Tuesday, 30 June 2020 23:47

Widi—bukan nama sebenarnya, tengah kebingungan. Sudah tiga tahun lamanya ia mengalami KDRT berulang. Kini, perempuan paruh baya dan anaknya itu tak lagi tinggal serumah bersama suaminya. Perempuan yang sehari-hari berjualan online itu harus berpindah-pindah rumah dari rumah teman atau saudara. Kini, situasi pandemi membuat bebannya bertambah. “Tidak enak dalam suasana corona seperti ini harus menumpang di rumah saudara,” jelasnya. Hal itu ditambah lagi minimnya pendapatan selama pandemi yang pada akhirnya tak cukup untuk mengidupi diri dan anaknya.

Meskipun data yang tersedia masih jarang ditemui, laporan dari China, Inggris, Amerika, dan negara lain menandakan adanya kenaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga sejak awal penyebaran COVID-19. Jumlah angka kekerasan dalam rumah tangga yang terlapor di Kantor Polisi di Kota Jingzhou, Provinsi Hubei, meningkat tiga kalinya di Februari 2020, apabila dibandingkan di periode yang sama tahun lalu. (COVID-19 and Violence Against Women What the Health Sector/System Can Do. Dokumen WHO. 7 April 2020).

Sedangkan dari data kasus Rifka Annisa Januari—Mei 2020, terjadi peningkatan jumlah klien yang mengakses layanan. Lonjakan terjadi pada bulan April dan Mei, yakni sebanyak 67—98 aduan; dibandingkan bulan-bulan sebelumnya yang berkisar 33—41 aduan. Dari jumlah aduan tersebut, paling banyak diakses oleh klien yang berusia 18—45 tahun.

Pandemi dari Kacamata Gender

Jika dilihat dari aspek gender, pandemi ini memberikan dampak yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Hilangnya sekat-sekat kerja domestik dan kerja publik pada saat masa karantina #dirumahaja, tanpa diikuti oleh perubahan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, memberikan beban yang berlipat-lipat bagi perempuan. Perubahan ini dapat menimbulkan situasi krisis dalam sebuah keluarga. Masa krisis dapat menjadikan sebuah keluarga kuat, namun juga bisa membuat keluarga lemah dan berkonflik.

Peran gender yang baku membuat perempuan rentan mengalami beban ganda dalam situasi pandemi. Perempuan yang bekerja di publik, kini mau tidak mau mengerjakan pekerjaannya di rumah, menggantikan peran guru menjadi pengajar di rumah, mengasuh anak, serta melakukan pekerjaan domestik. Bagi sebagian laki-laki, anjuran untuk #dirumahaja dengan peran gender yang kaku, membuat laki-laki merasa kehilangan sosok idealnya dan kehilangan kontrolnya atas perempuan. Penghasilan berkurang bahkan terancam atau kehilangan pekerjaan menjadi salah satu pemicunya.

“Ketika suami mengalami PHK, suami istri serta anak lebih sering berkonflik. Ada juga klien kekerasan terhadap istri yang sebelumnya sudah mengalami peristiwa kekerasan, dalam kondisi bekerja di rumah frekuensi kekerasan dari suami semakin sering terjadi,” jelas Indiah Wahyu Andari, Manajer Divisi Pendampingan Rifka Annisa. Menurutnya, ‘reunifikasi’ yang diakibatkan oleh WFH membuat perempuan korban kekerasan juga cenderung menunda penyelesaian masalahnya.

Lonjakan kasus yang terjadi terjadi pada bulan kedua setelah diterapkannya layanan online di Rifka Annisa. Hal itu mengindikasikan dua hal. Pertama, layanan online memang medium yang tepat dan memudahkan akses perempuan korban sehingga memberikan dampak positif. Namun, disisi lain ada kemungkinan bahwa klien usia di atas 45 tahun kesulitan mengakses layanan akibat keterbatasan alat, kuota/pulsa serta dan kekurangterampilan terhadap teknologi internet. Dengan kata lain, layanan online juga dapat membuat perempuan lebih sulit mengakses layanan.

Berkaca dari kasus Widi di atas, keterbatasan sumber pemasukan ekonomi di tengah pandemi juga merupakan ‘tembok tebal’ bagi perempuan korban dalam mengakses layanan. Meski lembaga layanan baik LSM maupun pemerintah menyediakan layanan gratis untuk mengakses layanan konseling, konsultasi hukum, maupun shelter, tetapi masih banyak biaya yang ditanggung oleh perempuan korban, seperti transportasi, biaya hidup sehari-hari apabila ia tidak mempunyai penghasilan dan tergantung dari pasangan.

Tantangan Lembaga Layanan

Tidak hanya klien yang harus beradaptasi, lembaga layanan pun mengalami adaptasi yang cukup kompleks dalam menyediakan layanan di masa pandemi. Di awal adanya kebijakan bekerja di rumah, Rifka Annisa menerapkan layanan konseling online. Menurut pengalaman Rifka Annisa, ada beberapa tantangan dalam mengaplikasikan layanan oline. Pertama, bagaimana menyediakan layanan yang aman bagi klien maupun pemberi layanan. Kedua, menyediakan layanan yang efektif, efisien, serta mudah dijangkau oleh klien. Ketiga, bagaimana menyikapi peningkatan jumlah aduan dengan tenaga pendamping yang terbatas, serta mampu memeratakan beban dari pendamping. Keempat, menyediakan sarana prasarana yang memadai untuk kebutuhan layanan online pendamping. Kelima, mempersiapkan keterampilan pendamping selama melakukan layanan online. Keenam, persiapan dan penerapan protokol kesehatan pada kerja-kerja pendampingan yang tidak bisa dilakukan melalui online seperti pembuatan HPP, pemeriksaan di kepolisian, atau layanan penjangkauan bagi dalam situasi kedaruratan.

