Thursday, 29 February 2024 10:39

Ditulis oleh:

Tri Kurnia Revul Andina

Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial, Hukum, dan Ilmu Politik, Universitas Negeri Yogyakarta

 

Setidaknya 2021 menjadi tahun yang cukup melegakan, sebab Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mulai mengambil langkah tegas untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual di kampus. Langkah tersebut Kemendikbudristek tuangkan dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Sontak hal ini disambut baik khususnya oleh mereka yang sehari-hari bergelut di lapangan sambil terus mempertanyakan komitmen bangsa dalam memerangi kasus kekerasan seksual. 

Bersamaan dengan peraturan tersebut, perguruan tinggi juga didorong untuk membentuk satuan tugas (satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) agar lebih tanggap menangani kasus di lingkup kampusnya. Ketentuan ini diikuti dengan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) guna melengkapi regulasi yang lebih dulu disusun.

Sebelum kebijakan tersebut disahkan dan diimplementasikan, Rifka Annisa Women’s Crisis Center (WCC) telah gencar mengadvokasi kebutuhan pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual di kampus. Kasus kekerasan seksual di kampus tergolong sebagai kasus yang pelik lantaran melibatkan institusi besardi mana nama baik serta citra dipandang jadi taruhannya. Ketiadaan payung hukum yang spesifik dan komprehensif semakin memperuncing ketegangan banyak pihak dan mengakibatkan gesekan kepentingan sulit untuk diredam. 

Tahun 2021 silam, Rifka Annisa WCC yang diwakili oleh Amalia Rizkyarini, Lystianingsih Alfani Putri, Tri Kurnia Revul Andina, Yohana Veronica, dan Abdul Karim Amirullah bekerja sama dengan The Asian-Pasific Research Center for Women (ARROW), Malaysia, melakukan penelitian “Kekerasan Seksual di Kampus di Yogyakarta”. Studi dilakukan untuk memetakan jenis kekerasan seksual yang kerap terjadi dan mengidentifikasi upaya serta peran kampus pada saat itu. 

Tulisan dan data penelitian ini kembali hadir sebagai refleksi atas dinamika kasus dalam kurun waktu tiga tahun sejak riset berlangsung, serta sebagai bentuk kesadaran bahwasanya tugas untuk menghapus kekerasan seksual masih panjang dan berliku.

Yogyakarta Semestinya Aman dan Nyaman, Seperti Slogannya 

Julukan adalah doa dan asa, begitu juga kiranya ketika Yogyakarta disebut berhati nyaman. Banyak muda-mudi pelancong datang ke Yogyakarta, bermaksud mengemban ilmu di universitas-universitas ternama di kota tersebut. Tidak mengherankan jika Yogyakarta sejak lama dinamai kota pelajar sebab memiliki iklim belajar yang menyenangkan. 

Kendati begitu, kenyamanan ini bukan tanpa sisi gelap. Survei pada 19 kampus di Yogyakarta dalam kurun waktu 2010 hingga 2021 ini, menemukan ada 163 korban yang merupakan mahasiswa aktif, baik dari kampus negeri maupun swasta. 

Survei terkait juga menunjukkan bahwa sebagian besar korban (96%) adalah perempuan. Sementara itu, sebagian besar pelaku merupakan civitas kampus laki-laki (94%), baik dari kampus yang sama maupun berbeda dengan korban. Baik berstatus sebagai teman satu angkatan, kakak tingkat, adik tingkat, dosen, karyawan universitas, alumni, teman beda kampus, pacar, dan orang tidak dikenal. Dari segi usia, baik korban maupun pelaku rata-rata berada di usia yang sama, yakni 18 – 24 tahun. 

Hasil ini disajikan bukan untuk mengonfirmasi stigma bahwa korban pasti perempuan dan pelaku pasti laki-laki. Posisi ini jelas bisa bertukar. Namun, fakta menyiratkan bahwa relasi kuasa yang timpang, bekerja di dalamnya. 

