Pandemi Corona mengharuskan orang menjaga jarak. Banyak perusahaan dan institusi pemerintahan meminta pekerjanya untuk bekerja dari rumah, tak terkecuali institusi pendidikan seperti universitas. Beberapa universitas bahkan memutuskan untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar jarak jauh hingga akhir semester genap.
Kebijakan #dirumahaja membuat sebagian orang telah mengubah rutinitasnya. Sebelum Pandemi corona sampai di Indonesia, pagi hari sebagian orang bersiap untuk berangkat bekerja ataupun bersekolah. Kini, berbaring dikasur sambil membuka laptop dengan koneksi internet cukup menjadi definisi baru dalam bekerja. Orang tak perlu berdesak-desakan naik kendaraan umum, atau berlomba-lomba sampai tempat kerja tepat waktu.
Bagi mahasiswa, pagi yang kadang riuh karena harus bersiap kelas tapi semalam begadang dan akhirnya telat bangun pun kini tak lagi ada. Liburnya kegiatan perkuliahan membuat banyak anak perantauan memilih pulang atas nama keadaan yang lebih aman atau terpaksa berdiam diri di kos dengan koneksi internet yang stabil untuk menunjang kelas online yang saat ini gencar digaungkan. Perubahan situasi yang tidak menentu atas kondisi pandemi ini mau tidak merubah semua rutinitas harian dan menimbulkan berbagai kecemasan.
Banyak warung tutup membuat anak kos kesulitan mencari makan. Tak jarang juga mereka merasa kesepian karena harus tinggal sendiri tanpa ada yang bisa diajak sosialisasi. Bagi anak kos yang tinggal sendiri dan terpaksa harus berdiam diri menghabiskan waktu dalam sepetak kamar kondisi #dirumahaja menjadi semakin sulit. Berbagai aktivitas dilakukan anak kos selama berada di dalam kamar untuk menghabiskan waktunya. Menonton film, main game, memasak pun menjadi pelarian dari rasa bosan yang ada. Namun, makin lama hal ini malah menjadi rutinitas yang tak lagi menyenangkan.
Berbagai perkembangan berita yang bertebaran di sosial media pun membuat rasa cemas semakin meningkat. Semakin dilihat semakin stress rasanya. Menurut Novia Dwi Rahmaningsih, Psi., mantan konselor Divisi Pendampingan Rifka Annisa yang saat ini menjadi psikolog P2TP2A Jakarta, “Cemas itu adalah emosi yang sesaat, karena emosi itu sifatnya bergerak, ia akan bërubah seiring dengan perubahan situasi eksternal. Kecemasan itu artinya emosi cemas yang terus menerus dalam jangka waktu tertentu dan sulit diubah meski situasi eksternalnya mungkin sudah berubah”. Novia juga menambahkan jika tanda kecemasan bisa dicek dari pikiran yang terus menerus berpikir negatif ke objek kecemasan.
Dampak dari kecemasan pada tubuh manusia adalah adanya peningkatan respon fisik. Misalnya, otot terasa tegang, ritme nafas dan detak jantung juga akan terpengaruh. Menurut Novia, kecemasan ini dapat kita kelola, tapi memang sulit. Jika merasa butuh bantuan, bisa meminta teman atau tenaga profesional. Saat ini bahkan tersedia layanan psikologi daring, sehingga membuat lebih nyaman untuk berkonsultasi karena identitasnya bisa disembunyikan.
Kecemasan yang disertai banyaknya informasi tentang Covid-19 ini, bahkan juga bisa memicu reaksi psikosomatis, ujar Novia. Ia pun menjelaskan jika psikosomatis itu merupakan tanda tubuh yang tegang sebagai respon stres. Jadi, gejalanya bisa jadi ada, tapi bukan karena sakit gejala fisik. Kalau sumber stresornya dicabut, gejala fisiknya selesai. Stressor sendiri adalah kombinasi situasi eksternal dan respon internal manusia, sehingga meski Covid-19 masih mewabah sampai sekarang, tapi karena respon internalnya diubah dengan pikiran realistis, maka gejala fisiknya hilang. Jadi jika cemas muncul lagi, meski dengan gejala fisik, cek lagi bukti-buktinya. Misal, apakah ketika sempat keluar memakai masker, menjaga jarak, dan apakah kita telah sering cuci tangan? Lalu juga harus terus diingat Covid-19 bisa dilawan dengan imun yang sehat. Jadi, tetap perhatikan makan dan asupan gizi.
Menurut Novia yang juga menjadi psikolog di kawanbicara.id, kita pun perlu melatih diri berpikir dengan data-data yang realistis ketika menghadapi kecemasan, termasuk membuat pikiran alternatif agar bisa terus berpikir positif, tanpa terjerumus toxic positivity. Pikiran alternatif menjadi bagian penting dari pengelolaan diri. Namun, jika tidak dilakukan dengan benar, sangat mungkin pikiran positif tadi menjelma menjadi toxic positivity. Novia menambahkan, jika perbedaan dari toxic positivity dan pikiran alternatif adalah, toxic positivity ada kecenderungan untuk menangkal perasaan. Sehingga, saat proses modifikasi perilaku, tidak berangkat dari kondisi nyata. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar tidak toxic positivity diantaranya adalah kenali, sadari, akui, modifikasi yang tidak adaptif menjadi lebih adaptif.
Perbedaan toxic positivity dengan pikiran alternatif adalah, jika toxic positivity prosesnya langsung ke modifikasi tanpa melihat realita. Sangat penting untuk melatih diri untuk tidak menyangkal perasaan yang tidak nyaman, tapi menerimanya terlebih dahulu. Di saat seperti ini, penerimaan pada situasi yang berubah sangat perlu, sehingga kita mampu beradaptasi pada rutinitas saat ini yang mulai berubah. Berlatih berpikir jujur, dengan bukti-bukti empiris akan sangat membantu meminimalisir kecemasan.
Penulis: Ardelia Karisa | Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.