Tuesday, 15 December 2020 23:35

Pandemi COVID-19 telah menimbulkan berbagai permasalahan di seluruh aspek kehidupan manusia—baik dari aspek ekonomi, pendidikan, politik hingga aspek personal seperti kehidupan berumah tangga. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan kepada 2.285 Perempuan dan Laki-laki sejak April hingga Mei 2020, sebanyak 80% dari responden perempuan yang berpenghasilan dibawah 5 juta menyampaikan bahwa kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat. Namun, hanya 10% perempuan yang melaporkan mengenai kasus kekerasan yang dialami.

Selain itu, Komnas Perempuan juga menerima setidaknya 319 kasus yang dilaporkan selama masa pandemi dan dua-pertiganya adalah kasus KDRT. Menurut data dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) menyebutkan bahwa ada sekitar 110 kasus yang dilaporkan setelah adanya penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari bulan maret hingga juni.

Disamping itu, WCC Rifka Annisa juga menerima laporan sebanyak 660 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga September 2020. Dan 579 kasus diantaranya terjadi selama masa pandemi. Bentuk kekerasan yang dilaporkan paling tinggi yaitu kekerasan terhadap istri (KTI) dengan jumlah 124, kekerasan dalam pacaran (KDP) sebanyak 46 kasus, kekerasan dalam keluarga (KDK) sebanyak 33 kasus, pelecehan seksual 24 kasus, perkosaan 22 kasus, trafficking 10 kasus dan lainnya 2 kasus.

Dari data tersebut kita dapat mengetahui bersama bahwa selama masa pandemi—perempuan tetap tidak terlepas dari kekerasan. Dan kita juga mengetahui bahwa kasus kekerasan paling tinggi adalah KTI. Kasus KTI masuk dalam lingkup kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).  KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seorang perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2004).

Faktanya, masih banyak perempuan yang tidak sadar bahwa ia adalah korban kekerasan. Sebagian perempuan juga ada yang telah sadar namun enggan untuk melaporkan. Sebagian besar perempuan lebih memilih diam atau hanya menceritakan kepada orang terdekat. Terdapat beberapa alasan untuk menjelaskan fenomena ini, diantaranya yaitu perempuan korban kekerasan merasa bahwa permasalahan rumah tangga adalah aib keluarga yang harus ditutupi, ketidakberdayaan ekonomi, hingga pemahaman akan proses hukum yang rendah. 

Dalam proses hukum, Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat diselesaikan melalui dua proses hukum yaitu Pengadilan Pidana dimana pelaku harus melakukan pertanggungjawaban atas perbuatannya secara pidana atau Pengadilan Perdata berupa gugatan perceraian.

Pada umumnya, sebagian besar korban KDRT memilih untuk mengajukan gugatan perceraian. Gugatan perceraian dapat diajukan ke Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) dan Pengadilan Negeri (bagi agama lain). Selain itu, pemilihan pengadilan didasarkan pada beberapa hal seperti tempat tinggal atau tempat berlangsungnya pernikahan.

Sebelum memutuskan untuk mengajukan gugatan perceraian, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu mempersiapkan diri untuk hidup secara mandiri baik dari aspek ekonomi ataupun psikologis. selain itu, penting untuk mengkomunikasikan dengan pihak keluarga agar mendapat dukungan dan mempersiapkan anak agar mampu menerima dan menghadapi perceraian kedua orang tuanya.

Selain itu, menjadi penting untuk korban KDRT mencari informasi mengenai pengajuan gugatan cerai dengan menghubungi atau mendatangi secara langsung ke bagian informasi di pengadilan serta melakukan konsultasi dengan konsultan hukum agar mengetahui proses persidangan berserta hak – haknya.

Pada tahapan awal proses gugatan cerai, terdapat beberapa syarat administrasi yang harus dibawa, antara lain fotocopy akta nikah, fotocopy akta kelahiran anak (jika ada), fotocopy KTP, Surat Keterangan dari RT yang disahkan sampai kecamatan, Surat izin/rekomendasi dari atasan/pimpinan (bagi PNS, TNI, POLRI), Surat Gugatan, serta alat bukti apabila terjadi KDRT. Setelah semua syarat administrasi lengkap, penggugat bisa datang ke pengadilan setempat untuk mengajukan gugatan.

