). Sedangkan feminim menurut Nauly (2003) merupakan ciri-ciri atau trait yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal bagi perempuan, seperti keibuan, lemah lembut, penyayang dll.  Berikut solusi untuk menyeimbangkan konsep maskulin dan feminim kepada anak (Sujadi, 2010).

  1. Memberikan kesempatan anak untuk melakukan tugas di rumah, baik yang biasanya dilakukan oleh ibu dan biasa yang dilakukan oleh ayah, tetapi dengan tetap memperhatikan minat dan kemampuan masing-masing
  2. Tidak harus bertukar peran misalnya perempuan mengerjakan pekerjaan laki-laki dan sebaliknya, namun berbagi peran, saling bantu dan saling dukung dalam keharmonisan
  3. Memberikan contoh pemecahan masalah tidak harus dengan emosi yang negatif

 

Referensi

Demartoto, A. (2010, 08 10). Konsep Maskulinitas dari jaman ke jaman dan citranya oleh media. Retrieved from http://argyo.staff.uns.ac.id/files/2010/08/maskulinitas-ind1.pdf

Fitria, N. (2016). Pola Asuh Orang Tua Dalam Mendidik Anak Usia Prasekolah Ditinjau Dari Aspek Budaya Lampung . Jurnal Fokus Konseling Volume 2 No. 2, Agustus 2016 Hlm. 99-115.

Hasyim, N., Kurniawan , A. P., & Hayati, E. N. (2007). Menjadi Laki-Laki ; Pandangan Laki-Laki Jawa Tentang Maskulinitas dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Rifka Annisa.

Kemenkes. (2014). Kondisi Pencapaan Program Anak Indonesia .

Sujadi, E. (2010). Gender Harmony. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

--------------------------

Ditulis oleh Muflikhah dan Dwi Utami, mahasiswa Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya

Disclaimer: Opini dalam tulisan ini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak merepresentasikan sudut pandang Rifka Annisa secara keseluruhan.

Hampir setiap minggu ada berita mengenai kasus pencabulan atau perkosaan terhadap anak-anak di Indonesia. Di sisi lain, tidak ada upaya berarti untuk menanggulanginya.

Hari Kamis, 19 Juli malam, aparat polisi dari Kepolisian Sektor Playen, Gunungkidul, DI Yogyakarta menangkap AS, kakek berumur 63 tahun. Lelaki tua itu dilaporkan oleh keluarga besarnya, karena mencabuli keponakannya yang baru berumur 15 tahun dan menyandang disabilitas. Modusnya dengan mengiming-imingi korban uang Rp 2.000. Guru tempat anak itu sekolah yang pertama kali curiga dengan perubahan fisiknya, dan kemudian membawanya ke layanan kesehatan untuk diperiksa.

“Korban awalnya tidak mau terbuka, tetapi setelah didesak akhirnya mengaku. Pelaku juga sudah mengakui perbuatannya,” kata Kanitreskrim Polsek Playen, Iptu Suryanto.

Awal Juli lalu, polisi di Bantul, Yogyakarta baru selesai menyusun berkas pemeriksaan seorang kepala dusun yang memperkosa anak berumur sembilan tahun. Berkas perkaranya masuk ke pengadilan pekan lalu, dan dalam beberapa hari ke depan sidang perdana kasus ini akan digelar. Pelaku adalah teman baik ayah korban, dan merupakan tokoh masyarakat. Kasus terungkap setelah korban kesakitan ketika buang air kecil. Tindakan keji dilakukan pelaku beberapa kali, di kebun, tambak udang dan juga di rumahnya.

Februari lalu, PN Bantul memvonis 10 tahun penjara seorang guru sekolah menengah pertama karena berulang kali mencabuli siswinya sendiri. Anak yang bahkan belum menginjak 15 tahun itu akhirnya hamil dan melahirkan. Tak mau melanjutkan sekolah, dia kini mengasuh anaknya yang berumur lima bulan dengan bantuan penuh dari ibunya.

Rentetan kasus itu tidak hanya terjadi di Yogyakarta. Kasus pencabulan dan perkosaan terhadap anak merata terjadi di seluruh Indonesia. Dalam sejumlah kasus, pelakunya bahkan tidak hanya satu, tetapi sekelompok anak sebaya. Entah satu atau lebih pelakunya, selalu ada hubungan antara pelaku dan korban, entah saudara, guru atau pacar.Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukkan, ada 218 kasus kekerasan seksual anak pada 2015, kemudian 120 kasus pada 2016, dan 116 kasus di 2017.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Suprapto menilai, anak-anak sering menjadi korban karena pelaku memandang mereka sebagai target yang mudah. Di samping itu, anak-anak di Indonesia tumbuh dalam ajaran kedekatan sosial yang hangat. Ada anggapan bahwa semua orang cenderung baik dan tidak berpotensi melakukan kejahatan. Karena itu, anak-anak percaya kepada saudara, guru atau kawan dekat.

