Project by: USAID - Rifka Annisa - BPS - UNDP (Agustus, 2016)

Download laporan penelitian disini

Kampus menutupi kasus pelecehan seksual dan lebih memilih solusi "kekeluargaan."
 
 
tirto.id - “Mbak, sedang di kampus, enggak?” Ikhaputri Widiantini, dosen filsafat di Universitas Indonesia, mengisahkan ulang satu cerita dari mantan mahasiswinya. Siang itu ia tiba-tiba ditelepon.

“Ini di kampus. Eh, kamu apa kabar?” Upi, panggilan sehari-harinya, kebetulan sudah lama tak mendengar kabar si mahasiswi itu, yang memang sudah lulus.

“Boleh jemput aku di depan, enggak?” 

Upi heran saat ditanya begitu, tapi tak terkejut.

Bekas mahasiswinya itu lanjut bertanya tentang beberapa nama. “Ada orang ini, enggak? Ada orang ini, enggak?” 

Upi enggan menyebut nama-nama tersebut, “Terus aku bilang, enggak ada, enggak ada. Tapi dia tetap enggak berani turun dari taksi. Sampai aku samperin."

Mahasiswi yang identitasnya dirahasiakan Upi itu adalah korban pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsi pada 2008. Meski sudah lama terjadi, trauma itu masih menghantuinya. Efek trauma ini yang akhirnya menjadi alasan penting untuk merahasiakan identitas sang mahasiswi.

Upi termasuk salah satu dosen UI yang punya perhatian pada masalah pelecehan seksual di kampus. Selain mengajar, ia menggagas Komunitas Ungu di kampus yang berfokus pada isu-isu feminisme, salah satu mata kuliah yang diampunya. Ia dekat dengan para mahasiswa dan tak jarang menerima sejumlah aduan kasus pelecehan seksual.

Pelakunya beragam: dosen, asisten dosen, sesama mahasiswa, hingga orang luar kampus seperti pacar.

Kebanyakan mahasiswa memang cuma ingin bercerita. Sedikit sekali yang berani menyebut nama atau bahkan berniat melaporkan pelaku. Kebanyakan dari korban takut dianggap "lebay", meski sebenarnya rikuh dan trauma.

“Ada juga yang bilang, 'Kalau sampai dilaporkan, kasihan mahasiswa yang ambil skripsi jadi enggak ada pembimbingnya.' Karena sebagian prodi memang punya dosen terbatas. Mindset mereka masih di sana: 'Kasihan dosennya, kasihan mahasiswa lain.' Bahkan kebanyakan berpandangan berlebihan aja kalau sampai melapor,” ujar Upi.

Cerita Upi serumpun dengan temuan kami. Para korban pelecehan seksual di kampus yang kami wawancarai punya alasan serupa. Sebagian besar tak pernah melaporkan pengalamannya karena melindungi identitas diri dari stigma.

Yasmin—bukan nama sebenarnya—yang berkuliah di salah satu kampus di Medan, menuturkan bahwa ia mendapatkan perlakuan mesum oleh dosen pembimbingnya. Tapi ia merahasiakan ceritanya karena enggan dianggap "lebay." 

Menurutnya, orang-orang belum tentu percaya dengan ceritanya, dan justru bisa jadi menyerang balik dirinya. “Nanti saya pula yang disebut gatal (ganjen). Orang-orang Indonesia memang masih suka menyalahkan perempuan kalau dalam kasus-kasus gitu,” kata Yasmin.

Sikap Kampus Lamban

Sebagaimana terjadi di lingkungan lain seperti transportasi publik, taman, sekolah, tempat kerja, rumah—lingkungan kampus tak lepas dari tempat kejadian pelecehan seksual. 

Hierarki dan sistem birokrat dalam dunia akademik menciptakan "relasi kuasa" yang bisa dimanipulasi sehingga rentan dipakai untuk hal-hal negatif, termasuk kesempatan melecehkan dan melakukan kekerasan seksual.

Hal itu diutarakan Lidwina Inge Nurtjahyo, pengajar di Fakultas Hukum UI, yang berfokus pada kasus-kasus pelecehan seksual di kampus. 

Menurutnya, mengapa kasus-kasus ini belum bisa diatasi dengan hasil memuaskan karena isu pelecehan seksual di kampus "belum jadi prioritas universitas, dan belum dianggap serius." Tak ada lembaga khusus yang dibikin universitas atau fakultas untuk setidaknya jadi wadah konseling atau penerimaan aduan, ujarnya.