Proses untuk mengajukan guguatn melalui beberapa tahapan. Pertama, penggugat mengajukan gugatan tertulis dan ditujukan ke ketua pengadilan negeri atau pengadilan agama. Kedua, penggugat membayar panjar biaya perkara atau biaya sementara peradilan.

Ketiga, gugatan akan dicatat di Buku Register Perkara untuk mendapatkan nomor perkara. Keempat, setelah mendapat nomor perkara, perkara akan diteruskan ke Ketua Pengadilan dan Majelis Hakim untuk diperiksa. Kelima, setelah pemeriksaan berkas selesai, Hakim akan memanggil penggugat dan tergugat untuk melaksanakan sidang perkara.

Sebelum menghadapi proses persidangan. Perempuan perlu kembali menguatkan diri secara psikologis dan ekonomi agar semakin yakin dengan keputusan yang telah diambil dan siap menghadapi proses persidangan yang akan berlangsung. Proses persidangan perkara gugatan perceraian melalui beberapa tahapan, yaitu :

Pertama, Majelis Hakim akan mengupayakan perdamaian antara penggugat dan tergugat melalui mediasi. Apabila mediasi tidak berhasil maka persidangan akan memasuki tahap selanjutnya.

Kedua yaitu pembacaan gugatan oleh penggugat.

Ketiga, tergugat memiliki hak untuk melakukan pembelaan atau bantahan terhadap gugatan yang disampaikan penggugat.

Keempat, penggugat akan melakukan replik untuk menjawab pembelaan yang diutarakan oleh tergugat.

Kelima, tergugat melakukan duplik yaitu menjawab replik yang telah disampaikan oleh penggugat. Setelah tahap jawab – menjawab ini selesai, persidangan masuk kedalam tahap selanjutnya.

Keenam yaitu pembuktian dari tergugat dan penggugat. Dalam hal ini, bagi perempuan yang mengajukan perdata berdasarkan kekerasan yang dialaminnya, ia wajib untuk membuktikan hal tersebut di pengadilan. Dalam perkara KDRT, saksi korban saja sudah dianggap cukup untuk membuktikn bahwa terdakwa bersalah apabila dilengkapi dengan bukti lainnya (pasal 55 UU PKDRT).

Ketujuh, Majelis Hakim akan menarik kesimpulan dari penjelasan yang diberikan oleh penggugat dan tergugat lalu membuat keputusan mengenai hasil sidang perkara perdata.

 Begitulah proses untuk mengajukan perceraian dan gambaran proses persidangan yang akan dilalui oleh korban kekerasan. Dalam menghadapi perkara tersebut, terdapat beberapa tips dan saran yang dapat diterapkan. Pertama, ketika mendapatkan perlakuan kekerasan, korban dapat berlindung ke rumah keluarga atau melaporkan kasus kepada pendampingi yang mampu untuk membantu secara psikologis dan hukum, misalnya ke Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

Kedua, melaporkan kasus KDRT ke pihak berwajib dan meminta perlindungan agar tidak mendapatkan ancaman dan kekerasan berulang kali dari pelaku. Korban juga harus selalu minta ditemani ketika bepergian entah oleh keluarga atau pendamping untuk menghindari kemungkinan buruk selama proses persidangan berlangsung.

Ketiga menyadari bahwa kekerasan yang dialami dalam rumah tangga bukanlah aib keluarga yang harus ditutupi dan dibiarkan hanya karena menjaga nama baik keluarga. Hal ini memang tidaklah mudah, keputusan besar yang harus diambil. Namun sebagai perempuan—kita juga berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia dan terbebas dari ancaman kekerasan. Be aware and brave!