“Lihat saja, dalam budaya kita, kepercayaan terhadap saudara, tetangga, guru itu kan besar sekali. Bayi digendong orang lain itu wajar. Nah, itu yang membuat anak-anak tidak bisa merespons dengan baik bahwa ada tindakan yang berpotensi ke arah kekerasan seksual,” kata Suprapto.

Dosen yang juga peneliti di Pusat Studi Wanita UGM ini juga sudah menyusun sebuah panduan merespons kekerasan seksual, yang dapat digunakan oleh remaja, guru, hingga pemerintah. Dia menekankan pendidikan kesehatan reproduksi sebagai salah satu jalan keluar menekan angka kejahatan ini.

“Di Indonesia itu masih dianggap tabu untuk memberikan penjelasan atau pemahaman kepada anak mengenai seks, sehingga anak menjadi tidak terlalu paham ketika mendapatkan materi-materi atau tanda-tanda terkait tindakan yang mengarah ke kekerasan seksual dan sebagainya. Anak menjadi terlalu positive thinking, menjadi tidak siap untuk menghadapi perilaku orang dewasa. Karena itu pemahaman mengenai seks penting agar mereka sensitif ketika ada hal-hal yang mengarah ke tindakan itu,” kata Suprapto.

Triantono, peneliti dari Rifka Annisa mengakui, rentetan kasus pencabulan dan perkosaan anak seperti peringatan yang tidak pernah didengar pemerintah dan lembaga pemangku kebijakan. Rifka Annisa adalah lembaga yang berkomitmen pada upaya-upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan dan berpusat di Yogyakarta.

Triantono mengambil salah satu contoh macetnya pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak jelas juntrungannya di DPR. Pemerintah seolah tidak memiliki sudut pandang, bahwa masalah kekerasan seksual terutama kepada anak adalah persoalan begitu besar. Indonesia terlalu sibuk membahas pembangunan fisik yang seolah prioritas yang lebih penting dibandingkan dengan soal-soal kekerasan seksual.

“Pemerintah terkesan reaktif, pasca beberapa kejadian kekerasan seksual terhadap anak. Tetapi solusi pemerintah sejauh ini tidak menyelesaikan masalah, tidak berkelanjutan dan tidak komprehensif. Isu-isu terkait kekerasan seksual anak itu terpinggirkan dibandingkan dengan isu yang lain,” kata Triantono.

Prinsipnya, kata Tri, anak harus dilindungi, bahkan mereka yang menjadi pelaku aksi kekerasan seksual terhadap anak yang lain. Maka solusi yang harus ditawarkan adalah solusi edukatif. Pemerintah harus mengupayakan tidak ada tindakan lebih lanjut dari pelaku yang sama, atau tindakan “balas dendam” dari korban kepada anak yang lain.

“Sistem hukum kita tidak sampai ke sana. Sistem hukum kita sampai sekarang hanya berbicara soal, jika ada kasus kekerasan seksual anak, baik dilakukan anak atau orang dewasa, maka implikasinya adalah bagaimana menghukum pelakunya. Tetapi tidak membicarakan bagaimana proses rehabilitasi pelaku dan yang lebih penting adalah pemulihan yang tuntas kepada korban,” jelas Triantono.

Dalam kasus kekerasan seksual, kata Tri, rehabilitasi penting karena dalam kasus kekerasan seksual kepada anak, pelaku memandang anak-anak sebagai objek seksual bagi kepuasan dirinya. Penjara tidak menyembuhkan kecenderungan ini, karena terbukti banyak pelaku lebih ganas setelah selesai dari pemidanaan.

Triantono menilai, Indonesia tidak kekurangan lembaga terkait isu ini. Namun sejauh ini belum ada jalinan kerja sama yang erat, baik antar-lembaga pemerintah maupun lembaga pemerintah dengan LSM. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah yang penting untuk diselesaikan, di tengah kebuntuan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. “Karena pemerintah dan DPR tidak memiliki semangat yang sama dengan kita dalam isu ini,” lanjutnya. [ns/lt]

 

Sumber berita: VOA Indonesia

 

 

46430112
Today
This Week
This Month
Last Month
All
2986
9784
282357
306641
46430112