Bagaimana Kekerasan Seksual Terjadi di Pondok Pesantren: Refleksi Pendampingan Kasus oleh Rifka Annisa WCC Featured

Written by  Syaima Sabine Fasawwa Tuesday, 21 February 2023 13:28

Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, tidak terkecuali di pondok pesantren yang notabene merupakan lembaga pendidikan. Dilansir dari laman Databoks Indonesia (2022), Komnas Perempuan mencatat bahwa selama periode 2017-2021, kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang terjadi di pondok pesantren merupakan kasus kekerasan tertinggi kedua (16 kasus) setelah lingkup perguruan tinggi (35 kasus).

Pada kasus yang terjadi di lingkup pondok pesantren, ditemukan bahwa mayoritas pelaku menduduki posisi petinggi. Sebagaimana dilaporkan oleh BBC News (2023), pada awal 2023 telah terungkap setidaknya empat kasus kekerasan seksual di pondok pesantren yang berlokasi di Lampung dan Jember dengan mayoritas pelaku adalah ketua atau pimpinan pondok pesantren itu sendiri.

Tidak berbeda dengan kasus kekerasan seksual berupa kasus pencabulan di pondok pesantren yang didampingi oleh Rifka Annisa WCC, pelaku juga merupakan pimpinan lembaga, berusia 59 tahun. Lebih lanjut, pencabulan yang dilakukan berkali-kali sejak 2021 ini dilakukan terhadap santriwati berusia 15 tahun  

Kasus yang inkrah pada pertengahan Januari 2023 ini diproses sejak Februari 2022 ketika dilaporkan oleh orang tua korban setelah korban menceritakan tindakan pelaku kepada keluarganya. Pelaku akhirnya diputus dengan hukuman pidana 8 tahun penjara dan denda 50 juta subsider 2 bulan kurungan. Terhadap putusan kasus ini, juga dikabulkan restitusi (ganti rugi) bagi korban sebesar 16.645.000. Adapun hukuman ini dijatuhkan atas dasar Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) UU Perlindungan Anak (berlaku bagi anak di bawah 18 tahun) yang berbunyi:

Ayat (1), “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 

Ayat (2), “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Di mana keterangan Pasal 76E sebagaimana tercantum pada Pasal 81 Ayat (1) adalah sebagai berikut:

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”

Meski memerlukan waktu lama kurang lebih selama setahun, pendampingan kasus ini dapat menjatuhi hukuman pada pelaku hingga kini pihak terkait tengah menjalani masa pidana. Selaras dengan esensi pendampingan kasus, hal demikian menjadi penting dalam rangka memenuhi rasa keadilan bagi korban.

Perkara Relasi Kuasa dan Budaya Patriarki di dalam Pondok Pesantren

Aspek penting yang perlu menjadi diskursus bersama adalah mengenai bagaimana kasus kekerasan dapat terjadi di pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama, mengingat bahwa agama merupakan hal sakral khususnya bagi masyarakat Indonesia. Ini perlu dipahami dalam rangka pencegahan kasus kekerasan di pondok pesantren. Terlebih antara lain karena justru para pelaku memanfaatkan ilmu agama sebagai kedok yang digunakan untuk melancarkan tindak kekerasannya.

Merespons persoalan kekerasan seksual di pesantren, Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahe’i mengatakan, kasus-kasus kekerasan seksual di pesantren biasanya memiliki karakter sendiri, di mana pelakunya mencari pembenaran atas perilakunya melalui tafsir agama yang keliru. Misalnya, pada kasus di Kabupaten Tulang Bawang Barat, ketua pondok pesantren berinisial AA melecehkan enam santrinya. Tiga orang di antaranya diperkosa dengan dalih mendapat berkah dari Tuhan jika melayaninya. Terlebih, ketika pelaku adalah pimpinan, umumnya merupakan sosok yang dihormati, sehingga korban berpikir ulang untuk melapor (BBC News, 2023). Pada kondisi demikian, tampak bahwa pelaku menyalahgunakan posisinya sebagai alat untuk melakukan kekerasan seksual di pondok pesantren. Status pimpinan di pondok pesantren memungkinkan seseorang memiliki kuasa sedemikian rupa yang membuat santri tidak berdaya. 