 

Sumber :

Triantono, S.h., M.H, Lisa Octafia, S.H. dan Saeroni, S.Ag.,M.H.2014. Buku Saku Informasi Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Yogyakarta: Rifka Annisa.

https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2020/Hasil%20Survei%20Covid%2019-KP-2020_17.06.pdf

Monday, 30 July 2018 12:48

Tiada henti, badai derita menimpa rumah tanggaku hingga aku jungkir balik menyelesaikannya. Aku menikah dengannya pada tahun 2001. Sejak awal menikah, suamiku adalah seorang pecandu narkoba. Namun aku tetap mencintainya walau ia sempat masuk jeruji besi.

Selepas ia keluar dari penjara, ia sudah tidak menafkahiku dan anak-anaknya secara layak sehingga aku nekad berdagang. Bahkan ia membatasiku dalam bergaul terutama setelah aku mempunyai handphone Android. Ia selalu cemburu padaku karena aku telah memiliki akun facebook dan aku suka aktif like-comment status fb teman-temanku. Dan suamiku menuduhku berselingkuh dengan teman-teman lamaku.

Aku selalu berusaha coba jelaskan fakta sesungguhnya pada suami. Tapi ia tetap tidak percaya. Tiba-tiba, ia mau memaafkanku asal aku mau tidur bersamanya. Memang sudah kewajibanku untuk melayani suami dalam segala hal sepanjang itu adalah baik. Namun, dua hari setelah aku tidur bersamanya tiba-tiba keponakanku dari Jakarta mengirim pesan via WA kepadaku dan menyuruhku untuk melihat facebook suamiku. “Astaga”, aku shok. Aku tak percaya. Aku tak menyangka akan perbuatan suamiku itu. Aku lihat ada beberapa foto telanjangku di facebook-nya yang ia lengkapi dengan kata-kata “tante-tante pelacur dan penipu”. Aku gak bisa bayangin berapa ribu orang yang melihat foto tersebut termasuk keluarga besarku.

Tak hanya di akun fb, bahkan ada nomor tak dikenal yang masuk ke WA-ku dan mengecamku sebagai perempuan tak punya malu. Aku tak mau orang lain berpikir miring tentang aku. Aku pun jelaskan semua itu pada mereka karena aku tak mau hal itu berlanjut. Aku kembali berdialog dengan suamiku di fb dan aku share foto keluargaku di akun fb suamiku. Harapanku, semoga orang lain yang melihat foto-foto itu tahu bahwa aku adalah istri suamiku.

Masalah baru pun datang. Anakku memarahiku karena ada wajahnya di foto keluarga itu. Keluarga besarku semua pun menelponku dan menanyakan apa yang terjadi. Aku sampaikan bahwa aku ingin berpisah dengan suami dan aku ingin melaporkannya ke polisi. Namun, bercerai bukan solusi utama untuk menyelesaikan masalah ini karena pernikahan kami tidak dicatatkan di kantor catatan sipil dan kami hanya menikah di gereja. Aku pun memilih melaporkannya ke POLDA DIY dengan alasan pencemaran nama baik atas cyber crime. Sementara itu, kakak iparku terus menerus membujukku untuk mencabut laporan tersebut. Dan akhirnya, aku pun mencabut laporan itu demi anak dan keluarga.

 

Sebagaimana diceritakan kepada Purnawanti - Relawan Divisi Pendampingan Rifka Annisa

Friday, 09 June 2017 12:39

Pagi itu, Minggu, 27 Februari 2016, saya menuju Desa Ngalang, salah satu desa yang tiga tahun ini menjadi tempat saya belajar tentang keluarga dan masyarakat, desa di mana kebersamaan di komunitas masih sangat lekat dengan nilai-nilai sosial dan kebudayaan. Tradisi gotong royong dan tradisi rasulan[1] berjalan setiap tahun. Tidak hanya itu, masyarakat yang terbuka mempermudah saya berkenalan dan masuk dalam kelompok-kelompok sosial, baik kelompok ibu maupun ayah. Dari sinilah saya kenal warga-warga yang ada di desa ini, salah satunya ibu Tukinah.

