Resolusi Konflik dalam Hubungan Romantis

Written by  Tri Kurnia Revul Andina Monday, 27 July 2020 14:58

Beberapa waktu lalu, jagat maya dihebohkan dengan adu argumen antara Maudy Ayunda dengan seorang lelaki yang diduga kekasihnya saat sedang live Instagram. Kejadian ini pun sempat jadi trending topic di media sosial Twitter. Publik menduga bahwa Maudy tidak sengaja menyalakan fitur live Instagramnya sehingga percakapan keduanya dapat didengar oleh khalayak luas. Adu argumen tersebut berlangsung cukup lama dan intens. Jika diperhatikan secara seksama, perdebatan antara keduanya menyangkut persoalan komunikasi dan juga keinginan untuk saling diperhatikan. Kejadian ini direspon oleh warganet dengan berbagai tanggapan. Ada yang menjadikannya meme, ada juga yang berkomentar jenaka, contohnya “Maudy Ayunda berantem se-Indonesia berasa listening test”, cuitan salah satu pengguna Twitter @notwilona karena selama live, Maudy dan lawan bicaranya aktif menggunakan bahasa inggris. Tak jarang pula, ada yang berusaha mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut seperti yang ditulis oleh akun @romiyooo di Twitter, “Maudy Ayunda berantem sama pacarnya ternyata permasalahannya yang kayak orang-orang pada umumnya ya. Berantem karena salah satu cuek. Berantem karena salah satu sering ngambek. Sepinter apapun lu, masalah relationship gak jauh dari komunikasi”.

Berkaca dari apa yang dialami oleh Maudy dan orang yang kemungkinan besar adalah kekasihnya, bisa dikatakan hubungan romantis tidaklah lepas dari suatu konflik, kecil maupun besar. Embel-embel kata “romantis” pada hubungan dua orang yang didasari rasa saling mengasihi tidak serta merta membuat hubungan tersebut bebas dari segala bentuk konflik. Seiring bertumbuhnya individu dan berprosesnya sebuah hubungan romantis, konflik dapat sewaktu-waktu muncul dalam proses tersebut.

Lantas, bagaimana seharusnya konflik dimaknai dan bagaimana beresolusi sehat agar tak berujung pada kekerasan?

Konflik Dihadapi dan Diterima Keberadaannya

Konflik adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan setiap orang, terutama mereka yang hidup bersama dalam hubungan kencan, intim, dan pernikahan.[1] Bahkan pasangan yang paling berbahagia sekalipun mengalami konflik dan masalah dalam hubungannya.[2] Penyebab konflik bisa bermacam-macam, misalnya persoalan finansial, keluarga, atau masalah pribadi seperti nilai yang dianut, ekspektasi, tujuan hidup, atau bisa juga tentang alokasi waktu dalam hubungan, dukungan yang diberikan kepada pasangan, dan komunikasi. Pasangan tetaplah dua individu yang berbeda, berbeda latar belakang maupun kepribadian sehingga faktor-faktor tersebut sangat mungkin terjadi selama hubungan berlangsung. Meskipun demikian, konflik hendaknya tidak dipandang sebagai ancaman dan hambatan dalam mengarungi sebuah hubungan, justru konflik akan menguatkan jika diselesaikan dengan bijak.

Amalia Rizkyarini, konselor psikologi Rifka Annisa menjelaskan bahwa konflik sangat normal terjadi ketika dua orang menjalin relasi. Konflik adalah satu bentuk ketegangan alami antar kedua belah pihak dan harus diterima sebagai bagian dari sebuah hubungan. Perbedaan diterima dengan besar hati sebab berbeda bukanlah suatu masalah. Amalia juga menekankan, alih-alih dianggap momok, konflik harusnya dimaknai sebagai suatu pelajaran dan kesempatan untuk memetakan masalah, berefleksi, mencari solusi, dan mengambil langkah. Inilah yang perlu disadari oleh pihak-pihak yang terlibat konflik dalam hubungan romantis. Senada dengan Amalia, Irmaningsih Pudyastuti selaku staf Divisi Pengorganisasian Masyarakat dan Advokasi (DPMA) Rifka Annisa mengungkapkan bahwa konflik adalah satu bentuk siklus yang wajar terjadi dalam sebuah hubungan. Justru hubungan yang tidak pernah berkonflik itulah yang patut dipertanyakan karena pemikiran dua orang tidak akan selalu sama. Irma menambahkan, konflik semestinya tidak dibiarkan begitu saja walaupun kecil. Konflik harus dicari penyebabnya, dan yang paling penting adalah pengakuan dan penerimaan akan konflik itu sendiri. Kesadaran yang dibarengi dengan penerimaan atas eksistensi konflik merupakan awal yang baik untuk mencari jalan keluar dari konflik.