Dilihat dari bentuk kekerasannya, yang dialami korban paling banyak adalah pelecehan seksual, diikuti dengan intimidasi seksual, pemerkosaan, pemberian sanksi yang tidak adil pada penyintas, seperti skors karena korban justru dianggap telah berbuat asusila, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, dan pemaksaan kontrasepsi.

Adapun tindak kekerasan seksual tidak hanya terjadi di lingkungan kampus saja sebagaimana dinyatakan oleh 71% responden. Sisanya, menerangkan bahwa kekerasan berlangsung di luar kampus, yakni fasilitas umum, lokasi magang atau kuliah kerja nyata (KKN), rumah dosen, dan tempat tinggal seperti rumah, indekos, apartemen, kontrakan, serta asrama. Penelitian ini juga menemukan bahwa sejumlah korban mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO) lewat aplikasi percakapan, media sosial, dan aplikasi kencan.

Keadilan di Kampus Semoga Bukan Hanya Angan  

Mirisnya, kebanyakan korban tidak melaporkan sama sekali kekerasan seksual yang mereka alami. Korban lebih memilih bercerita kepada temannya, serta membiarkan kekerasan seksual yang menimpanya menguap, meloloskan pelaku dari jerat sanksi. Inilah yang dinamai gunung es, di mana gunung es ini hingga kini belum mampu dilebur, karena stigma masih menghantui serta menjadi salah satu penghalang terbesar. 

Penindaklanjutan kekerasan seksual tak ayal menemui jalan buntu karena stigmatisasi yang menyebabkan korban memilih bungkam. Beberapa melapor pada unit yang tersedia di kampus, tetapi sayangnya, menurut korban, respons sebagian besar kurang tanggap (53%), atau bahkan tidak tanggap sama sekali (21,5%). 

Hanya sekitar 10% yang menilai kampus sangat tanggap dan 16% cukup tanggap. Lebih parah lagi, korban tidak jarang disalahkan (victim-blaming), yang secara tidak langsung memperlihatkan sikap misoginis kampus kepada korban kekerasan seksual. Ironi, perguruan tinggi yang seyogyanya melindungi justru nampak tidak peduli. Benturan kepentingan juga kian mempersulit posisi korban untuk memperoleh keadilan.

Bagaimana dengan Hari Ini? 

Penelitian ini mencatat pula harapan-harapan korban terkait kekerasan seksual di kampus, seperti pendampingan kampus yang konsisten hingga korban mendapatkan keadilan, komitmen kampus untuk menuntaskan segala kasus kekerasan seksual dengan berperspektif korban, dan penyediaan layanan (crisis center) di kampus agar korban dapat segera memperoleh pertolongan. Dengan adanya aturan yang spesifik serta lahirnya satgas PPKS, penghapusan kekerasan seksual di kampus diharapkan selangkah demi selangkah bisa terwujud.

Namun demikian, hingga kini penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi masih bermasalah. Disinyalir, masih banyak kampus yang abai dan tidak responsif terhadap laporan kasus kekerasan seksual meski sudah dibentuk satgas PPKS (BBC, 2023). Minimnya respons ini dikarenakan masih banyak pihak yang kurang memiliki kesadaran akan pentingnya menangani masalah kekerasan seksual di kampus. Hal ini mengakibatkan tim satgas kerap mendapatkan intimidasi dan tekanan, serta tidak memperoleh dukungan operasional. Di samping itu, menurut data terbaru, kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi (Kusumah, 2023). 

Hasil penelitian Rifka Annisa WCC dan ARROW ini kembali diangkat guna memantik ingatan dan kesadaran bahwa perjuangan untuk menghapus kekerasan seksual di perguruan tinggi membutuhkan kerja keras, komitmen, konsistensi, kesabaran, dan kolaborasi semua pihak. Meski setelah riset dilangsungkan sudah terdapat mandat dari pemerintah, tetapi tidak dapat dipungkiri implementasinya masih sukar dilakukan. 