Ibu Tukinah adalah perempuan yang saya kenal pada tahun kedua tinggal di Ngalang. Ia memiliki dua anak yang duduk di bangku TK dan SMP. Dua anak bersekolah membuat dia memutuskan untuk bekerja di salah satu perusahaan wig yang ada di Piyungan, Bantul. Ia bekerja mulai pukul 05.30 WIB hingga pukul 18.30 WIB. Situasi ini membuat ia tidak punya banyak waktu untuk keluarga. “Saya melakukan itu demi anak-anak dan untuk ekonomi keluarga,” ungkapnya. Hal ini pun tak menyulutkan ibu Tukinah untuk selalu datang pada pertemuan kelompok ibu-ibu. Ia juga mengusulkan kepada fasilitator agar diskusi dilakukan pada hari Minggu agar dia bisa sharing dan bertemu dengan kawan-kawan yang berasal dari desa yang sama. Motivasi ini berangkat dari situasi keluarga yang, menurutnya, sering cekcok.

Ibu Tukinah lahir di Jambi, Sumatra. Pernikahannya dengan Maryanto membuat ia tak lagi tinggal bersama kakak-kakaknya di sana. Sebagai anak terakhir dari 10 bersaudara, ia lebih banyak bersama kakak-kakanya. Menurut cerita yang didapat Tukinah dari kakak-kakaknya, bapak mereka berprinsip, “Apa yang dikasihkan Tuhan dan dititipkan di perut keluarkan saja semua.” Ibu mereka meninggal pada usia 50 tahun saat melahirkan anak ke-11. Kondisi ini yang membuat ibu Tukinah juga tak ingin punya banyak anak sehingga dia ikut program keluarga berencana.

Selama di Jambi, ia diasuh kakak-kakaknya. Ayahnya menikah lagi dan memutuskan untuk tinggal bersama istri barunya. Tukinah kecil tidak lama tinggal bersama ayahnya. Karena itu pula ia tak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Bekal perkebunan sawit dari sang ayah membuat hidup mereka tidak begitu mudah dijalani. Mereka makan dan sekolah dari hasil kebun. Mereka hanya mengandalkan sawit untuk hidup. “Berat, Mbak, saat itu saya masih kecil dan tidak ada yang ngajari kita. Jadi, kita mau makan dan sekolah, ya, harus jual kelapa dulu agar bisa jadi duit,” tegasnya. Tak ada yang mendampingi mereka dan memberi kasih sayang. Ibu Tukinah merasa bapaknya tak hadir langsung dalam pengasuhannya.

Saat dewasa, ibu Tukinah bekerja di sebuah pabrik di Jambi. Di sinilah ia mengenal Maryanto dan memutuskan untuk menikah dengannya. Pernikahannya dengan Maryanto membuat ia meninggalkan kota kelahirannya. Hal ini bukan hal yang mudah baginya. Karena tak ingin jauh dari Tukinah, bapaknya sempat tidak setuju. Dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain, ibu Tukinah memang cukup dekat dengan bapaknya.

Ibu Tukinah memilih untuk hidup bersama keluarga barunya, yakni pasangan yang ia nikahi di Jambi, 15 tahun yang lalu. Empat bulan setelah menikah, ibu Tukinah diboyong suaminya ke Jawa, tepatnya di Dusun Manggung, Ngalang, Gedangsari. Tak mudah baginya untuk beradaptasi di Jawa. Lama hidup di Sumatra membuatnya lebih banyak memegang budaya di sana. Keputusannya menikah dengan Maryanto membuatnya perlu belajar banyak tentang budaya Jawa. Tukinah lebih mudah beradaptasi dengan budayanya dibandingkan dengan bahasanya. “Saya tak bisa bahasa Jawa tapi mengerti jika orang ngomong (bahasa) Jawa,” jelas Tukinah.

Nilai-nilai Jawa tidak jauh berbeda dengan nilai yang dipegang masyarakat Jambi. “Perempuan, ya, di dapur, Mbak, pokoknya yang di belakang, neng mburi. Urusan macak, masak, manak[2]. Itu yang orang-orang bilang. Saya melihat masyarakat sini tak jauh beda dengan (masyarakat) Sumatra.” Pandangan ini membuat Tukinah menurut pada kata bapak, juga suaminya.