Tidak berhenti di situ, dalam lingkungan pondok pesantren juga terdapat prinsip sami’na wa atha’na yang berarti “kami mendengar dan kami patuh”. Prinsip yang dapat dimaknai sebagai konsep ‘kepatuhan total’ ini oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, intelektual muslim yang juga pengamat dan pendidik dalam dunia pendidikan Islam, dikatakan masih menjadi gejala umum di sistem pendidikan di Indonesia (Ayuningtyas, 2021). Prinsip ini mengatur tentang adab yang sebetulnya tidak hanya mengenai adab seorang santri terhadap kyai, tetapi juga anak terhadap orang tua, selama dalam hal kebaikan. 

Pada satu titik, prinsip tersebut membuat anak untuk tidak berpikir kritis. Dengan kata lain, anak diharapkan untuk tidak bertanya macam-macam. Situasi ini yang memunculkan celah bagi kyai untuk menyalahgunakan posisinya. Riset mengenai kekerasan seksual di pesantren menunjukkan bahwa prinsip kepatuhan total tersebut cenderung bersifat mengkultuskan para petinggi pesantren (Pebriaisyah, dkk., 2022), yang mana berpotensi memunculkan relasi tidak sehat dengan santri. Selaras dengan itu, penelitian mengenai pola kekerasan seksual di lingkungan keagamaan menemukan bahwa lembaga agama termasuk pesantren memiliki karakteristik yang lekat dengan kekuasaan serta ketaatan dan penghormatan terhadap figur otoritas, dapat memfasilitasi kemungkinan terjadinya kekerasan seksual (Mcmaster, 2020).

Adapun prinsip kepatuhan total tersebut menjadi modus yang umum bagi pelaku kekerasan seksual di pondok pesantren. Contoh lain dipaparkan pada laman Mubadalah.id (Hidayat, 2022). Salah satunya pada kasus di satu pesantren di Solo pada 2018, di mana petinggi pesantren melakukan modus terhadap santrinya untuk menghafal kitab suci di ruang tertutup dengan melakukan ritual yang disebutnya dengan ‘ritual pembersihan vagina’. Selain itu, juga pada kasus Moch Subchi Azal Tzani (Bechi), anak kandung pengasuh dari salah satu pesantren di Jombang, yang menyebarkan doktrin mengenai vagina sebagai jalan mulia yang tidak boleh dimasuki orang lain kecuali dirinya. Ia juga menggunakan ilmu metafakta (kesaktian untuk menyembuhkan penyakit dan mengabulkan keinginan) sebagai modus dalam melakukan kekerasan seksual.

Di samping itu, langgengnya budaya patriarki di masyarakat turut mendorong terjadinya kasus kekerasan seksual di pondok pesantren. Budaya yang menempatkan laki-laki pada posisi dominan ini mendorong penempatan perempuan termasuk di lingkungan pesantren, berada pada posisi terbelakang. Maka, posisi strategis di pesantren, seperti ketua, pimpinan, atau koordinator pengasuh, hingga sistem pewarisan, secara umum dikhususkan bagi laki-laki. 

Marhumah (Guru Besar ilmu hadis di Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta, juga menemukan bahwa pesantren masih cenderung menyebarkan ketidakadilan gender tersebut dalam pengajaran dan pendidikannya karena kuatnya dominasi peran tokoh sentral pesantren dalam mensosialisasikan nilai-nilai serta ajaran yang bias gender (Sa’dan dalam The Conversation, 2019). Pada gilirannya, ini akan menumbuhkan pola pikir yang sarat ketimpangan gender, yang salah satunya berujung pada pemaknaan bahwa perempuan merupakan objek seksual semata, yang dapat dimanipulasi. Budaya demikian membuat posisi perempuan senantiasa tidak berdaya, atau, memerlukan upaya tersendiri yang lebih keras untuk mencapai kewenangan demikian. 

Apa yang Bisa Dilakukan?

Tidak bisa dipungkiri bahwa persoalan kekerasan seksual di pondok pesantren merupakan permasalahan kompleks. Pasalnya, kekerasan yang terjadi didorong oleh budaya di lingkungan pesantren yang telah lama bergulir dan terinternalisasi sedemikian rupa. 

