Tiada henti, badai derita menimpa rumah tanggaku hingga aku jungkir balik menyelesaikannya. Aku menikah dengannya pada tahun 2001. Sejak awal menikah, suamiku adalah seorang pecandu narkoba. Namun aku tetap mencintainya walau ia sempat masuk jeruji besi.
Selepas ia keluar dari penjara, ia sudah tidak menafkahiku dan anak-anaknya secara layak sehingga aku nekad berdagang. Bahkan ia membatasiku dalam bergaul terutama setelah aku mempunyai handphone Android. Ia selalu cemburu padaku karena aku telah memiliki akun facebook dan aku suka aktif like-comment status fb teman-temanku. Dan suamiku menuduhku berselingkuh dengan teman-teman lamaku.
Aku selalu berusaha coba jelaskan fakta sesungguhnya pada suami. Tapi ia tetap tidak percaya. Tiba-tiba, ia mau memaafkanku asal aku mau tidur bersamanya. Memang sudah kewajibanku untuk melayani suami dalam segala hal sepanjang itu adalah baik. Namun, dua hari setelah aku tidur bersamanya tiba-tiba keponakanku dari Jakarta mengirim pesan via WA kepadaku dan menyuruhku untuk melihat facebook suamiku. “Astaga”, aku shok. Aku tak percaya. Aku tak menyangka akan perbuatan suamiku itu. Aku lihat ada beberapa foto telanjangku di facebook-nya yang ia lengkapi dengan kata-kata “tante-tante pelacur dan penipu”. Aku gak bisa bayangin berapa ribu orang yang melihat foto tersebut termasuk keluarga besarku.
Tak hanya di akun fb, bahkan ada nomor tak dikenal yang masuk ke WA-ku dan mengecamku sebagai perempuan tak punya malu. Aku tak mau orang lain berpikir miring tentang aku. Aku pun jelaskan semua itu pada mereka karena aku tak mau hal itu berlanjut. Aku kembali berdialog dengan suamiku di fb dan aku share foto keluargaku di akun fb suamiku. Harapanku, semoga orang lain yang melihat foto-foto itu tahu bahwa aku adalah istri suamiku.
Masalah baru pun datang. Anakku memarahiku karena ada wajahnya di foto keluarga itu. Keluarga besarku semua pun menelponku dan menanyakan apa yang terjadi. Aku sampaikan bahwa aku ingin berpisah dengan suami dan aku ingin melaporkannya ke polisi. Namun, bercerai bukan solusi utama untuk menyelesaikan masalah ini karena pernikahan kami tidak dicatatkan di kantor catatan sipil dan kami hanya menikah di gereja. Aku pun memilih melaporkannya ke POLDA DIY dengan alasan pencemaran nama baik atas cyber crime. Sementara itu, kakak iparku terus menerus membujukku untuk mencabut laporan tersebut. Dan akhirnya, aku pun mencabut laporan itu demi anak dan keluarga. * Sebagaimana diceritakan kepada Purnawati, Relawan Divisi Pendampigan Rifka Annisa.
Dari cerita tersebut kita dapat pembelajaran bahwa kekerasan itu seperti siklus yang berputar. Dan kekerasan ini akan terjadi secara terus menerus ketika siklus atau rantai kekerasan tersebut tidak diputus. []
On Friday June 17th the Management Forum for Women and Children Victims of Violence (local language abbreviation, FPK2PA) gathered at the Village Hall, Ngalang. The event is a regular meeting scheduled in Ngalang whereby FPK2PA groups can learn about violence in the family. FPK2PA feel the need to understand this because in the Ngalang village there is still physical and verbal violence against children such as; cursing, hitting and kicking, and violence in the home. Heni, who served as Chairman of FPK2PA in Ngalang, is currently assisting cases of child violence in the village where he grew up. "According to the current mentoring process, the children are the victims of their parents which impacts the child’s progression in school and the relationships of this child," said Heni.
For Atun who is also a member of the FPK2PA board in Ngalang, working in counselling services, and learning about domestic violence is not easy. For her to talk about personal family experiences is a challenge because of the taboo around this issue.
This initiative is the work of approximately 15 people, starting with a forum on the implementation of the scheduled programs for the next 3 years. In 2016, as the initial program planning, FPK2PA will submit the budget to the village. It is part of the village's commitment to encourage efforts to prevent violence against women and children. This process is also an opportunity to review village legislation in Ngalang, such development has typically been done by women's groups in the villages. They participate in rural development through discussions and educational organizations.
The discussion started with a reflection about the self, about life experiences, past experiences, and any instances of violence from each person present. In this process the participants drew a picture of what they had suffered. One of them, whose name is Lia, the mother of a child who was treated at the village medical clinic. In the paper she was had bruised lips. Images that she created all had a story that she was often angry with her son because her son often annoyed her. "My children constantly ask things of me and it can frustrate me and I can become very angry very quickly," said Lia. Although afterwards she was sorry and felt terribly sad. This experience led her to reflect on not doing it again to her son.