Sebagai seorang perempuan yang memutuskan untuk menikah, ia mempunyai harapan yang tinggi terhadap pernikahan itu, yakni hidup bahagia bersama pasangan yang telah dipilihnya. Ia membayangkan keluarga yang indah dan hidup bersama anak-anak yang didambakan, menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahmah seperti janji yang mereka ucapkan di pelaminan kala itu. Namun, kenyataan tak selalu seindah mimpinya. Dalam membangun bahtera keluarga, perjalanan ibu Tukinah penuh liku dan tantangan. Akhirnya, bagi ibu Tukinah, pernikahan adalah belajar tentang kehidupan.

“Plak! Plak! Tangan itu tiba-tiba terhempas di hadapanku. Itu yang pernah terjadi saat kami sedang cekcok, Mbak,” kata ibu Tukinah. Tamparan ini adalah salah satu kekerasan yang didapat Tukinah dari pasangannya. Menurutnya, sang suami berwatak keras, temperamental, dan mudah marah. “Nek marahan kita adu cangkem[3], habis itu barang-barang dibantingi bojoku,” tegasnya. Hal ini juga diungkapkan bapak Maryanto, “Saya orangnya egois, Mbak, temperamental. Nek pas lagi ngamuk, ya, apa yang ada di sekelilingku habis.” Sifatnya yang egois dan mudah marah terhadap masalah tertentu membuat dia biasa melakukan kekerasan terhadap istri. “Tujuh HP habis di tangan pas kalau bertengkar dengan istri,” jelas Maryanto. Ketika anak rewel, ia marah-marah. Sifat itu membuat anak pertamanya tidak begitu dekat dengannya.

Kondisi ini semakin rumit saat Maryanto mempunyai selingkuhan. “Ya, saya marah, Mbak. Perempuan mana yang mau digitukan?” ungkap ibu Tukinah saat kami bertemu di rumahnya, “Sejak saat itu saya tidak pernah mau diajak ngobrol, perilaku suami yang keras dan sering bentak-bentak membuat saya semakin menderita sebagai perempuan. Sekarang, kalau dia marah, ya, saya ikut marah. Kalau dia mukul, ya, saya ikut mukul. Saya tak mau direndahkan. 12 tahun saya menurut dan patuh padanya, tapi apa yang saya dapat? Saya kecewa dan belum bisa memaafkan, Mbak,” cerita Tukinah. Hal ini yang membuat ibu Tukinah ingin memperbaiki keluarga, demi anak-anaknya, “Sebagai bapak dari anak-anakku, saya ingin suami saya berubah.” Makanya ia senang bisa sharing dan terlibat dalam pertemuan ibu-ibu. Ia bisa cerita dan berbagi pengalaman, sekaligus mendapatkan solusi tentang persoalan keluarganya.

Bagi saya, harapan ibu Tukinah adalah harapan seorang perempuan, istri, sekaligus ibu yang menginginkan pasangannya menjadi orang yang lebih baik. Pikirku, “berat mungkin, program yang berjalan kurang lebih setahun bisa mengubah perilaku kekerasan.” Obrolan-obrolan ini menjadi beban sekaligus tantangan bagiku. Saya pun teringat ibu saya yang juga mengalami kekerasan dari bapak. Hal ini yang membuat saya terpanggil menolong perempuan-perempuan yang pernah mengalami kekerasan.

Keinginan ini mungkin bukan hanya keinginan Tukinah tapi juga keinginan banyak perempuan lain yang mengalami hal yang sama. Banyak perempuan yang tidak bisa bercerita, bahkan tidak tahu, bahwa dirinya sedang mengalami kekerasan. Banyak perempuan yang belajar tentang tafsir agama—bahwa laki-laki harus dipatuhi, laki-laki adalah pemimpin utama—sehingga mempengaruhi relasi dengan pasangannya. Hanya sedikit perempuan yang melaporkan kekerasan yang ia alami karena tidak tahu melapor ke mana atau bercerita kepada siapa. Juga anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan ruang privat yang tak patut melibatkan orang lain. Banyak perempuan yang tidak berdaya dan hanya bisa menggantungkan harapan bahwa suatu saat suaminya akan berubah.

