Apa yang Harus Dilakukan Ketika Mengetahui Kasus Kekerasan Seksual? Featured

Written by  Syaima Sabine Fasawwa Thursday, 13 October 2022 12:35

Pada dasarnya, segala pengambilan tindakan dalam berhadapan dengan korban kekerasan, perlu didasarkan pada pemahaman mengenai dinamika psikologis penyintas kekerasan. Penyintas mengalami kekerasan sebagai peristiwa yang terjadi di luar kontrol dirinya, baik dalam segi waktu, intensitas, dan frekuensi terjadinya kekerasan tersebut. Konselor psikologi Rifka Annisa, Indiah Wahyu Andari (2015) menjelaskan bahwa ketika penyintas tidak mampu mengatasi peristiwa kekerasan yang dialaminya hingga kekerasan tersebut berlangsung secara berulang dan terus-menerus, penyintas akan mengalami kondisi ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness). Saat mengalami peristiwa kekerasan, penyintas akan merespons dengan berbagai cara yang berbeda antar individu. Ada yang merespons dengan diam, balas menjawab atau membentak, secara fisik meninggalkan tempat terjadinya peristiwa kekerasan, dan sebagainya. 

Di samping itu, secara umum, dalam relasi personal, seperti rumah tangga, terjadinya kekerasan dianggap sebagai permasalahan privat dan tabu, sehingga membuat korban cenderung berusaha menyelesaikan sendiri tanpa melibatkan pihak lain. Perempuan penyintas memperoleh informasi yang tidak tentu mengenai hasil responnya terhadap suatu peristiwa kekerasan. Informasi yang dimaksud di sini adalah informasi objektif yang berasal dari lingkungan di sekitarnya, bukan informasi subjektif yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Adapun dalam konteks relasi personal, seperti rumah tangga, penyintas tidak dapat memastikan apakah hasil responnya berdampak positif pada perubahan perilaku pasangannya atau tidak. Informasi yang bersifat tidak tentu tersebut akan diolah dalam proses kognitifnya. Lebih lanjut, ketidaktentuan tersebut membuat penyintas membangun pengharapan yang salah mengenai hasil responnya terhadap suatu peristiwa. Penyintas mengharapkan, jika ia berlaku baik ketika pelaku melakukan kekerasan padanya, maka hasil responnya akan baik pula. 

Sebagai gambaran, penyintas berharap dengan ia bertindak tidak melawan, diam, dan memaafkan, maka pasangannya akan menyadari kesalahannya dan berubah. Namun, pada kenyataannya, respons yang baik tidak selalu diiringi dengan hasil respons yang baik. Pelaku dapat berubah di suatu saat, tetapi di waktu lain tetap melakukan kekerasan. Kondisi ini membuat penyintas senantiasa berada pada situasi yang tidak tentu–yang sekaligus berada di luar kontrol dirinya. Dalam kondisi tersebut, penyintas akan mengalami penurunan motivasi, kemampuan kognitif, dan emosional. Penurunan pada tiga aspek ini yang memunculkan learned helplessness atau ketidakberdayaan yang dipelajari, atas perilaku pelaku di masa yang akan datang. Penurunan motivasi terjadi ketika kekerasan telah terjadi secara terus-menerus di luar kontrol. Penurunan motivasi ini dapat dilihat dari respons awal yang rendah, misalnya tekanan suara yang menurun, diikuti dengan isolasi dan penolakan. Lebih lanjut, penyintas kemudian cenderung menjadi tidak dapat membuat keputusan sendiri, pasif, mengalami retardasi psikomotor, perlambatan kemampuan intelektual, dan tidak memiliki kepekaan sosial. Penyintas juga cenderung terbiasa dengan sikap menunda dan melakukan sedikit usaha ketika menghadapi situasi yang berbahaya (Maier & Seligman, 1976).