“Di UI, cuma ada wadah konseling untuk semua kasus. Enggak ada yang spesifik tentang pelecehan atau kekerasan seksual. Setahu saya juga di universitas-universitas besar lain belum ada,” kata Lidwina.

Hal sama didapati dalam temuan Rifka Annisa, organisasi nirlaba yang konsen pada hak-hak perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Yogyakarta. Belum ada kampus di Yogyakarta yang punya aturan soal pelecehan seksual, termasuk mengatur sanksi bagi pelaku. Kebanyakan kasus-kasus yang terungkap cuma diselesaikan lewat jalur damai, tanpa sanksi yang jelas.

Berdasarkan pengalaman Ikhaputri Widiantini, dari sekian banyak kasus kekerasan seksual di kampus, kira-kira hanya 1 dari 10 laporan yang berhasil mendapatkan perhatian, dan pelaku dikenakan sanksi.

Ia mencontohkan salah satu kejadian di UI pada 2016. Sebut saja Lila, seorang mahasiswi yang dirahasiakan namanya, mendatangi dosen pembimbing sendiri. Ternyata dosen itu memang punya reputasi mesum. 

Lila sama sekali tak menyangka bakal menghadapi hal buruk. “Seharusnya enggak ada masalah. Tapi terjadi tindak pelecehan lagi. Anak ini langsung lapor ke kaprodi,” ujar Upi, panggilan akrab Ikhaputri.

Dosen itu akhirnya dihukum skorsing karena kasus tersebut jadi perhatian himpunan mahasiswa satu prodi. Mereka kompak bikin petisi menolak diajar dosen tersebut.

“Karena ada kekuatan mahasiswa, dekanat jadi turun tangan. Akhirnya dihukumlah. Tapi hukumnya cuma skorsing. Cuma enggak boleh ngajar di departemen, tapi boleh di jurusan lain. Dia tuh sekarang jadi ngajar di mata kuliah umum. Sekarang se-universitas ada,” cerita Upi. 

Padahal dampak terhadap si mahasiswi tak main-main. “Skripsinya sampai sekarang belum selesai. Berantakan, sampai ganti judul.”

Pendekatan 'Kekeluargaan'

Ketiadaan peraturan standar tentang pencegahan dan penanganan kasus kejahatan seksual di kampus sering berakhir lewat jalur “kekeluargaan”. 

Pendekatan "damai" macam ini lebih banyak merugikan korban dan membebaskan pelaku. Tak banyak kasus yang akhirnya terkuak, atau bahkan jadi tuntutan mahasiswa seperti kasus Lila. Meski sering terdengar di kampus, faktanya kita jarang mendengar kasus-kasus ini disantap media.

Cuma ada dua kasus paling besar yang sempat jadi berita nasional: kasus Sitok Srengenge pada 2013 dan kasus EH pada 2016.

Srengenge dituduh memperkosa RW, seorang mahasiswi, sampai hamil. Sempat ditetapkan sebagai tersangka, perkenalan Srengenge dengan RW bermula dari kegiatan kampus yang mengundangnya sebagai juri. Kasus ini berlarut-larut lantaran kepolisian menyatakan "kekurangan bukti." Pada April 2014, kasus ini diwartakan tetap berlanjut, dengan tuduhan pasal berlapis sekalipun pelaku tidak ditahan. Namun, kasus ini masih berjalan di tempat. 

EH, pengajar di Universitas Gadjah Mada, diberitakan oleh The Jakarta Post pada Juni 2016 sebagai pelaku kejahatan seksual terhadap mahasiswi bernama Maria. Dalam sesi konsultasi pada malam hari, Maria dikejutkan EH yang menggerayangi payudaranya dan menempelkan penis ke tubuhnya. 

Korban EH bukan cuma Maria. Dalam surat pembaca ke The Jakarta Post, Margaretta Sagala, mantan mahasiswi EH, juga menceritakan pengalaman buruk.

“Ironisnya, EH adalah orang yang mengajari saya teori-teori feminis. EH tahu bahwa kebanyakan korban pelecehan seksual tidak akan melapor,” tulis Margaretta. 

Ironisnya, menurut sejumlah mahasiswa yang kami tanyakan di lingkungan UGM, EH masih bekerja dan hadir di kampus. Menurut Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto, EH cuma diberi sanksi pemberhentian mengajar sementara dan tak diizinkan membimbing skripsi.

