Membaca Relasi Kuasa Dalam Kasus Kekerasan Seksual di Kampus

Written by  Defirentia One Muharomah Selasa, 22 Mei 2018 15:00

Kekerasan seksual masih menjadi masalah yang serius di lingkungan kampus maupun di institusi pendidikan lainnya. Laporan Divisi Pendampingan Rifka Annisa Women's Crisis Center menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2000-2016, terdapat 51 aduan perempuan mengalami kekerasan seksual (pelecehan seksual dan perkosaan) di institusi pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagian besar pelaku dari kekerasan seksual tersebut adalah para pengajar atau orang yang memiliki posisi strategis maupun pengaruh misalnya dosen, guru atau staf akademik.

Kekerasan seksual selalu mengarah pada penyalahgunaan kuasa dimana seseorang yang memiliki posisi/kuasa yang lebih tinggi memaksakan kehendaknya pada orang lain yang posisi/kuasanya lebih rendah. Faktor relasi kuasa ini sangat jelas berkontribusi dalam terjadinya kekerasan seksual, namun tidak banyak orang menyadari tentang hal ini. Adanya relasi kuasa yang timpang sangat rentan menjadi peluang terjadinya kekerasan seksual dimana setelah kejadian penyintas cenderung tidak melaporkan atau memproses lebih lanjut kejadian yang dialaminya.

Terlebih untuk meminta pertolongan saja penyintas enggan karena mempertimbangkan bagaimana anggapan publik terhadapnya, bagaimana nasib dia sebagai mahasiswa atau pun menganggap bahwa melapor sama halnya dengan membuka aib diri sendiri. Belum lagi jika dalam kasus tertentu muncul intimidasi dan ancaman dari pelaku, sehingga korban terpaksa menutup diri dan takut untuk memproses lebih lanjut. Keengganan penyintas untuk memproses lebih lanjut juga disebabkan karena sistem pelaporan dan perujukan yang menjamin keamanan dan kerahasiaan belum tersedia.

Terkadang kita tidak menyadari bagaimana relasi kuasa ini bekerja. Mari kita perhatikan perumpamaan berikut.

A dan B adalah sama-sama mahasiswa semester 2 di sebuah perguruan tinggi. C adalah dosen mereka. Suatu hari A sedang berjalan dengan asyik bermain handphone (HP) barunya. Sementara B sedang berjalan dan menyenggol A sehingga HP-nya jatuh dan pecah. Kira-kira reaksi dan respon apa yang diberikan A ke B? A kesal, marah-marah ke B dan tanpa pikir panjang meminta B untuk segera mengganti HP barunya itu. Bahkan A  juga menjelek-jelekkan si B ke orang lain.

Suatu ketika jika dalam kasus yang sama bukan B yang menyenggol A, tapi C yang notabene adalah dosen mereka. Apakah tindakan A akan sama ke C atau berbeda? Mungkin A juga kesal dan sangat marah, tapi tindakan yang ia lakukan berbeda. Ia akan mempertimbangkan mana mungkin ia marah-marah ke dosennya sehingga bisa jadi ia malah bingung sendiri. A mungkin tidak berani menyampaikan kepada dosen agar segera mengganti, malah menunggu si dosen agar berinisiatif untuk bertanggung jawab.

Kasus diatas secara sederhana menunjukkan bagaimana relasi kuasa bekerja, bagaimana dampak yang dihasilkan berbeda oleh relasi yang berbeda dan bagaimana tindakan yang dipilih penyintas. Jika yang melakukan orang yang memiliki posisi/kuasa lebih tinggi, penyintas akan memilih untuk pasif, bingung, dan banyak kendala psikis maupun sosial dalam merespon kejadian tersebut.

Beberapa Modus

Berdasarkan pengalaman pendampingan Rifka Annisa untuk korban kekerasan seksual dengan pelaku oknum dosen dan sebagian besar laki-laki, kuasa yang digunakan pelaku bukanlah berupa intimidasi atau pun ancaman. Biasanya pelaku telah melakukan pendekatan untuk membangun relasi yang nyaman. Hal itu dilakukan agar terjalin kedekatan emosional.

Selain itu, pelaku biasanya mendekati korban melalui cara lain yaitu dengan memberikan janji, tawaran atau bantuan. Dalam situasi tertentu, sebenarnya korban sudah merasa ada hal-hal yang aneh terkait permintaan pelaku. Korban juga sudah curiga tetapi karena kedekatan emosi dan hubungan yang telah dibangun membuat korban jadi sulit menolak. Situasi ini semakin sulit bagi korban manakala harus menghadapi hambatan psikologis lain misalnya takut nilainya jelek kalau menolak atau merasa tidak enak karena adanya kebaikan yang pernah diberikan.

Dalam buku Sexual Assault in Context: Teaching College Men about Gender, Christoper Kilmartin (2001) menjelaskan bahwa kebanyakan kasus kekerasan seksual bukanlah hasil dari kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Kekerasan seksual terjadi bukan karena unsur ketidaksengajaan, khilaf atau pun kejadian tiba-tiba. Kekerasan seksual lebih merupakan sesuatu yang terjadi karena direncanakan dan pelaku sangat sadar sekali bahwa dirinya memiliki kuasa, kesempatan serta pembacaan terkait situasi korbannya. Bahkan mereka mengetahui dan menganggap bahwa korban tidak akan menolak atau pun bercerita ke orang lain atas kejadian yang dialaminya. Tak segan, pelaku bahkan melontarkan ancaman atau intimidasi jika korban berniat melaporkan kejadian tersebut.

Modus dengan ancaman atau intimidasi langsung ini tidak lebih banyak daripada modus pelaku yang memanfaatkan bujuk rayu maupun kedekatan dengan korban. Bujuk rayu, memanfaatkan kedekatan maupun ketergantungan justru dilihat lebih berbahaya karena korban tidak langsung menyadari bahwa apa yang dilakukan itu adalah kekerasan. Dari situasi itulah, pelaku seolah mendapatkan peluang untuk melakukan kekerasan seksual.

Mekanisme Perlindungan

Kebanyakan kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus tidak dilaporkan dan tidak tertangani karena korban memilih diam. Rifka Annisa mengamati bahwa selama ini kebanyakan institusi pendidikan khususnya perguruan tinggi belum memiliki sistem untuk perlindungan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang menjamin perlindungan, kerahasiaan dan keamanan korban.

Oleh karena itu, kampus perlu memiliki sistem penanganan dan perlindungan korban meliputi kode etik maupun kebijakan terkait kekerasan seksual, mekanisme pelaporan dan hotline, pendokumentasian kasus, pendampingan psikologis, pendampingan hukum, serta mekanisme dan jaringan untuk perujukan. Selain itu, upaya pencegahan perlu dilakukan secara terus menerus dan melibatkan banyak pihak. Meningkatkan kesadaran akan kekerasan seksual sekaligus mengupayakan layanan-layanan yang bisa diakses oleh korban. Semoga dengan begitu, kampus bisa menjadi tempat yang lebih aman dan nyaman bagi semua pihak khususnya perempuan.

-----------------------

*Tulisan ini pernah dimuat di Rifka Media edisi 66 Agustus-Oktober 2016

Penulis: 

Defirentia One M

Program Development Officer - Rifka Annisa

Read 23152 times Last modified on Selasa, 10 Juli 2018 23:58
46300814
Today
This Week
This Month
Last Month
All
1763
46502
153059
306641
46300814