Hari Santri 2022: Momentum Refleksi Pondok Pesantren & Kekerasan Seksual Featured

Written by  Saturday, 22 October 2022 16:06

 

Hari Santri Nasional merujuk pada satu peristiwa bersejarah pada tanggal 22 Oktober  1945  yakni seruan resolusi jihad yang menyatukan antara santri dan ulama untuk sama-sama berjuang mempertahankan Indonesia. Hal tersebut diserukan oleh pahlawan nasional KH. Hasyim Asy’ari. Seruan ini berisikan perintah kepada umat Islam untuk berperang (jihad) melawan tentara sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Republik Indonesia pasca Proklamasi kemerdekaan.Tentu semangat yang dibawa dalam memperingati Hari Santri Nasional adalah semangat kemerdekaan termasuk merdeka dari berbagai jenis kekerasan termasuk kekerasan seksual.

Sepanjang 2015-2021, dari 67 kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan, tercatat bahwa pesantren atau pendidikan berbasis Agama Islam menduduki urutan kedua setelah Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan dengan kasus kekerasan seksual tertinggi. Catahu Komnas Perempuan (2022) mendapati bahwa dalam merespons kasus kekerasan seksual, belum semua lembaga pendidikan memberikan akses keadilan termasuk mendukung pemulihan korban. Masih ditemukan intimidasi, ancaman, dan saran pemaksaan perkawinan dengan pelaku untuk penyelesaian kasus kekerasan seksual.

Dari kasus-kasus kekerasan seksual, hampir semua korban mengalami dampak psikis seperti ketakutan, rasa malu, tertekan, depresi dan trauma. Hal ini disebabkan ketiadaan dukungan dan perlindungan dari pihak pesantren. Hambatan keadilan, ketiadaan perlindungan, dan pemulihan, tidak dapat dilepaskan dari pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan pribadi yang membawa aib dan merusak nama baik lembaga, sehingga berusaha ditutupi agar tidak diketahui publik. 

Berdasarkan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren, didapati pola kekerasan yang sama, yaitu menyangkut relasi kuasa antara pelaku dan korban, dalam hal ini antara santri dengan guru mengaji, ustaz, atau seniornya. Pelaku memanfaatkan jabatan dan statusnya untuk mendapat keuntungan seksual dari korban. Korban memiliki risiko kerentanan berlapis karena berada jauh dari keluarga dan akses perlindungan, dan budaya pesantren yang menuntut santri untuk tunduk kepada senior atau guru. Korban (santri) juga menganggap pelaku sebagai sosok terhormat dan sering menormalisasi tindakan pelaku. 

Pelaku memanfaatkan jabatan, pengaruh, atau statusnya untuk mendapat keuntungan seksual dari kerentanan-kerentanan korban yang notabene tidak memiliki kuasa, serta dalam kondisi terpisah jauh dari keluarga karena tinggal di pondok.  Sementara, para korban menganggap pelaku adalah orang-orang yang akan memberi perlindungan, sebagaimana kasus para santriwati yang masih berstatus anak-anak di Bulukumba dan sebuah pesantren di Jombang yang mempercayai ustaznya sebagai orang baik dan terhormat. 

***

Kasus-kasus kekerasan seksual di pesantren menunjukkan bahwa sejumlah lingkungan pendidikan bukan merupakan ruang aman. Namun, mengapa kekerasan seksual masih terus terjadi di pesantren?

Marhumah (Guru Besar ilmu hadis di Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta, menemukan bahwa pesantren masih cenderung menyebarkan ketidakadilan gender dalam pengajaran dan pendidikannya karena kuatnya dominasi peran tokoh sentral pesantren, yaitu kyai dan nyai dalam mensosialisasikan nilai-nilai serta ajaran yang bias gender (The Conversation, 2019).

Di pesantren, kesetaraan gender masih dipahami sebagai nilai baru yang disuarakan oleh dunia Barat, bahkan dikhawatirkan dapat merusak tradisi yang telah mapan. Hal tersebut pada gilirannya menumbuhkan pola pikir yang sarat ketimpangan gender, yang salah satunya berujung pada pemaknaan bahwa perempuan merupakan objek seksual semata, yang dapat dimanipulasi.

Adapun sebagai lembaga pendidikan, hakikatnya pondok pesantren mampu menjadi lingkungan yang aman dan nyaman bagi setiap orang untuk bertumbuh dan berkembang.

***

Lalu, apa yang bisa dilakukan pondok pesantren dan orang-orang di dalamnya untuk memutus rantai kekerasan seksual? Berikut lima strategi yang bisa digunakan,   oleh peneliti studi gender dan religi, Masthuriyah Sa'dan:

1. Masukkan literatur karya ulama yang memiliki perspektif berkeadilan

2. Advokasi kebijakan kurikulum pesantren

3. Adakan pelatihan penyadaran gender

4. Tekankan konsep kesetaraan, keadilan, dan hak asasi manusia

5. Kembangkan materi pembelajaran pesantren berbasis gender

***

Penting bagi pondok pesantren dan orang-orang di dalamnya untuk mewujudkan pendidikan yang mendorong kesetaraan gender. Pasalnya, pondok pesantren merupakan basis pengembangan ilmu-ilmu keislaman klasik dan modern yang berfungsi sebagai agen perubahan dalam pemberdayaan dan pengembangan umat.

Selamat Hari Santri 22 Oktober 2022!

***

Sumber: 

Catahu Komnas Perempuan (2022)

https://komnasperempuan.go.id/download-file/816

5 cara mengatasi bias gender di pondok pesantren (2019)

https://theconversation.com/riset-5-cara-mengatasi-bias-gender-di-pondok-pesantren-128525

Read 8172 times Last modified on Friday, 28 July 2023 22:45
46735901
Today
This Week
This Month
Last Month
All
7594
83030
244268
343878
46735901