'Lebih Mementingkan Nama Baik Kampus'

Lidwina Inge Nurtjahyo berpandangan bahwa status PNS dosen memang sering kali jadi alasan kampus memberi sanksi melempem. Padahal penting bagi korban agar dijauhkan dari pelaku selama masa pemulihan diri. Sikap kampus yang lamban mengatasi kasus-kasus pelecehan seksual menjadi cermin kampus masih lebih mementingkan nama baik institusi ketimbang nasib mahasiswanya, terang Lidwina.

Seorang PNS memang cuma bisa dipecat secara tidak hormat jika yang bersangkutan telah sah terbukti melakukan pelanggaran pidana oleh pengadilan. Sementara hukum Indonesia sering tumpul dalam kasus perkosaan. Apalagi untuk kasus-kasus pelecehan seksual yang pembuktiannya rumit.

Erwan Agus Purwanto berkata "tidak bisa" melakukan pemecatan kepada dosen yang melakukan kekerasan seksual sebab kewenangan itu ada pada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ristekdikti dan Badan Kepegawaian Negara. 

“Bisa saja rekomendasi sampai ke sana tapi ada tahapannya, dari penonaktifan sampai konseling ke lembaga, yang bisa konseling untuk memperbaiki sikap,” ujar Erwan.

Menurut Sofia dari Rifka Annisa, tanggung jawab universitas adalah melindungi para mahasiswanya. Birokrat kampus seharusnya paham posisi sebagai penjamin keamanan civitas akademika. Namun, kampus lebih mementingkan citra baik, sehingga mengungkapkan secara terbuka kasus-kasus pelecehan seksual ini dianggap "aib." 

Lidwina mengatakan institusi kampus belum homogon untuk "zero tolerance" mengatasi endemi pelecehan seksual. “Kampus juga seperti dunia luar. Isinya tidak homogen. Terutama tentang isu ini,” katanya. Menurutnya, masih banyak orang yang sulit paham bahwa pelecehan ini berdampak parah sebab menyerang psikologi korban. 

Rifka Annisa menyarankan semua kampus punya pusat krisis, semacam tempat pengaduan bagi mahasiswa korban pelecehan seksual, baik oleh dosen maupun sesama mahasiswa. 

Ikhaputri Widiantini mengusulkan kampus setidaknya harus menyelipkan klausul khusus pelecehan seksual sebagai sebuah kebijakan, yang faktanya tak dimiliki kebanyakan kampus. 

UI dan UGM, misalnya, menangani aduan-aduan pelecehan seksual hanya lewat Dewan Etik, yang akhirnya tak bisa memberi sanksi tegas terhadap para pelaku.

“Baiknya bukan cuma klausul. Tapi juga ada pelatihan. Dosen, kan, sering ada pelatihan penulisan. Kenapa enggak ada pelatihan etika, misalnya tentang pelecehan seksual?” ujar Ikhaputri.



 
Sumber artikel: Tirto.id

Reporter: Dipna Videlia Putsanra & Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam

Ada budaya terstruktur yang bikin pelecehan seksual di kampus langgeng dan susah dilawan.
 
tirto.id - Nyaris tak ada institusi yang merekam secara khusus tentang kejahatan seksual di kampus-kampus di Indonesia. Informasinya sporadis, muncul saat kasus itu menjadi sorotan media, atau mencuat dari sejumlah testimoni lewat blog-blog pribadi, dengan kerahasiaan yang rapat.

Hal macam itu juga jadi kekurangan dalam artikel kami: minim data yang komprehensif mengenai kasus ini membuat kami kesulitan mengidentifikasi seberapa sering prevalensi kasus-kasus kejahatan seksual di kampus, siapa para pelakunya, dan siapa para korbannya. Data macam ini sangat penting bagi kami untuk mengelaborasi dan menguatkan ungkapan yang sering kami dengar saat menulis subjek ini: bahwa pelecehan seksual di kampus terjadi "marak", bahwa kasus ini sudah jadi "rahasia umum kampus".

Meski begitu, ada sejumlah individu dan beberapa lembaga nirlaba yang punya perhatian atas subjek yang sama. Saya bertemu Putri Salsa, koordinator utama HopeHelps—organisasi nirlaba yang dibentuk para mahasiswa Universitas Indonesia yang berfokus pada isu kekerasan seksual di kampus. 