Banyak kendala-kendala di lapangan yang perlu dikaji ulang agar prosedur dan penerapannya dapat dibenahi sesegera mungkin. Sejak lama, penghapusan kekerasan seksual di kampus dianggap sebagai misi yang berat, tetapi bukan mustahil terwujud. Advokasi, intervensi, penelitian, serta pengesahan kebijakan adalah progresivitas yang patut dihargai serta diperhitungkan. Sekarang ataupun nanti, semua tidak boleh kehilangan nyali untuk terus menyuarakan hak-hak korban kekerasan seksual di kampus.

Referensi

BBC (2023, Juli 27). Benar-benar tidak ada ruang aman” – Penindakan dan pendampingan kasus kekerasan seksual di kampus ‘masih bermasalah. Diakses dari: https://www.bbc.com/indonesia/articles/c98pnp5ypevo 

Kusumah, F. A. (2023, Oktober 25). Kemendikbud: kasus kekerasan seksual paling banyak di perguruan tinggi. Diakses dari: https://news.detik.com/berita/d-7000253/kemendikbud-kasus-kekerasan-seksual-paling-banyak-di-perguruan-tinggi

Thursday, 23 July 2020 08:08

Awal Juli lalu, Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengusulkan agar Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dicabut dari daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020[1]. Usulan ini menuai banyak protes dan berbanding terbalik dengan desakan publik yang sejak beberapa tahun lalu menyuarakan agar RUU PKS segerah disahkan.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI menyebutkan alasan dari penarikan RUU PKS ini karena pembahasan yang sulit. Jika boleh membandingkan, lebih sulit mana dengan upaya korban untuk bangkit dari trauma pasca mengalami kekerasan seksual? Salah satu konselor Rifka Annisa, yaitu Siti Darmawati mengatakan bahwa mungkin saja DPR tidak begitu memahami mengenai persoalan di lapangan dan urgensi dari RUU PKS ini. Beliau menilai bahwa jika DPR memahami mengenai persoalan yang terjadi di lapangan, sikap DPR mungkin saja tidak akan seperti saat ini.

Menunda pembahasan RUU PKS berarti juga menunda penegakan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Padahal kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini semakin meningkat dan beragam bentuknya. Sepanjang tahun 2017 hingga 2019, Data dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memuat setidaknya 17.940 kasus kekerasan seksual yang terjadi di seluruh Indonesia. Yang artinya, dalam kurun waktu 3 tahun tersebut terdapat sekitar 16 perempuan yang mengalami kekerasan seksual setiap harinya. Hal tersebut bukanlah sekedar angka statistik, namun belasan ribu manusia yang bernama perempuan di bumi pertiwi ini mengalami berbagai rangkaian kekerasan dan sedang berjuang untuk bangkit dari keterpurukan.

Kasus kekerasan seksual berdampak besar pada korban dan tidak dapat disamakan dengan jenis kekerasan lainnya. Konselor sekaligus Manajer Divisi Pendampingan di Rifka Annisa, Indiah Wahyu Andari, menyatakan bahwa secara psikologis kekerasan seksual menyerang harga diri dan konsep diri korban sehingga korban merasa dirinya kotor, tidak berharga hingga menyalahkan diri sendiri. Hal ini erat kaitannya dengan kecenderungan masyarakat yang menyalahkan korban kekerasan dan memberikan stigma negatif terhadap para korban.

Kekerasan seksual juga memberikan kemungkinan dampak berupa depresi, fobia, dan mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri (Sulistyaningsih & Faturochman, 2002)[2].

Dampak yang dirasakan oleh korban kekerasan seksual nyata adanya dan tidak dapat dilupakan begitu saja. Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang merenggut hak tubuh dan martabat dari seseorang. Proses untuk dapat bangkit dan pulih dari pengalaman kekerasan tersebut tidaklah mudah. Korban kekerasan seksual membutuhkan proses panjang untuk dapat kembali menerima dirinya secara utuh dan berdamai dengan pengalaman yang tidak menyenangkan tesebut. Para korban membutuhkan upaya penanganan yang serius terhadap kasus yang dialami.