Data Rifka Annisa membuktikannya, 90 persen perempuan yang mengalami KDRT kembali kepada pasangannya dengan harapan pasangannya berubah. Kenapa ini bisa terjadi? Karena banyak perempuan yang bergantung secara emosional pada pasangannya. Anggapan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama, juga mempengaruhi situasi ini. Karena perempuan tidak bekerja, ia tidak bisa hidup tanpa suaminya. Alasan lainnya adalah anak-anak. Ia tak rela anaknya diejek dan ditanya teman-temannya, “Bapakmu mana?” Selain itu, ia tak mau menjadi janda karena stigma negatif terhadap janda. Janda sering dianggap sebagai perempuan penggoda, perempuan yang gagal rumah tangganya. Ia memilih bersama pasangannya meskipun hidup dalam hubungan yang penuh kekerasan.

Berbeda dengan ibu Tukinah, ia mempunyai kesempatan untuk bekerja dan memperkuat ekonomi keluarga. Setelah beberapa kali terlibat dalam kegiatan Rifka Annisa, pandangannya tentang perempuan berubah. Saat ini ia menyadari bahwa perempuan tidak hanya mengurus pekerjaan rumah, ia juga bisa bekerja dan mencari uang untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Perempuan sama-sama punya kesempatan untuk mengembangkan diri. “Sebagai perempuan, saya tak mau direndahkan lagi,” tegasnya.

Seperti halnya ibu Tukinah, pak Maryanto juga selalu mengikuti diskusi, bahkan ia datang paling awal. Ia menyadari bahwa ia adalah pelaku kekerasan. Ia ingin mengubah perilaku tersebut sedikit demi sedikit. Kesadaran ini yang menyulut semangatnya untuk belajar dan tak pernah absen mengikuti kegiatan Rifka Annisa.

Awalnya, sebelum mengikuti diskusi, ia merasa tidak ada masalah dengan kekerasan yang ia lakukan. Hal itu wajar ketika terjadi konflik keluarga. Ia pun mempunyai pandangan bahwa sudah menjadi tugas istri untuk melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menyapu, dan mengasuh anak. “Saya tidak pernah membantu istri di dapur,” paparnya, “Ketika istri berangkat bekerja atau sibuk dengan aktivitas di dapur, saya masih di tempat tidur.” Ia beranggapan tugas laki-laki hanya mencari uang.

Kini, ia mulai menyadari bahwa pekerjaan domestik tidak semata-mata tugas istri. “Itu merupakan pekerjaan bersama,” jelas pak Maryanto saat diskusi. Ia sekarang juga lebih dekat dengan anaknya. Kalau dulu ia lebih banyak menolak ketika istri memintanya untuk menjaga anak-anak, sekarang ia sering mengajak mereka bermain dan jalan-jalan. Ibu Tukinah mempertegas hal itu. “Bapaknya sekarang lebih dekat dengan anak-anak,” tegasnya.

Bagi Maryanto, kesadaran ini tidak datang dengan sendirinya. Banyak faktor yang membuat ia berubah, antara lain pasangan yang mau terbuka dan komunikasi yang lebih efektif. Sekarang mereka lebih sering mengkomunikasikan apa pun yang mereka rasakan, baik hal-hal yang disukai maupun tidak disukai pasangan. Ia merasa bahwa hubungan dengan pasangannya kini lebih dekat dan tumbuh rasa saling menghargai untuk membangun relasi yang sehat. Selain oleh pasangannya, Maryanto merasa bahwa perubahan ini juga didorong teman-teman Rifka Annisa, salah satunya Thonthowi selaku fasilitator diskusi kelas ayah di Desa Ngalang. Baginya, proses menyadari perilaku kekerasan berangkat dari proses refleksi yang dilakukan terus-menerus saat diskusi. Menurutnya, Thonthowi sangat berperan dalam proses perubahannya. Untuk mewujudkan itu mereka sama-sama membangun kepercayaan lagi. Meski agak berat bagi ibu Tukinah, ia melakukan ini demi anak-anaknya. Kisah keluarga ini menjadi pembelajaran bagi saya, bahwa seseorang belajar dari orang terdekatnya, belajar menjadi laki-laki dan perempuan dari keluarga, ayah-ibu, tetangga, dan masyarakat di sekitarnya. Akhirnya saya memahami, seseorang bisa menjadi korban sekaligus pelaku kekerasan. Proses ini tidak berdiri sendiri. Demikian yang terjadi pada pasangan Tukinah dan Maryanto, mereka memulai perubahan ini bersama, juga dengan teman, keluarga, dan lingkungan sekitar.