Konflik Diekspresikan secara Positif dan dengan Pendekatan Solutif

Saat konflik memanas, kedua belah pihak biasanya dilingkupi emosi negatif seperti marah, sedih, ataupun kecewa. Ketika itu juga, mereka dihadapkan pada beragam pilihan, haruskah bersikap afirmatif, defensif, atau bahkan reaksioner. Konflik yang direspon secara tergesa-gesa serta enggan memahami satu sama lain akan meningkatkan ketidakpuasan dan cenderung merusak hubungan. Kurdek[3] menjelaskan bahwa pola konflik yang tidak efektif dan negatif dalam hubungan ditandai dengan mendebatkan persoalan yang sama terus menerus, mengakhiri argumen tanpa menemukan solusinya, dan mengakhiri argumen tanpa ada pihak yang merasa memperoleh keadilan. Dalam batas-batas tertentu, konflik dalam proses interaksi antarindividu menjadi sesuatu yang wajar, akan tetapi hal ini menjadi tidak wajar apabila konflik memunculkan kekerasan[4]. Sebetulnya jika mau berpikir jernih, konflik ini bisa dijadikan bahan refleksi. Artinya, kedua pihak berusaha memposisikan diri, mengenali tanda-tanda konflik, menarik diri sejenak, lalu berdiam memikirkan apa yang harus dilakukan. Jeda waktu itu penting untuk menentukan langkah-langkah positif daripada melakukan kekerasan.

Konflik tidak perlu diekspresikan secara berlebihan apalagi dengan tindak kekerasan, melainkan banyak metode untuk mengatasi konflik, termasuk mengambil jeda. Ketika konflik terjadi, terlebih dahulu mengambil jeda dan menerima kalau konflik memang sedang terjadi. Dari situ, pihak-pihak yang berkonflik bisa memiliki ruang untuk memetakan akar permasalahan dan mencari alternatif-alternatif solusi, serta mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dari tiap solusi. Dalam proses penyelesaian konflik, hal-hal yang perlu diutamakan antara lain keterbukaan, toleransi, komunikasi asertif, reflektif, empati, dan kemauan untuk menurunkan ego. Di samping itu, tidak ada salahnya meminta pendapat dari orang-orang terdekat jika belum kunjung menemukan titik temu. Asalkan dipilah dan sesuai porsi, masukan dari orang-orang terdekat dapat membantu untuk berpikir strategis dalam memadamkan konflik.

Kerjasama adalah Kunci Terwujudnya Resolusi Konflik Sehat

Mewujudkan resolusi konflik yang sehat dalam hubungan romantis adalah tugas bersama dua orang yang terlibat, mutlak tidak bisa salah seorang saja. Keduanya harus bisa saling menghargai dan bersedia mendengarkan apa yang disampaikan pasangan. Tidak kemudian saling menyalahkan seakan tidak mau kalah. Hubungan bukanlah tentang kompetisi, tetapi tentang komunikasi dan negosiasi. Saat berada di komunitas, divisi DPMA Rifka Annisa banyak melakukan upaya pencegahan seperti sosialisasi, kampanye offline maupun online, berjejaring dengan institusi-institusi misalnya Kantor Urusan Agama (KUA), untuk mengadakan kelas pra nikah, mengadakan kelas-kelas diskusi yang ditujukan untuk remaja dan dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, mengenai nilai-nilai kesetaraan dan adil gender, dan nir kekerasan. Upaya-upaya preventif tersebut dialamatkan bukan hanya pada satu pihak atau gender tertentu saja, tetapi semua yang berada dalam hubungan romantis bertanggung jawab memanifestasikan resolusi konflik yang sehat. Divisi Pendampingan Rifka pun, ketika berjumpa dengan penyintas yang mempunyai masalah terkait konflik di hubungannya, konselor biasanya mendiskusikan kepada penyintas bahwa merawat hubungan adalah tugas penyintas dan pasangannya. Keduanya harus sama-sama berjuang, mengusahakan, serta menjaga hubungan, sehingga ketika konflik datang tidak berujung abusive. Sementara itu, Haryo Widodo selaku konselor laki-laki di Rifka Annisa menjelaskan bahwa konflik akan sulit diselesaikan apabila relasi tidak setara, sebab akan ada yang pasif dan ada yang dominan.