Penggiat organisasi ini tak cuma sering melakukan sosialisasi tentang isu tersebut, tapi juga membuka diri sebagai wadah penerima aduan, bahkan menyediakan jasa advokasi bagi para korban. Namun, pendataan HopeHelps juga masih belum rapi. Mereka memang merekam semua laporan yang datang, tapi belum diolah tertib.

Seingat Salsa, ada 30 kasus pelecehan seksual yang terekam terjadi di UI selama 2015-2016. Sementara setahun terakhir jumlahnya lebih dari 10 kasus. “Tapi, belum diklasifikasikan: mana laporan yang memang datang dari UI, mana yang datang dari orang luar,” ujarnya.

Laporan-laporan itu bersifat rahasia. Dari total belasan pengurus utama, tak semua anggota HopeHelps bisa mengakses laporan pengaduan tersebut. Hal ini dilakukan karena identitas korban sangat dilindungi, terang Salsa. Tak semua yang datang ke mereka menuntut advokasi. Kebanyakan justru hanya ingin bercerita, dan enggan menyebut nama pelaku.

“Dan itu harus dihormati banget. Siapa kita untuk maksa korban harus berbuat apa? Dia tetap orang yang paling harus dihormati keputusannya,” terang Salsa.

Data-data itu amat penting. Sebab banyak kampus menyimpan fenomena "bungkam". 

Dari penelusuran Tirto di beberapa kampus terkenal di Indonesia, setidaknya ada lebih dari selusin mahasiswa yang bercerita pernah jadi korban pelecehan oleh dosen mereka. Ini tidak termasuk beberapa orang yang menolak berbagi kisahnya. 

Kampus-kampus itu secara terpisah punya tabiat buruk yang terendus sebagai sebuah pola, yakni memelihara dosen-dosen mesum sebagai rahasia umum. Tak heran, kasus kejahatan seksual di kampus memang lebih jarang terdengar beredar di media ketimbang kasus kejahatan seksual kepada anak.

“Di negara kita, kekerasan seksual sering dikaitkan dengan moralitas, apalagi kalau terjadi pada perempuan dewasa. Kalau pada anak-anak, jelas semua orang pasti mengutuk pelaku. Tapi, kalau perempuan dewasa biasanya sangat erat dengan konteks moral dan agama,” ujar Sophia Hage, salah satu pendiri Yayasan Lentera Sintas Indonesia, organisasi nirlaba yang fokus pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

'Takut Disalahkan'

Berdasarkan survei yang pernah dilakukan Lentera, sebanyak 1.636 orang dari 25 ribu responden (lebih dari 6 persen), mengatakan pernah dipaksa, diintimidasi, dan diancam melakukan aktivitas seksual atau pemerkosaan. Dari jumlah itu, sekitar 93 persen korban pemerkosaan memutuskan tak melaporkan kasus. Bahkan, para penyintas mengaku mengisi survei Lentera sebagai pengakuan pertama mereka sebagai korban kekerasan seksual.

Survei yang dilakukan Lentera itu bekerja sama dengan Magdalene dan Change.org adalah satu-satunya data yang mengungkap alasan para penyintas enggan melapor.

Kekerasan seksual, ujar Sophia Hage, kerap terjadi karena ada ketimpangan kuasa. Di kampus, peristiwa ini biasa terjadi antara dosen dan mahasiswa. Dengan mudah dosen akan mengintimidasi mahasiswa lewat otoritasnya. Semisal menahan skripsi, menolak jadi pembimbing studi akhir dan sebagainya. Apalagi jika dosen tersebut punya prestasi dan ternama di kampus.

“Jadi, jika orang punya pilihan untuk membela, orang lebih akan mendengar si dosen atau publik figur ini daripada korban,” ujar Sophia, yang juga seorang dokter.

Namun, selain jebakan relasi kuasa yang kuat dalam birokrasi kampus, "takut disalahkan" menjadi alasan paling tinggi bagi penyintas untuk memilih bungkam. Hal ini terjadi karena “sistem victim-blaming” yang masih tinggi di lingkungan manapun, termasuk kampus.

Komentar seperti "makanya jangan keluar malam", "siapa suruh meeting sama dosen itu di hotel," atau "makanya pakai baju yang sopan"—adalah contoh respons yang sering datang jika seorang perempuan bercerita tentang pengalaman pelecehan yang ia terima. Alasan lain, penyintas takut minim dukungan dari keluarga, dan malah dianggap sebagai "aib." Belum lagi jika ada ancaman dan intimidasi dari pelaku.