[1] Tradisi perayaan gugur gunung yang dilakukan setiap tahun.

[2] berdandan, memasak, beranak

[3] Kalau lagi marahan, kita beradu mulut

Wednesday, 08 March 2017 13:43

Tiada henti, badai derita menimpa rumah tanggaku hingga aku jungkir balik menyelesaikannya. Aku menikah dengannya pada tahun 2001. Sejak awal menikah, suamiku adalah seorang pecandu narkoba. Namun aku tetap mencintainya walau ia sempat masuk jeruji besi.

Selepas ia keluar dari penjara, ia sudah tidak menafkahiku dan anak-anaknya secara layak sehingga aku nekad berdagang. Bahkan ia membatasiku dalam bergaul terutama setelah aku mempunyai handphone Android. Ia selalu cemburu padaku karena aku telah memiliki akun facebook dan aku suka aktif like-comment status fb teman-temanku. Dan suamiku menuduhku berselingkuh dengan teman-teman lamaku.

Aku selalu berusaha coba jelaskan fakta sesungguhnya pada suami. Tapi ia tetap tidak percaya. Tiba-tiba, ia mau memaafkanku asal aku mau tidur bersamanya. Memang sudah kewajibanku untuk melayani suami dalam segala hal sepanjang itu adalah baik. Namun, dua hari setelah aku tidur bersamanya tiba-tiba keponakanku dari Jakarta mengirim pesan via WA kepadaku dan menyuruhku untuk melihat facebook suamiku. “Astaga”, aku shok. Aku tak percaya. Aku tak menyangka akan perbuatan suamiku itu. Aku lihat ada beberapa foto telanjangku di facebook-nya yang ia lengkapi dengan kata-kata “tante-tante pelacur dan penipu”. Aku gak bisa bayangin berapa ribu orang yang melihat foto tersebut termasuk keluarga besarku.

Tak hanya di akun fb, bahkan ada nomor tak dikenal yang masuk ke WA-ku dan mengecamku sebagai perempuan tak punya malu. Aku tak mau orang lain berpikir miring tentang aku. Aku pun jelaskan semua itu pada mereka karena aku tak mau hal itu berlanjut. Aku kembali berdialog dengan suamiku di fb dan aku share foto keluargaku di akun fb suamiku. Harapanku, semoga orang lain yang melihat foto-foto itu tahu bahwa aku adalah istri suamiku.

Masalah baru pun datang. Anakku memarahiku karena ada wajahnya di foto keluarga itu. Keluarga besarku semua pun menelponku dan menanyakan apa yang terjadi. Aku sampaikan bahwa aku ingin berpisah dengan suami dan aku ingin melaporkannya ke polisi. Namun, bercerai bukan solusi utama untuk menyelesaikan masalah ini karena pernikahan kami tidak dicatatkan di kantor catatan sipil dan kami hanya menikah di gereja. Aku pun memilih melaporkannya ke POLDA DIY dengan alasan pencemaran nama baik atas cyber crime. Sementara itu, kakak iparku terus menerus membujukku untuk mencabut laporan tersebut. Dan akhirnya, aku pun mencabut laporan itu demi anak dan keluarga. * Sebagaimana diceritakan kepada Purnawati, Relawan Divisi Pendampigan Rifka Annisa.

Dari cerita tersebut kita dapat pembelajaran bahwa kekerasan itu seperti siklus yang berputar. Dan kekerasan ini akan terjadi secara terus menerus ketika siklus atau rantai kekerasan tersebut tidak diputus. []

46338938
Today
This Week
This Month
Last Month
All
3286
12746
191183
306641
46338938