Oleh karena itu, dengan data angka kekerasan seksual yang tinggi, negara wajib hadir untuk menanggulangi permasalahan kekerasan ini, termasuk para anggota DPR. Forum Pengada Layanan (FPL) menyatakan bahwa upaya pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual terkendala karena tidak ada payung hukum yang memadai. Oleh karena itu, RUU PKS hadir sebagai lex specialis yang mengatur segala aspek mengenai kekerasan seksual, mulai dari pencegahan, perlindungan kepada korban hingga upaya rehabilitasi yang merupakan hak mutlak korban kekerasan. Upaya komprehensif diperlukan untuk mengatasi kasus kekerasan seksual yang semakin hari situasinya semakin darurat.

Melihat dampak yang dirasakan oleh korban dan semakin meningkatnya kasus kekerasan seksual, pengesahan RUU PKS harus segera dilakukan sebagai bentuk komitmen negara untuk melindungi warga negaranya sebagaimana amanat yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Trauma yang dirasakan oleh korban kekerasan seksual nyata adanya. Teruntuk para wakil rakyat yang terhormat, apakah masih ingin menunggu ribuan perempuan lain mengalami kekerasan seksual tiap harinya? Atau di tahun-tahun berikutnya sehingga RUU PKS bisa ditarik kembali dari Prolegnas? Pertanyaan terakhir dari saya yang juga seorang perempuan, apakah puluhan ribu data perempuan yang mengalami kekerasan seksual hanya sekedar angka statistik dan bukan merupakan prioritas yang penting untuk ditangani?

Referensi: 

[1] Nasional.kompas.com (2020, 5 Juli). RUU PKS Ditarik dari Prolegnas Prioritas di Saat Tingginya Kasus Kekerasan Seksual. Diakses pada 15 Juli 2020, dari https://nasional.kompas.com/read/2020/07/05/22540701/ruu-pks-ditarik-dari-prolegnas-prioritas-di-saat-tingginya-kasus-kekerasan?page=all

[2] Fu’ady, M. A. (2011). Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi. Psikoislamika : Jurnal Psikologi Dan Psikologi Islam, 8(2), 191–208. https://doi.org/10.18860/psi.v0i0.1553

Monday, 30 July 2018 14:48

Hampir setiap minggu ada berita mengenai kasus pencabulan atau perkosaan terhadap anak-anak di Indonesia. Di sisi lain, tidak ada upaya berarti untuk menanggulanginya.

Hari Kamis, 19 Juli malam, aparat polisi dari Kepolisian Sektor Playen, Gunungkidul, DI Yogyakarta menangkap AS, kakek berumur 63 tahun. Lelaki tua itu dilaporkan oleh keluarga besarnya, karena mencabuli keponakannya yang baru berumur 15 tahun dan menyandang disabilitas. Modusnya dengan mengiming-imingi korban uang Rp 2.000. Guru tempat anak itu sekolah yang pertama kali curiga dengan perubahan fisiknya, dan kemudian membawanya ke layanan kesehatan untuk diperiksa.

“Korban awalnya tidak mau terbuka, tetapi setelah didesak akhirnya mengaku. Pelaku juga sudah mengakui perbuatannya,” kata Kanitreskrim Polsek Playen, Iptu Suryanto.

Awal Juli lalu, polisi di Bantul, Yogyakarta baru selesai menyusun berkas pemeriksaan seorang kepala dusun yang memperkosa anak berumur sembilan tahun. Berkas perkaranya masuk ke pengadilan pekan lalu, dan dalam beberapa hari ke depan sidang perdana kasus ini akan digelar. Pelaku adalah teman baik ayah korban, dan merupakan tokoh masyarakat. Kasus terungkap setelah korban kesakitan ketika buang air kecil. Tindakan keji dilakukan pelaku beberapa kali, di kebun, tambak udang dan juga di rumahnya.

Februari lalu, PN Bantul memvonis 10 tahun penjara seorang guru sekolah menengah pertama karena berulang kali mencabuli siswinya sendiri. Anak yang bahkan belum menginjak 15 tahun itu akhirnya hamil dan melahirkan. Tak mau melanjutkan sekolah, dia kini mengasuh anaknya yang berumur lima bulan dengan bantuan penuh dari ibunya.