Terkait protokol kesehatan, Rifka Annisa membuat panduan pencegahan di masa pandemi. Namun, tantangan lainnya adalah membiasakan penerapan protokol kesehatan serta menyediakan sarana pra sarananya. “Pandemi membuat perubahan kebiasaan, termasuk dalam konseling. Misal tidak berjabat tangan dan berpelukan, atau menyentuh klien ketika klien menangis.”

Selain itu hal lain yang perlu pembiasaan adalah pemakaian alat pelindung diri, serta konsistensi dalam menerapkan protokol kesehatan seperti mencuci tangan atau penggunaan hand sanitizer serta disinfektan pada kerja-kerja yang mengharuskan offline. Selain itu persiapan lainnya adalah cek suhu badan serta penyediaan form assessment yang harus diisi klien pada situasi tertentu yang mengharuskan klien mendatangi kantor.

“Di awal penerapan layanan online, Rifka Annisa awalnya hanya mempunyai satu nomor hotline. Kemudian agar beban tidak bertumpuk, satu nomor hotline akhirnya dihubungkan ke beberapa nomor hotline yang dipegang konselor,” jelas Indiah. Keterampilan konselor dalam memberikan tanggapan dalam layanan online juga krusial untuk dipersiapkan. Berbeda dengan layanan konseling tatap muka, layanan konseling melalui telepon berarti tidak bisa melihat ekspresi wajah, sehingga butuh keterampilan untuk membaca ekspresi melalui suara. Belum lagi, satu konselor yang rata-rata mendengarkan telepon kurang lebih 7 jam per hari memerlukan perlu penyesuaian. Belum lagi layanan pemulihan yang berupa terapi juga sulit untuk dilakukan secara online.

Tantangan lain yang cukup serius dihadapi oleh lembaga layanan adalah layanan shelter. Di awal masa pandemi, hampir semua lembaga yang mempunyai layanan shelter belum mempunyai kesiapan sehingga tidak membuka layanannya. Bisa dibayangkan, ketika situasi pandemi dimana kasus tidak berkurang, kebutuhan klien akan shelter tetap mungkin terjadi. Selanjutnya, adanya diskusi di Forum Perlindungan Korban Kekerasan DIY memutuskan bahwa negara harus tetap hadir memberikan layanan, sehingga terbit surat edaran Forum Perlindungan Korban Kekerasan di DIY, yang prinsipnya memberikan himbauan agar layanan harus tetap dibuka, dengan catatan memastikan layanan tersebut aman. Pada umumnya, setiap lembaga layanan shelter milik pemerintah mensyaratkan adanya surat keterangan tidak terpapar COVID-19, di mana pembiayaan dari surat keterangan tersebut masih belum diketahui sumber pendanannya. Meski demikian, Beberapa rumah sakit terutama RSUD sudah bersedia untuk menjadi tempat test dan biaya akan diklaimkan ke Kementerian Kesehatan. Apabila hasilnya positif, maka korban akan mengikuti protokol pasien COVID-19, dan apabila hasilnya negatif akan dikembalikan ke lembaga layanan.

Selain layanan shelter, tantangan lainnya yang dihadapi perempuan koran adalah akses hukum. Tantangan terkait akses layanan hukum yang pernah ditemui di awal pandemi adalah berkaitan dengan respon kepolisian terhadap laporan KDRT. Saat itu, terdapat klien yang mengalami kekerasan yang cukup parah, kemudian lapor ke kantor polisi. Saat di awal-awal masa pandemi, petugas tidak berani mengantarkan visum ke rumah sakit, sehingga klien diminta untuk datang langsung ke rumah sakit. Di saat situasi normal pun, kasus-kasus KDRT masih mendapatkan perhatian yang kurang, terlebih di masa pandemi. Pada akhirnya, kasus tersebut didamaikan di kepolisian, dan klien kembali bersama suami.

Selain kepolisian, hal lain yang berkaitan adalah layanan pengadilan yang berupa layanan online, baik pengadilan pidana maupun perdata. Hal ini memberikan tantangan tersendiri bagi perempuan yang tidak akrab dengan teknologi, karena mulai proses komunikasi dan pendaftaran melalui email pribadi klien. Dalam kondisi klien tidak ada yang membantu, maka proses pendaftaran ini biasa dibantu oleh pendamping. Namun, proses pendampingan itu sendiri juga bukan hal yang mudah, karena baik klien maupun pendamping harus beradaptasi berkomunikasi secara tidak langsung menggunakan ponsel serta internet. 

Dari berbagai tantangan tersebut, ternyata pandemi tidak hanya membuat perempuan lebih rentan di dalam keluarganya, tetapi ketika ia mengalami kekerasan, ia menghadapi tantangan kembali dalam meraih keadilan. Untuk mengatasi tantangan tersebut, dibutuhkan langkah-langkah penyadaran serta peningkatan keterampilan bagi perempuan yang mengakses layanan. Selain itu, di sisi lain laki-laki pun perlu diberikan edukasi cara-cara menghadapi berbagai perubahan situasi di masa pandemi, agar tidak memicu konflik dengan pasangan. Selain itu, untuk tantangan yang menyangkut layanan, perlu kerjasama dan koordinasi berbagai pihak, pemerintah seperti dinas dan rumah sakit daerah, rumah sakit swasta, aparat penegak hukum, serta lembaga pendamping.  

46736783
Today
This Week
This Month
Last Month
All
8476
83912
245150
343878
46736783