Another story also came from Atun, she drew a hand on the red paper. She told a story of when her son was little and she would always impose her will and desires on him. Atun acknowledge her behaviour has had effects on her son. She also realized what she had done has made her son insecure and decision-making is a difficult task for him. She was sad and sorry about what she had done and admitted this was not good parenting. But now she realizes, that before she was caring out of ignorance. "Now I do not want that to happen again, I implement positive parenting and will encourage my children grow into confident and socializing evolving environment, "said Atun.
The event provides skills and supplies for participants. Furthermore FPK2PA members will continue to visit villages and to share such information to the public. These lessons will also continue to contribute to the strengthening of the capacity of facilitators who will return on 23 to 24 June 2016. Fitri is a facilitator of discussion and shared personal reflection and that itself becomes knowledge that can be discussed. "We can learn from the experience of everyone's life," said Fitri.
Translated by: Emma Hardy
Dua peristiwa terjadi beruntun, dua perempuan kehilangan nyawa, di Yogyakarta yang katanya istimewa. Dua peristiwa ini meneguhkan pernyataan Jaringan Perempuan Yogyakarta di awal 2013 lalu, darurat kekerasan seksual bukanlah sekedar seruan tetapi persoalan yang harus diselesaikan melalui komitmen negara. Kematian seorang mahasiswi saat melahirkan menyentak nuranikita, inikah wajah kemanusiaan kita saat ini? Sedemikian acuhkah kita hari ini? Belum usai duka kita, kemanusiaan kita kembali dikoyak oleh kejadian kekerasan dan pembunuhan perempuan muda.
Media yang semestinya berperan sebagai corong faktual dalam advokasi kekerasan seksual, justru sering melakukan viktimisasi yang tidak mengindahkan kode etik jurnalistik. Dengan penulisan identitas yang jelas dengan penyebutan nama, pemberitaan yang dilakukan secara gamblang melanggar prinsip penghargaan kepada yang sudah mati dan menghilangkan empati pada keluarga korban.
Pemberitaan yang sensasional dan bombastis tidak seharusnya disajikan terutama dalam pemberitaan kedua peristiwa di Yogya belakangan ini. Peran media sebagai sumber berita yang aktual dan faktual tetap penting dan publik harus mampu kritis untuk menjaga peran tersebut berjalan baik.
Di sisi lain, pemerintah yang mempunyai kewenangan pengawasan seringkali lalai melakukan fungsi pengawasannya. Pengawasan publik dan pemerintah terhadap pemberitaan sudah harus bisa mengingatkan dan mengarahkan media untuk bisa melakukan pemberitaan yang lebih berperspektif korban.
Peristiwa tersebut harusnya menjadi lonceng peringatan sekaligus mempertanyakan kembali apa yang terjadi di masyarakat kita. Setidaksensitif itukah kita dan apakah kita akan terus lalai sehingga dua nyawa melayang menggenaskan dan luput dari perhatian kita? Jogja berhati nyaman sudah tidak lagi sejalan dengan realita, seolah kemanusiaan mulai tergerus dalam paradoks pembangunan.
Menyikapi peristiwa ini dan juga pemberitaan yang dilakukan oleh sejumlah media, Jaringan Perempuan Yogyakarta, One Billion Rising, Perempuan Mahardika, dan JPPRT mendesak hal-hal berikut:
1. Kepekaan media dalam memberitakan yang mengedepankan prinsip non diskriminasi dan perlindungan korban, kami menuntut media memberikan koreksi pemberitaan atas berita yang mengabaikan kode etik jurnalistik
2. Komitmen para kepala daerah untuk mengambil sikap dan melakukan aksi nyata pencegahan melalui perluasan informasi dan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi dan perlindungan terhadap perempuan
3. Kami menyerukan kepada masyarakat Yogyakarta untuk menghidupkan kembali kepedulian, rasa saling menghormati, melindungi dan menjaga serta kepekaan sosial terhadap sesama warga-sebagai bagian dari identitas Yogyakarta.
Yogyakarta, 5 Mei 2015
Tepat di hari kamis, tanggal 23 April 2015, seorang bapak sedang bercakap dengan anak laki-lakinya perihal sebuah brosur yang menginfokan tentang khitanan massal. Sang Bapak kemudian mengajak anaknya untuk segera mendaftar khitan ke panitia. Awalnya si anak penasaran, mengapa ia harus dikhitan. “Iya karena kamu laki-laki,” jawab Sang Bapak. Si anak pun bersemangat untuk mengikuti khitanan massal tersebut.
Begitulah sepenggal cerita dari drama yang dipentaskan oleh kelompok remaja laki-laki pada sesi awal kegiatan Youth Camp “Pendidik Sebaya untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak” 23-26 April 2015 di Dusun Tanjung 1, Desa Bleberan, Kec.Playen. Di sesi tersebut, para peserta diajak untuk menceritakan tentang kapan pertama kali mereka menyadari bahwa dirinya laki-laki. Dengan mementaskan drama tentang khitan, kelompok pertama hendak menyampaikan pesan bahwa mereka menyadari dirinya laki-laki yaitu ketika melakukan khitan. Khitan sebagai bagian dari keharusan yang dilakukan laki-laki demi menjaga kebersihan kelamin sekaligus menjalankan perintah agama, menurut peserta.