Rentetan kasus itu tidak hanya terjadi di Yogyakarta. Kasus pencabulan dan perkosaan terhadap anak merata terjadi di seluruh Indonesia. Dalam sejumlah kasus, pelakunya bahkan tidak hanya satu, tetapi sekelompok anak sebaya. Entah satu atau lebih pelakunya, selalu ada hubungan antara pelaku dan korban, entah saudara, guru atau pacar.Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukkan, ada 218 kasus kekerasan seksual anak pada 2015, kemudian 120 kasus pada 2016, dan 116 kasus di 2017.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Suprapto menilai, anak-anak sering menjadi korban karena pelaku memandang mereka sebagai target yang mudah. Di samping itu, anak-anak di Indonesia tumbuh dalam ajaran kedekatan sosial yang hangat. Ada anggapan bahwa semua orang cenderung baik dan tidak berpotensi melakukan kejahatan. Karena itu, anak-anak percaya kepada saudara, guru atau kawan dekat.

“Lihat saja, dalam budaya kita, kepercayaan terhadap saudara, tetangga, guru itu kan besar sekali. Bayi digendong orang lain itu wajar. Nah, itu yang membuat anak-anak tidak bisa merespons dengan baik bahwa ada tindakan yang berpotensi ke arah kekerasan seksual,” kata Suprapto.

Dosen yang juga peneliti di Pusat Studi Wanita UGM ini juga sudah menyusun sebuah panduan merespons kekerasan seksual, yang dapat digunakan oleh remaja, guru, hingga pemerintah. Dia menekankan pendidikan kesehatan reproduksi sebagai salah satu jalan keluar menekan angka kejahatan ini.

“Di Indonesia itu masih dianggap tabu untuk memberikan penjelasan atau pemahaman kepada anak mengenai seks, sehingga anak menjadi tidak terlalu paham ketika mendapatkan materi-materi atau tanda-tanda terkait tindakan yang mengarah ke kekerasan seksual dan sebagainya. Anak menjadi terlalu positive thinking, menjadi tidak siap untuk menghadapi perilaku orang dewasa. Karena itu pemahaman mengenai seks penting agar mereka sensitif ketika ada hal-hal yang mengarah ke tindakan itu,” kata Suprapto.

Triantono, peneliti dari Rifka Annisa mengakui, rentetan kasus pencabulan dan perkosaan anak seperti peringatan yang tidak pernah didengar pemerintah dan lembaga pemangku kebijakan. Rifka Annisa adalah lembaga yang berkomitmen pada upaya-upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan dan berpusat di Yogyakarta.

Triantono mengambil salah satu contoh macetnya pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak jelas juntrungannya di DPR. Pemerintah seolah tidak memiliki sudut pandang, bahwa masalah kekerasan seksual terutama kepada anak adalah persoalan begitu besar. Indonesia terlalu sibuk membahas pembangunan fisik yang seolah prioritas yang lebih penting dibandingkan dengan soal-soal kekerasan seksual.

“Pemerintah terkesan reaktif, pasca beberapa kejadian kekerasan seksual terhadap anak. Tetapi solusi pemerintah sejauh ini tidak menyelesaikan masalah, tidak berkelanjutan dan tidak komprehensif. Isu-isu terkait kekerasan seksual anak itu terpinggirkan dibandingkan dengan isu yang lain,” kata Triantono.

Prinsipnya, kata Tri, anak harus dilindungi, bahkan mereka yang menjadi pelaku aksi kekerasan seksual terhadap anak yang lain. Maka solusi yang harus ditawarkan adalah solusi edukatif. Pemerintah harus mengupayakan tidak ada tindakan lebih lanjut dari pelaku yang sama, atau tindakan “balas dendam” dari korban kepada anak yang lain.

“Sistem hukum kita tidak sampai ke sana. Sistem hukum kita sampai sekarang hanya berbicara soal, jika ada kasus kekerasan seksual anak, baik dilakukan anak atau orang dewasa, maka implikasinya adalah bagaimana menghukum pelakunya. Tetapi tidak membicarakan bagaimana proses rehabilitasi pelaku dan yang lebih penting adalah pemulihan yang tuntas kepada korban,” jelas Triantono.