Pemerhati anak, Retno Listyarti turut menerangkan bahwa tidak sedikit kasus kekerasan seksual di pesantren yang tidak terungkap akibat sistem pesantren yang tertutup. Misalnya, adanya aturan yang melarang para santri menggunakan ponsel (BBC News, 2023).

Situasi demikian membuat perlunya prinsip pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di pesantren yang diyakini serta diimplementasikan bersama oleh berbagai pihak.

Prinsip Pencegahan: Regulasi dan Edukasi

Upaya pencegahan kekerasan seksual di pesantren setidaknya perlu memerhatikan unsur regulasi dan edukasi.

Pada Oktober 2022 lalu, Kementerian Agama akhirnya menerbitkan Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama sebagai respons atas terungkapnya kasus pemerkosaan pimpinan sebuah pondok pesantren di Bandung, Herry Wirawan kepada 13 santriwatinya. Dalam regulasi ini telah diatur mulai dari pelaporan, perlindungan, pendampingan, penindakan, hingga pemulihan korban. Meski demikian, situasinya belum banyak berubah, seperti diungkapkan oleh pemerhati anak Retno Listyarti. Maka, diperlukan sosialisasi yang masif agar regulasi ini dipahami oleh seluruh pihak terkait.

Di samping itu, diperlukan edukasi mengenai keadilan gender serta mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini perlu dipahami terutama oleh para santri untuk mengetahui berbagai bentuk kekerasan berbasis gender dan seksual, kapan harus berkata tidak, hingga mengenai bagaimana menetapkan batasan dengan orang lain demi keamanan diri.

Prinsip Penanganan: Utamakan Esensi Pendampingan Korban

Dalam penanganan, pendamping perlu mengedepankan esensi pendampingan korban yang setidaknya mencakup lima hal berikut: 1) meminimalisir resiko; 2) memulihkan dampak; 3) memenuhi rasa keadilan; 4) mengembalikan keberfungsian hidup, dan; 5) sumber data advokasi kebijakan dan mitigasi.

Sebagaimana pendampingan yang dilakukan oleh Rifka Annisa WCC pada kasus kekerasan seksual di pesantren di Daerah Istimewa Yogyakarta, kelima aspek tersebut menjadi dasar pengambilan tindakan. Adapun dalam mengupayakan tercapainya esensi pendampingan korban, konselor hukum Rifka Annisa WCC mencatat beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai berikut:

  1. Berjejaring

Tidak sendirian, Rifka Annisa WCC bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mencapai esensi pendampingan. Kerja sama di sini diperlukan untuk menciptakan support system yang mampu mengakomodasi segala kebutuhan korban dalam proses pendampingan. Adapun pihak-pihak yang terlibat mencakup pihak pemerintahan, maupun lembaga swadaya masyarakat, antara lain:

  • Dinas Sosial
  • P2T2PA (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak)
  • LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)
  • Kepolisian
  • DP3AP2 (Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk)
  • KemenPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)
  • Forum Pengada Layanan
  • Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
  • KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
  1. Membangun perspektif gender pada seluruh pihak terkait

Dukungan yang baik dari berbagai pihak memerlukan perspektif gender yang baik pula pada pihak-pihak yang terlibat. Maka, upaya edukasi mengenai wawasan gender menjadi perlu  agar penanganan kasus mempertimbangkan sudut pandang korban yang berposisi sebagai anak dan sebagai perempuan.

Berdasarkan catatan Rifka Annisa WCC, salah satu yang menjadi tantangan dalam pendampingan kasus adalah memahamkan dampak yang dialami korban kepada berbagai pihak terkait, baik aparat penegak hukum (APH) dan pihak orang tua korban. Hal ini merupakan tantangan lantaran pemahaman seseorang senantiasa terkait dengan mindset atau pola pikir yang telah lama mengakar, sehingga sulit diubah.

Tidak sedikit penanganan kasus kekerasan seksual yang terhambat karena pandangan APH tidak responsif gender. Masih ingat kasus Yuyun, siswi SMP berusia 14 tahun yang tewas diperkosa oleh 14 pemuda? Dalam kasus tersebut, bahkan Ketua Komisi VIII DPR, Saleh P. Daulay menyalahkan korban karena berjalan sendirian melewati kebun-kebun.