'Budaya Perkosaan'

Masih marak budaya menyalahkan korban, menurut Zerlina Maxwell, seorang kolumnis, feminis, dan analisis politik, dalam tulisannya bertajuk "Rape Culture is Real" di Time, adalah salah satu ciri sebuah masyarakat yang masih melanggengkan budaya perkosaan.

Rape culture alias budaya perkosaan merujuk pada fenomena ketika perkosaan dan kekerasan seksual sering terjadi dan dinormalkan atau dianggap biasa. Teori ini berkembang pada 1970-an di Amerika Serikat. Dalam buku Against Our Will: Men, Women, and Rape (1975), Susan Brownmiller menggambarkan pemerkosaan sebagai proses intimidasi secara sadar oleh laki-laki kepada perempuan, lewat peran penting mereka yang ditopang patriarki. Tujuannya, agar perempuan terus berada dalam ketakutan.

Teori budaya perkosaan melihat pemerkosaan sebagai gejala yang sudah dianggap umum dan normal dalam masyarakat, dibentuk dari nilai-nilai sosial yang misoginis dan seksis, buah dari ideologi patriarki. Dalam ideologi itu, perempuan dan segala yang feminin ditempatkan di bawah kepentingan pria dan apa pun yang dianggap mewakili maskulinitas.

Maka, dalam kasus pelecehan, seringkali ada stigma lebih besar kepada para korban (mayoritas perempuan) ketimbang kepada para pelaku (mayoritas laki-laki).

“Semacam standar ganda, yang anehnya cuma berat di korban,” kata Ikhaputri Widiantini, pengajar di Universitas Indonesia yang fokus pada masalah pelecehan seksual di kampus. 

“Lebih sering korban yang disuruh membuktikan dia diapain aja, bukannya pelaku yang dituntut membuktikan kalau dia memang beneran enggak salah,” tambah dosen yang biasa dipanggil Upi.

Stigma-stigma yang melekat pada korban pelecehan memang seringkali berat. Maka, wajar jika banyak dari mereka yang akhirnya takut bercerita. Perempuan, sebagai kelompok korban paling besar, akhirnya memilih diam dan memaklumi pelecehan yang mereka alami.

Tambahan lagi, menurut Putri Salsa, masih banyak perempuan yang misoginis dan gagal paham bila mereka adalah korban.

Keputusan Korban Harus Dihormati

Putri Salsa berkata dari pengalamannya di HopeHelps, lebih banyak korban enggan memperpanjang perkara karena takut dianggap "lebay" atau pencari masalah. Keputusan ini tak bisa dikucilkan. Sebab, dampak trauma yang mereka rasakan tak bisa diremehkan. 

“Kadang, tanggapan orang-orang bisa bikin dampak yang lebih traumatis daripada pengalaman (pelecehan) yang dia (korban) rasakan,” kata Salsa. Sehingga ketakutan para korban untuk menceritakan pengalamannya sangat perlu dihargai.

“Kirim pesan yang benar dulu, bahwa korban diposisikan sebagai korban. Dan pelaku harus sadar bahwa perlakuannya tidak benar,” tambahnya.

Sophia Hage dari Lentera menekankan bahwa keputusan korban yang menolak menceritakan kejadian yang dialaminya harus dihormati, sebab memaksa korban bercerita sama halnya melakukan kekerasan juga kepada mereka.

“Ketika kita memaksa korban berbicara, kita kembali mengambil kontrol terhadap korban atas peristiwa yang terjadi pada dirinya, padahal yang kita inginkan adalah mengembalikan kontrol tersebut," ujar Sophie. "Jadi, kalau kita memaksa korban melapor, siklus kekerasannya tidak putus.” 

Itu sebabnya, menurut Sophia, pendekatan kepada korban kekerasan seksual bukan memaksa, melainkan memberdayakan korban untuk bicara. Dan keputusan itu tetap ada di tangan korban.

“Ketika korban memutuskan untuk bicara, dia merasa bahwa dia tidak terancam dan terpaksa. Keputusan yang diambil memang dengan penuh kesadaran, tahu konsekuensi dan menjalani itu karena dia ingin,” ujar Sophia.

