Yogyakarta-Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMPPA) menyelenggarakan Workshop Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) di 14 Kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta. Termasuk di dalamnya Kecamatan Kraton dan Kecamatan Gondokusuman, yang dilaksanakan pada hari Selasa (25/6) di Pendapa Kecamatan Kraton dan Gondokusuman. Pembicara atau narasumber dalam workshop PTPPO ini yakni, Tiwuk Lejar Sayekti sebagai Manajer Internal Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rifka Annisa.
“Workshop ini merupakan salah satu rangkaian roadshow yang dilakukan oleh DPMPPA, didalamnya terdapat kampanye Three Ends (3 akhiri) yakni, akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan manusia, dan akhir kesenjangan ekonomi”, ungkap Indra staf DPMPPA.
Tujuan dilaksanakannya workshop PTPPO ini untuk melaksanakan perlindungan (pencegahan, penanganan, dan pemberdayaan) bagi korban tindak pidana perdagangan orang berdasarkan pengalaman baik (good practices) yang telah dilakukan selama ini dan penguatan komitmen untuk pemberantasan TPPO.
Dalam rencana strategis Pemerintah Kota Yogyakarta mengakui dan menetapkan isu gender sebagai bagian dari pembangunan. Oleh karena itu Pemerintah Kota Yogyakarta menetapkan sasaran pembangunan melalui program affirmasi kepada lima kelompok rentan yaitu, perempuan, anak, lansia, difabel, dan orang miskin. Workshop ini menjadi pelaksanaan kegiatan perlindungan kepada lima kelompok rentan tersebut terutama perempuan dan anak.
Merujuk pada UU 21 Tahun 2007, “Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan atau posisi rentan, penculikan, penyekapan, pemalsuan atau penipuan, penyalahguanaan kekuasaan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan mengeksplotasi orang tersebut.”
“Selama ini bahwa kasus perdagangan manusia itu tidak terlepas dari adanya kasus perdagangan secara seksual juga. Apabila kita bicara angka paling besar terdapat di India, mayoritas terjadi pada perempuan, dan tidak hanyak orang dewasa saja namun juga melibatkan anak-anak. Sekitar 80 ribu anak di Indonesia dalam pertahunnya, dijual untuk tujuan seks komersial,” jelas Tiwuk.
Workshop ini menyasar sekitar 60 orang yang terdiri beberapa perwakilan dari PKK, LPMK, Babinkamtibmas, Babinsa, Fasilitator PKH, PSM, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, KUA, Lurah, dan Kecamatan.
(Ayu Aprilia Sari)
Yogyakarta-Rabu (27/6), Rifka Annisa mengadakan Diskusi Kelas Ibu yang diselenggarakan di Dusun Cekel, Desa Jetis, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. Diskusi ini menggandeng Ibu-ibu pasangan muda Dusun Cekel dan Fasilitator Komunitas Desa Jetis yang beberapa diantaranya merupakan anggota Forum Perlindungan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak (FPK2PA) Desa Jetis. Tema “Menjadi Perempuan” diambil dalam diskusi ini untuk meningkatkan ibu-ibu agar bangga terhadap dirinya sebagai perempuan, sehingga ibu-ibu dapat lebih percaya diri.
“Apa yang diharapkan di diskusi menjadi perempuan ini adalah dia (red-ibu-ibu) bangga terhadap dirinya, sebenernya kalau perempuan kan awalnya dianggap sebagai istilahnya kanca wingking atau menjadi teman belakang, dia berada di domestik seperti itu”, ungkap Irmaningsih Pudyastuti yang merupakan organisator komunitas Desa Jetis dari Rifka Annisa
Lebih lanjut irma mengatakan, “Salah satu Ibu-ibu mengatakan bahwa sebenarnya bekerja di rumah sama seperti kita bekerja di luar rumah. Sama-sama melakukan aktivitas. Jadi, yang perlu ditumbuhkan adalah memunculkan rasa percaya diri pada ibu-ibu.”
Agenda diskusi diawali dengan mengulas diskusi sebelumnya yang ditujukan untuk mengidentifikasi tema-tema diskusi yang akan datang, dan diakhiri syawalan beserta makan bersama dengan peserta diskusi. Dalam diskusi kali ini ibu-ibu pasangan muda Dusun Cekel dibagi menjadi 3 kelompok yang nantinya menjawab pertanyaan berbeda-beda dengan didampingi fasilitator komunitas. Pertanyaan tersebut yakni, apa yang membuatmu bangga sebagai perempuan, kapan anda menyadari sebagai perempuan, dan apa perbedaan laki-laki dan perempuan.
Terkait perbedaan pekerjaan Fitri Indra Harjanti yang merupakan perwakilan dari Rugers WPF menanggapi, “Sebenarnya masalahnya itu kurang menghargai, bahkan oleh kita sendiri yang melakukannya. Kita sendiri masih belum menghargai apa yang kita lakukan. Sebenarnya semua pekerjaan itu sama, baik di luar maupun di rumah”, ujar Fitri
Fitri berharap dalam rumah tangga apapun pekerjaannya harus saling menghargai satu sama lain, baik pekerjaan diluar rumah maupun pekerjaan rumah tangga. “Sehingga apabila ada bapak-bapak yang juga bekerja di rumah pun harus dihargai. Tujuannya mecari nafkah dan mengurus rumah tangga itu sama pentingnya. Yang melakukan juga siapa aja, bisa laki-laki dan bisa perempuan tergantung pembagian dalam rumah tangga”, imbuhnya.
(Ayu Aprilia Sari)
Open Recruitment Rifka Annisa
1 (satu) orang staf Community Organizer
Sebelum mendaftar, ingatlah bahwa pendaftar bersedia untuk:
PERSYARATAN STAF COMMUNITY ORGANIZER
Gambaran Tugas:
Melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, kelompok perempuan, dan remaja melalui penyelenggaraan kelas-kelas diskusi, serta melakukan kerjasama dan koordinasi dengan pemerintah setempat serta KUA.
Persyaratan :
Informasi lebih lanjut bisa ditanyakan melalui email ke This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. atau datang langsung ke Rifka Annisa, Jln. Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah Yogyakarta.
Open Recruitment ini dibuka mulai tanggal 8 Juli - 18 Juli 2019, atau jika kami sudah mendapatkan kandidat yang memenuhi kriteria kami.
Selamat mendaftar!
JOB DICK CALON CO HINGGA DESEMBER 2019
Rifka Annisa in collaboration with UNFPA conducted a study in three NTT (East Nusa Tenggara) districts (Alor, Manggarai, TTS), one city (Kupang), and four districts in Papua (Jayapura, Keerom, Jayawijaya, Merauke). This research was conducted in August 2011 for approximately twenty days. The agencies involved in this study included the police (personnel, police stations, police offices), the Centre for Women and Children’s Services, NGOs, marriage counseling and divorce settlement bodies, Organization for Religion, health centres, hospitals, Organization for Social Development and Children’s Health, and each province’s office of marriage regulations. The results have been positive, for the efforts have helped in execution of preferred family and customary laws by victims and local service agencies. Unfortunately there has not yet been a mechanism set in place to assist with the application of customary law into positive law enforcement protocol. Policymaking efforts are weak in addressing violence against women and children. In some areas, women's empowerment organizations have still not incorporated certain policies and therefore negatively influence coordination efforts. Conclusions drawn from this study emphasize the importance of building inter-agency synergy between existing services and organizations in order to provide the necessary resources and facilities for victims.