Kemudian, penyintas juga akan mengalami penurunan fungsi kognitif yang membuatnya kesulitan dalam mempelajari respons untuk mencapai kemajuan. Hasil respons yang tidak dapat dikontrol membuat penyintas memiliki keyakinan bahwa ia tidak dapat keluar dari situasi tersebut. Penurunan kognitif misalnya ditandai dengan meningkatnya intensitas dalam berpikiran negatif, sehingga berakibat memunculkan perilaku membesarkan permasalahan kecil, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diselesaikan. Hal ini membuat kemampuan pemecahan masalah penyintas menurun, serta merasa frustasi dan beranggapan memiliki harga diri yang rendah. 

Adapun dalam situasi sarat kekerasan, penyintas mengalami penurunan emosional yang membuatnya tidak mampu mengontrol situasi yang tidak menyenangkan. Maier & Seligman (1976) menambahkan bahwa ketika ada peristiwa traumatik yang menyebabkan ketakutan, seseorang akan belajar mengontrol trauma dan ketakutan tersebut. Apabila dia berhasil, maka ketakutan akan menurun dan menghilang. Namun ketika tidak mampu, ketakutan akan meningkat dan menjadi depresi. Penurunan emosional dapat dilihat dari kondisi agresi yang rendah, kehilangan nafsu makan, perubahan fisiologis seperti perubahan pada neuron dan hormon, serta depresi. Lalu, apa yang bisa dilakukan ketika mendapati orang lain mengalami kekerasan? 

Mengutip laporan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2016), berikut adalah hal-hal yang bisa dilakukan saat mengetahui kasus kekerasan terjadi, termasuk dengan pertimbangan terhadap dinamika psikologi penyintas.

1. Jangan tinggal diam

Bila mengetahui kekerasan terjadi, kita bisa melaporkan pada pihak yang berkompeten dan dipercaya. Namun, jangan menghakimi jika penyintas tidak mau melapor. Mengingat dinamika psikologis korban, adapun individu yang berada di bawah tekanan kekerasan, umumnya berpikir bahwa dirinya tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan perbuatan pelaku. Oleh karenanya, penyintas cenderung menghentikan segala usaha untuk meninggalkan atau mengubah kondisi kekerasan tersebut (Bel dan Naugle, 2005).

2.Jangan menstigma korban 

Ajak orang-orang terdekat korban untuk memberikan dukungan dengan cara tidak menyalahkan korban, tidak menstigma, tidak mengucilkan, dan mendiskriminasi korban.  

3.Dengarkan cerita korban

Catat dengan seksama apa yang disampaikan korban. Mendengarkan penyampaian korban dapat membantunya merasa terdukung, berarti, dan merasa tidak sendiri. Hal ini akan bermanfaat jika korban mengalami kondisi tertentu.

4.Beri informasi hak-hak korban

Bekali korban dengan pengetahuan tentang kondisi dirinya, termasuk juga keberadaan lembaga-lembaga yang dapat dihubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut ataupun memberikan masukan dalam upaya hukum dan upaya pemulihan korban, baik secara medis maupun psikologis.

5. Ikut kegiatan advokasi 

Tindakan ini bisa dilakukan guna memantau jalannya proses penegakan hukum.

6. Dukung lembaga layanan korban kekerasan 

Dukungan bisa dilakukan dengan mengumpulkan informasi mengenai kekerasan yang terjadi di lingkungan sekitar, turut serta dalam kampanye, dan penggalangan dana bagi penanganan korban.




 

Sumber:

Andari, I. W. (2015). Kekerasan dalam Relasi Personal. Makalah. Disampaikan dalam Pekanraya Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana

Bell, K. M., & Naugle, A. E., (2005). Understanding Stay/Leave Decisions in Violent Relationships: A Behavior Analytic Approach. Chicago: Behavior and Social Issues, Vol. 14, 21–45

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia. (2016). Kekerasan Seksual di Indonesia: Data, Fakta, & Realita. Australia Indonesia Partnership for JusticeMaier, S. F., & Martin E. P. Seligman. (1976). Learned Helplessness: Theory and Evidence. Journal of Experimental Psychology: General 105: 3–46

Read 7466 times Last modified on Friday, 28 July 2023 22:47
46748220
Today
This Week
This Month
Last Month
All
19913
95349
256587
343878
46748220