Sofia Rahmawati, konselor dari Rifka Annisa, sebuah pusat krisis dan lembaga nirlaba yang berfokus pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan berbasis di Yogyakarta, menyarankan agar korban mendatangi lembaga-lembaga nirlaba seperti mereka atau lembaga serupa. 

Lembaga-lembaga ini memiliki terapis dan konselor yang sudah terlatih. Korban akan dipulihkan secara psikologis dengan jaminan kerahasiaan identitas. Namun, keputusan untuk ingin atau tidak konseling tetap tergantung penyintas. Lembaga seperti Rifka tidak bisa memaksa.

Menurut Sophia Hage, kampus perlu membuat campus crisis center atau tempat pengaduan bagi mahasiswa yang jadi korban pelecehan seksual. Organisasi-organisasi macam HopeHelps setidaknya harus disediakan di tiap fakultas, dengan dukungan kebijakan yang kuat. 

“Sampai terwujudnya campus crisis center itu masih panjang, masih banyak PR yang harus dikerjakan," ujar Sophia. Sembari menunggu itu, tambahnya, kampus harus punya aturan soal pelecehan seksual. 

"Jadi, yang diatur itu bukan perempuan saja, tapi juga laki-lakinya, bahwa pelecehan seksual itu salah dan menimbulkan trauma berkepanjangan untuk korban."

Namun, sebelum itu, kampus perlu terus mendidik diri dan paling penting: mengakui budaya perkosaan itu memang ada dan perlu ditangani segera.

========

Sumber artikel: Tirto.id

Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam

Wednesday, 11 July 2018 08:18

Aku Tidak Akan Terhenti

Bocah ayu itu bernama Ananda. Usianya sekarang 15 tahun. Beberapa bulan lagi, Ananda akan menjadi seorang ibu.

Liku hidup Ananda berawal dari pertemuannya dengan Aji, seorang mahasiswa yang dikenalnya dalam sebuah acara. Setelah ratusan pesan saling terpampang di layar handphone keduanya, mereka pun berpacaran. Perubahan status ini membuat keduanya semakin sering berbalas pesan maupun bertemu berdua. Ananda merasa nyaman bersama Aji. Namun, tanpa disadarinya kenyamanan itu perlahan menjadi belukar yang membingungkannya.

Isi pesan Aji tidak lagi sekedar menanyakan kabar tapi juga menanyakan tentang hal-hal bersifat seksual. Pertemuan mereka tidak hanya berisikan cerita tapi juga bujukan melakukan hubungan seksual, Aji bilang sebagai bukti sayang. Ananda tidak tahu pada siapa ia bisa mengurai kebingungannya. Tidak mungkin pada orangtua yang ia sembunyikan hubungan ini dari keduanya, tidak pula pada teman-teman yang akan menjauhinya, begitu pikir Ananda saat itu. Yang Ananda tahu Aji memberikan perhatian yang diinginkannya, maka sebagai timbal baliknya ia pun memberikan “kasih sayang” seperti yang diinginkan Aji. Ananda sangat takut kehilangan Aji.

Ananda semakin kebingungan ketika menyadari bahwa sudah dua bulan ia tidak menstruasi. Apalagi saat ibu mulai curiga dengan berbagai perubahan perilakunya dan mengajaknya periksa ke dokter Obsgyn yang menyatakan bahwa: ada janin bertumbuh dalam perut mungilnya. Akhirnya, Ananda menceritakan hubungannya dengan Aji pada orangtuanya.Tergambar jelas raut kekecewaan dan kesedihan di wajah keduanya. Ananda luluh lantak. Apalagi ketika ibu dan ayah memeluknya, menyemangatinya untuk terus berjuang bersama. Ananda mengerti inilah sebenar-benarnya kasih sayang yang selama ini diabaikannya.

Pengertian ini membantu Ananda memutuskan untuk tidak menikah dengan Aji. Ananda dan orangtuanya melaporkan Aji karena telah melakukan tindakan cabul pada anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari bentuk kekerasan apapun. Bukan balas dendam yang melatarbelakangi pelaporan ini. Ananda dan orangtua ingin Aji belajar agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Tanpa proses hukum, Aji bisa jadi mengulangi perbuatannya pada Ananda atau .perempuan lain. Peristiwa ini juga bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat bahwa aktivitas seksual pada anak adalah bentuk kekerasan yang memiliki konsekuensi hukum. Kesadaran ini diharapkan dapat melindungi anak menjadi korban kekerasan seksual oleh siapa pun di masa depan.