Dalam kasus kekerasan seksual, kata Tri, rehabilitasi penting karena dalam kasus kekerasan seksual kepada anak, pelaku memandang anak-anak sebagai objek seksual bagi kepuasan dirinya. Penjara tidak menyembuhkan kecenderungan ini, karena terbukti banyak pelaku lebih ganas setelah selesai dari pemidanaan.

Triantono menilai, Indonesia tidak kekurangan lembaga terkait isu ini. Namun sejauh ini belum ada jalinan kerja sama yang erat, baik antar-lembaga pemerintah maupun lembaga pemerintah dengan LSM. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah yang penting untuk diselesaikan, di tengah kebuntuan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. “Karena pemerintah dan DPR tidak memiliki semangat yang sama dengan kita dalam isu ini,” lanjutnya. [ns/lt]

 

Sumber berita: VOA Indonesia

 

 

Tuesday, 22 May 2018 15:00

Kekerasan seksual masih menjadi masalah yang serius di lingkungan kampus maupun di institusi pendidikan lainnya. Laporan Divisi Pendampingan Rifka Annisa Women's Crisis Center menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2000-2016, terdapat 51 aduan perempuan mengalami kekerasan seksual (pelecehan seksual dan perkosaan) di institusi pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagian besar pelaku dari kekerasan seksual tersebut adalah para pengajar atau orang yang memiliki posisi strategis maupun pengaruh misalnya dosen, guru atau staf akademik.

Kekerasan seksual selalu mengarah pada penyalahgunaan kuasa dimana seseorang yang memiliki posisi/kuasa yang lebih tinggi memaksakan kehendaknya pada orang lain yang posisi/kuasanya lebih rendah. Faktor relasi kuasa ini sangat jelas berkontribusi dalam terjadinya kekerasan seksual, namun tidak banyak orang menyadari tentang hal ini. Adanya relasi kuasa yang timpang sangat rentan menjadi peluang terjadinya kekerasan seksual dimana setelah kejadian penyintas cenderung tidak melaporkan atau memproses lebih lanjut kejadian yang dialaminya.

Terlebih untuk meminta pertolongan saja penyintas enggan karena mempertimbangkan bagaimana anggapan publik terhadapnya, bagaimana nasib dia sebagai mahasiswa atau pun menganggap bahwa melapor sama halnya dengan membuka aib diri sendiri. Belum lagi jika dalam kasus tertentu muncul intimidasi dan ancaman dari pelaku, sehingga korban terpaksa menutup diri dan takut untuk memproses lebih lanjut. Keengganan penyintas untuk memproses lebih lanjut juga disebabkan karena sistem pelaporan dan perujukan yang menjamin keamanan dan kerahasiaan belum tersedia.

Terkadang kita tidak menyadari bagaimana relasi kuasa ini bekerja. Mari kita perhatikan perumpamaan berikut.

A dan B adalah sama-sama mahasiswa semester 2 di sebuah perguruan tinggi. C adalah dosen mereka. Suatu hari A sedang berjalan dengan asyik bermain handphone (HP) barunya. Sementara B sedang berjalan dan menyenggol A sehingga HP-nya jatuh dan pecah. Kira-kira reaksi dan respon apa yang diberikan A ke B? A kesal, marah-marah ke B dan tanpa pikir panjang meminta B untuk segera mengganti HP barunya itu. Bahkan A  juga menjelek-jelekkan si B ke orang lain.

Suatu ketika jika dalam kasus yang sama bukan B yang menyenggol A, tapi C yang notabene adalah dosen mereka. Apakah tindakan A akan sama ke C atau berbeda? Mungkin A juga kesal dan sangat marah, tapi tindakan yang ia lakukan berbeda. Ia akan mempertimbangkan mana mungkin ia marah-marah ke dosennya sehingga bisa jadi ia malah bingung sendiri. A mungkin tidak berani menyampaikan kepada dosen agar segera mengganti, malah menunggu si dosen agar berinisiatif untuk bertanggung jawab.