Walaupun dalam membangun relasi yang setara butuh proses pembiasaan, namun jika hubungan sudah setara, maka konflik akan lebih mudah diselesaikan secara lebih objektif dan win-win solution. Mungkin terkesan susah dan rumit karena hakikatnya manusia selalu mengharapkan keharmonisan terutama pada hubungan romantis yang dibangunnya. Namun, andaikata individu mau dan mampu menerima keberadaan konflik serta menyikapi konflik secara hati-hati dan tidak mengedepankan ego, maka resolusi konflik yang sehat akan lebih mudah untuk dicapai. Lebih-lebih, konsep kesetaraan bilamana telah dipahami dan dipraktikkan bukan saja menciptakan resolusi konflik yang sehat, tetapi juga kuat, dan tentu saja nihil kekerasan.

 

Referensi

Kurdek, L. A. (1994). Conflict resolution in gay, lesbian, heterosexual nonparent, and heterosexual parent couples. Journal of Marriage and the Family, 56, 705-722.

Lahitami, Sulung (2020). Maudy Ayunda Bertengkar dengan Kekasih Pakai Bahasa Inggris, Ini 8 Respons Kocak Netizen. Diakses di https://www.liputan6.com/citizen6/read/4296574/maudy-ayunda-bertengkar-dengan-kekasih-pakai-bahasa-inggris-ini-8-respons-kocak-netizen pada tanggal 23 Juli 2020.

Lulofs, R. S., & Cahn, D. D. (2000). Conflict: From theory to action. Massachusetts: Allyn & Bacon.

Markman, H. J, Stanley, S. M., Blumberg, S. L., Jenkins, N. H., & Whiteley, C. (2004). 12 hours to a great marriage: A step-by-step guide for making love last. San Francisco: Jossey Bass.

Miller, S., & Miller, P. A. (1997). Core communication: Skills and processes. Evergreen, Co: Interpersonal Communication Programs, Inc.

Poloma, Margaret M. (1979). Contemporary Sociological Theory. MacMillan: University of Virginia.

Wawancara

Amalia Rizkyarini, Konselor Psikologi Rifka Annisa, 18 Juli 2020.

Irmaningsih Pudyastuti, Staf Divisi Pengorganisasian dan Advokasi (DPMA) Rifka Annisa, 18 Juli 2020.

Haryo Widodo, Konselor Laki-laki Rifka Annisa, 23 Juli 2020.

 

[1]R. S. Lulofs, & Cahn, D. D. (2000). Conflict: From theory to action. Massachusetts: Allyn & Bacon.

[2]H. J Markman, Stanley, S. M., Blumberg, S. L., Jenkins, N. H., & Whiteley, C. (2004). 12 hours to a great marriage: A step-by-step guide for making love last. San Francisco: Jossey Bass.

[3]L. A Kurdek(1994). Conflict resolution in gay, lesbian, heterosexual nonparent, and heterosexual parent couples. Journal of Marriage and the Family, 56, 705-722.

[4]Margaret M Poloma (1979). Contemporary Sociological Theory. MacMillan: University of Virginia.

Read 16893 times Last modified on Wednesday, 26 August 2020 13:51
46755936
Today
This Week
This Month
Last Month
All
27629
103065
264303
343878
46755936