Peserta lain mengungkapkan dalam puisinya bahwa menjadi laki-laki itu tidak seperti menjadi perempuan. Menjadi laki-laki tak perlu merasakan sakit ketika melahirkan. Laki-laki dan perempuan memiliki organ kelamin yang berbeda sehingga berimplikasi terhadap fungsi organ. Perempuan bisa melahirkan, laki-laki tidak bisa. Sementara dalam kebiasaan sehari-hari, laki-laki dikatakan (harus) kuat, menjadi pemimpin, dan mencari nafkah. Namun, bagaimana jika ada laki-laki yang tidak seperti itu?
Diskusi tersebut membuka sesi tentang bagaimana seks dan gender pada laki-laki. Fitri Indra Harjanti, selaku fasilitator, menjelaskan bahwa setiap laki-laki memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Di masyarakat, laki-laki selalu dilekatkan dengan pelabelan maupun sifat-sifat tertentu. Laki-laki sering terlibat perkelahian, laki-laki dituntut untuk menjadi kuat, laki-laki tak boleh menangis, dan terkadang ketika mengalami persoalan berat pun laki-laki dituntut harus kuat dengan dirinya sendiri.
Seketika seorang peserta meminta perhatian fasilitator dan teman-temannya. Ia menceritakan bagaimana pengalamannya menjadi laki-laki. Begitu susahnya menjadi laki-laki ketika menghadapi persoalan berat dan harus mencari pelarian tapi justru ke hal negatif. Menurut peserta yang tak mau disebutkan namanya ini, ia pernah direhabilitasi karena dulu suka mengonsumsi minuman keras dan obat terlarang. “Para tetangga mencemooh bapak saya,” katanya. Namun, bapaknya tetap menguatkan dengan berpesan bahwa ia tak perlu minder menghadapi hal tersebut. “Dari situ saya sadar. Saya adalah seorang laki-laki yang harus bertanggungjawab apapun yang telah saya lakukan,” tambahnya.
Di kalangan remaja, citra diri dan nilai menjadi laki-laki masih kuat melekat bahwa laki-laki harus seperti itu. Mereka mulai menyadari bahwa laki-laki harus menanggung serentetan tuntutan yang ada di masyarakat. Menjadi laki-laki pun, mereka juga terbebani dengan tuntutan diri maupun tuntutan keluarga. Dan jika tidak bisa, mereka akan dihina, dicemooh, dibulli, dikatakan bahwa mereka bukan laki-laki.
Berbagai opini tentang menjadi laki-laki terungkap di sesi tersebut. Peserta mulai merefleksikan bahwa tidak ada yang lebih mudah maupun lebih sulit tentang menjadi laki-laki dan perempuan. Dari kecil laki-laki sudah terbiasa dengan tuntutan, bahwa laki-laki harus kuat, berani, sedangkan perempuan harus lembut dan penuh kasih sayang. Pemberani, bertanggung jawab dan pekerja keras itu adalah maskulinitas yang positif, yang negative dikembalikan pada diri masing-masing. Akan ada momen dalam hidup yang terkadang mengarahkan kita ke hal negative. Setiap laki-laki diberi pilihan bagaimana mereka merekonstruksi "menjadi laki-laki" ke hal-hal yang lebih positif. Tidak perlu terbebani maupun merasa terancam jika tidak bisa memenuhi tuntutan. Apalagi melakukan kekerasan.
“Sebagai manusia kita banyak emosi, jengkel, marah, cemburu. Ketika suatu saat tumpukan emosi itu keluar, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya berkelahi, mudah marah dan sebagainya,” ungkap Fitri.
"Manusia disebut laki-laki atau perempuan itu secara biologis karena laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina dan rahim. Sementara secara sosial laki-laki dan perempuan bisa berbagi peran dengan yang lain"
Fitri menambahkan, perempuan terkadang bisa lebih ekspresif dan itu dianggap wajar oleh masyarakat. Tetapi kalau laki-laki berbeda. Laki-laki tidak dibiasakan mengekspresikan perasaannya. Akibatnya bisa mengarah ke pelarian yang negatif atau pun berujung kekerasan. Manusia disebut laki-laki atau perempuan itu secara biologis karena laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina dan rahim. Sementara secara sosial laki-laki dan perempuan bisa berbagi peran dengan yang lain, misalnya ketika sudah menikah bisa berbagi tanggung jawab dengan pasangan. Keduanya memiliki sisi feminin dan maskulin, karena itu wajar sebagai manusia.
“Sikap feminin yang dimiliki ayah-ayah kita nanti itu tidak akan menghilangkan sisi kelelakiannya. Ayah kita tetap menjadi laki-laki yang sangat hebat dengan sikap feminin itu,” pungkasnya. (*)