Kasus diatas secara sederhana menunjukkan bagaimana relasi kuasa bekerja, bagaimana dampak yang dihasilkan berbeda oleh relasi yang berbeda dan bagaimana tindakan yang dipilih penyintas. Jika yang melakukan orang yang memiliki posisi/kuasa lebih tinggi, penyintas akan memilih untuk pasif, bingung, dan banyak kendala psikis maupun sosial dalam merespon kejadian tersebut.

Beberapa Modus

Berdasarkan pengalaman pendampingan Rifka Annisa untuk korban kekerasan seksual dengan pelaku oknum dosen dan sebagian besar laki-laki, kuasa yang digunakan pelaku bukanlah berupa intimidasi atau pun ancaman. Biasanya pelaku telah melakukan pendekatan untuk membangun relasi yang nyaman. Hal itu dilakukan agar terjalin kedekatan emosional.

Selain itu, pelaku biasanya mendekati korban melalui cara lain yaitu dengan memberikan janji, tawaran atau bantuan. Dalam situasi tertentu, sebenarnya korban sudah merasa ada hal-hal yang aneh terkait permintaan pelaku. Korban juga sudah curiga tetapi karena kedekatan emosi dan hubungan yang telah dibangun membuat korban jadi sulit menolak. Situasi ini semakin sulit bagi korban manakala harus menghadapi hambatan psikologis lain misalnya takut nilainya jelek kalau menolak atau merasa tidak enak karena adanya kebaikan yang pernah diberikan.

Dalam buku Sexual Assault in Context: Teaching College Men about Gender, Christoper Kilmartin (2001) menjelaskan bahwa kebanyakan kasus kekerasan seksual bukanlah hasil dari kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Kekerasan seksual terjadi bukan karena unsur ketidaksengajaan, khilaf atau pun kejadian tiba-tiba. Kekerasan seksual lebih merupakan sesuatu yang terjadi karena direncanakan dan pelaku sangat sadar sekali bahwa dirinya memiliki kuasa, kesempatan serta pembacaan terkait situasi korbannya. Bahkan mereka mengetahui dan menganggap bahwa korban tidak akan menolak atau pun bercerita ke orang lain atas kejadian yang dialaminya. Tak segan, pelaku bahkan melontarkan ancaman atau intimidasi jika korban berniat melaporkan kejadian tersebut.

Modus dengan ancaman atau intimidasi langsung ini tidak lebih banyak daripada modus pelaku yang memanfaatkan bujuk rayu maupun kedekatan dengan korban. Bujuk rayu, memanfaatkan kedekatan maupun ketergantungan justru dilihat lebih berbahaya karena korban tidak langsung menyadari bahwa apa yang dilakukan itu adalah kekerasan. Dari situasi itulah, pelaku seolah mendapatkan peluang untuk melakukan kekerasan seksual.

Mekanisme Perlindungan

Kebanyakan kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus tidak dilaporkan dan tidak tertangani karena korban memilih diam. Rifka Annisa mengamati bahwa selama ini kebanyakan institusi pendidikan khususnya perguruan tinggi belum memiliki sistem untuk perlindungan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang menjamin perlindungan, kerahasiaan dan keamanan korban.

Oleh karena itu, kampus perlu memiliki sistem penanganan dan perlindungan korban meliputi kode etik maupun kebijakan terkait kekerasan seksual, mekanisme pelaporan dan hotline, pendokumentasian kasus, pendampingan psikologis, pendampingan hukum, serta mekanisme dan jaringan untuk perujukan. Selain itu, upaya pencegahan perlu dilakukan secara terus menerus dan melibatkan banyak pihak. Meningkatkan kesadaran akan kekerasan seksual sekaligus mengupayakan layanan-layanan yang bisa diakses oleh korban. Semoga dengan begitu, kampus bisa menjadi tempat yang lebih aman dan nyaman bagi semua pihak khususnya perempuan.

-----------------------

*Tulisan ini pernah dimuat di Rifka Media edisi 66 Agustus-Oktober 2016

Penulis: 

Defirentia One M

Program Development Officer - Rifka Annisa

46309931
Today
This Week
This Month
Last Month
All
10880
55619
162176
306641
46309931