  1. Menerapkan strategi advokasi yang berkelanjutan

Selain pendampingan hukum, penanganan kasus kekerasan seksual juga disertai pendampingan pada aspek: 

  • Psikologis
  • Psikososial
  • Pendidikan (memastikan korban dapat melanjutkan pendidikannya dengan aman dan nyaman)

Hal ini penting dilakukan untuk mengembalikan keberfungsian hidup korban dan terpenuhinya hak korban sebagai anak. Dalam mengupayakan hal tersebut, Rifka Annisa WCC juga melakukan strategi audiensi terutama untuk menjelaskan situasi korban dan dampak yang dialami, termasuk memberikan wawasan terkait pencegahan dan penanganan kasus yang responsif gender.

  1. Memperhatikan keputusan terbaik bagi korban

Segala tindakan yang dilakukan pendamping memerlukan persetujuan (consent) dengan korban dan keluarganya. Pendamping perlu terbuka terhadap suara korban dan keluarganya.

  1. Memastikan putusan dapat berjalan

Berkaitan dengan strategi advokasi yang diterapkan, pendamping juga perlu memastikan bahwa putusan berjalan sebagaimana mestinya, terutama untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban dan memulihkan dampak yang dialami korban.

Berkaca dari pendampingan kasus tersebut, meski memerlukan waktu yang panjang, advokasi kasus yang mengedepankan esensi pendampingan, pada akhirnya dapat berbuah dan berdampak baik pada penegakan hukum, khususnya pada implementasi Undang-Undang Perlindungan Anak.

Selain itu, dapat dipahami bahwa strategi pendampingan juga tidak lepas dari dinamika kasus. Maka, sangat penting untuk mendalami kasus yang sedang didampingi dan menentukan berbagai opsi untuk terlaksananya pendampingan.

Penting juga bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pencegahan kasus kekerasan seksual, terutama untuk berani melaporkan jika mengetahui ada indikasi telah terjadi kekerasan seksual.

 

Referensi

Ayuningtyas, K. (2021). Saatnya Ubah Konsep Kepatuhan ke Pendidikan Berpikir Kritis. Deutsche Welle. Diakses dari: https://www.dw.com/id/pentingnya-pendidikan-berpikir-kritis-di-sekolah-agama/a-60123542

BBC News. (2023). Empat kasus kekerasan seksual oleh pimpinan pesantren di Jember dan Lampung, menanti kesungguhan Kementerian Agama. BBC News Indonesia. Diakses dari: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cjmvzr8x1reo

Hidayat, I. (2022).  5 Penyebab Kekerasan Seksual di Pesantren: Urgensi Peraturan Menteri Agama (PMA) dan Revisi UU Pesantren. Mubadalah.id: Inspirasi Keadilan Relasi. Diakses dari: https://mubadalah.id/5-penyebab-kekerasan-seksual-di-pesantren-urgensi-peraturan-menteri-agama-pma-dan-revisi-uu-pesantren/ 

Jayani, D. H. (2022). Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Terus Terjadi, Ini Datanya. Databoks Indonesia. Diakses dari: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/10/kekerasan-seksual-di-lingkungan-pendidikan-terus-terjadi-ini-datanya

Mcmaster, G. (2020). Researchers reveal patterns of sexual abuse in religious settings. University of Alberta. Diakses dari:  https://www.ualberta.ca/folio/2020/08/researchers-reveal-patterns-of-sexual-abuse-in-religious-settings.html

Pebriansyah, F., dkk. (2022). Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Keagamaan: Relasi Kuasa Kyai terhadap Santri Perempuan di Pesantren. Sosietas Jurnal Pendidikan Sosiologi, 12(1), 1116-1131. Diakses dari: https://ejournal.upi.edu/index.php/sosietas/article/view/48063/19508 

Sa’dan, M. (2019). Riset: 5 cara mengatasi bias gender di pondok pesantren. The Conversation. DIakses dari: https://theconversation.com/riset-5-cara-mengatasi-bias-gender-di-pondok-pesantren-128525

Read 7695 times Last modified on Friday, 28 July 2023 22:34
46736341
Today
This Week
This Month
Last Month
All
8034
83470
244708
343878
46736341