Selain itu, Ananda masih ingin sekolah, bertemu dengan teman-teman sebayanya, meraih mimpi di masa depan, menjadi mandiri dan bertanggung jawab bagi dirinya sendiri dan juga bayi yang sedang dikandungnya. Orangtuanya pun mendukung pilihan ini sebab menurut mereka pernikahan justru akan membuat penderitaan baru bagi Ananda dan menghilangkan hak Ananda sebagai seorang anak untuk bercita-cita. Walaupun demikian, berat bagi Ananda untuk tetap bersekolah di SMPnya dulu. Ananda masih takut dengan pandangan negatif yang mungkin diterimanya dari beberapa teman maupun gurunya. Ananda pun memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya melalui paket B. Bagi Ananda dan orangtuanya tak ada yang bisa menghalangi keinginan yang besar untuk terus belajar. Meskipun jalannya mungkin saja berbeda tapi jalan itu terus terbentang panjang untuk masa depannya.

 

Seperti diceritakan kepada Novia

Konselor Psikologi Rifka Annisa

Wednesday, 11 July 2018 08:12

Kesempatan Kedua

Aku tidak suka berada di rumahku, di rumahku aku hanya akan merasa sendiri tanpa ada teman mengobrol. Aku tinggal bersama ayahku yang sibuk bekerja, ibu tiriku dan adik tiriku. Ibu tiriku tidak pernah memarahiku,namun juga jarang berbicara denganku. Aku kesepian. Aku rasa hidupku ini paling malang di dunia ini, aku tidak punya ibu kandung sementara ayahku sibuk. Di sekolah aku bukan murid yang menonjol, aku pendiam, aku juga tidak cantik. Aku berandai-andai seandainya aku terlahir dengan wajah cantik seperti temanku Ririn. Aku juga tidak pandai, pelajaran sekolah memusingkan kepalaku, aku punya cita-cita suatu hari nanti aku akan menjadi artis. .

Suatu hari aku berkenalan dengan lelaki yang lebih tua dariku. Dia mengucapkan kata-kata manis untukku. Jika libur sekolah, dia akan mengajakku pergi ke tempat yang menarik. Dia mentraktirku makan, membelikan hadiah yang kusuka. Sejak bersamanya aku tidak merasa kesepian lagi. Dia berlutut menyatakan cinta dengan cara berlutut dihadapanku. Dia bertanya apakah aku mencintainya? Aku jawab iya, dia tersenyum mencium bibirku. Dia bilang ingin meminta bukti cinta lewat berhubungan badan. Awalnya aku ragu, dia membisikan kata-kata indah dan mau bertanggung jawab jika terjadi sesuatu kepadaku. Aku merelakan kehormatanku. Aku percaya padanya karena aku mencintainya. Ternyata semuanya bohong, dia berbohong mencintaiku ternyata dia sudah mempunyai istri dan anak. Aku malu sekali apalagi aku sudah memberikan segalanya kepadaku. Semua orang sudah tahu perbuatanku, mereka menganggapku sebagai perempuan murahan yang tidak tahu malu. Bapak malu sekali dengan sikapku karena aku sudah mencoreng nama baik bapak.

Aku merasa hampa, aku tidak mau pergi ke sekolah karena semua orang tahu keadaanku. Aku merasa mereka sedang membicarakanku dari belakang. Aku jadi sering bolos sekolah dan sering mengurung diri di kamar. Aku berdoa seandainya waktu bisa terulang aku ingin menghindari kesalahanku. Aku putus asa, aku malu pergi ke sekolah, akhirnya kuputuskan untuk bunuh diri namun upayaku gagal karena aku berhasil diselamatkan. Pergelanganku masih sakit, aku tidak tahu bunuh diri sesakit ini. Masih kuingat tangis ibu tiriku dan bapak, mereka bilang aku masih punya kesempatan, aku harus tetap hidup.

Aku masih memiliki kesempatan kedua, kuputuskan untuk melanjutkan sekolah di tempat yang berbeda. Kubuka lembaran baru, aku tahu masa lalu begitu memalukan namun aku percaya masa depan masih bisa kumiliki.

 

Seperti dituturkan pada Diana Putri Ariani,

Relawan Divisi Pendampingan Rifka Annisa

46412236
Today
This Week
This Month
Last Month
All
1006
86044
264481
306641
46412236