Bagaimana Korupsi Memperburuk Nasib Perempuan? Featured

Written by  Syaima Sabine F Tuesday, 13 December 2022 15:53

Korupsi merupakan tindakan pengalihan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi. Tindakan tersebut bukan sebuah praktik yang apolitis, melainkan merupakan bagian dari kontestasi kekuasaan untuk mendominasi sumber daya publik. Penguasaan ini bukan sekadar tindakan untuk memperkaya diri, melainkan juga untuk mempertahankan dominasi ekonomi, sosial, dan politik. Dalam praktiknya, korupsi senantiasa melibatkan koruptor sebagai aktor yang memiliki kewenangan. Kewenangan ini yang kemudian disalahgunakan untuk mengalihkan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, sehingga  menimbulkan korban dalam jumlah besar. Terlebih, korupsi ini juga tidak hanya terjadi di wilayah negara, tetapi juga di sektor swasta hingga civil society. Artinya, korupsi terjadi di berbagai level, yang mana dapat memberi dampak pada beragam aspek kehidupan masyarakat.

Adapun di antara korban, terdapat perempuan yang secara sosial dan ekonomi termarginalisasi, sehingga korban dari korupsi yang paling parah adalah perempuan. Dengan kata lain, korupsi memperburuk kondisi perempuan yang dalam masyarakat menduduki tempat paling bawah di stratifikasi sosial melalui praktik korup yang menghilangkan hak-hak dasar untuk hidup dan mempertahankan hidup. Hal ini telah terjadi sejak lama, seperti yang dipaparkan  NGO anti korupsi Transparency International pada tahun 2000 dalam press release-nya, yang menyatakan bahwa perempuan lebih banyak dirugikan dalam sistem yang korup dibandingkan dengan laki-laki.

Sebagai contoh, sebagaimana dipaparkan oleh Organisasi Saya Perempuan Antikorupsi  (SPAK) Indonesia, tindakan korup terhadap dana kesehatan menimbulkan akses informasi tentang kesehatan reproduksi tertutup. Di samping itu, juga membuat biaya pemeriksaan dan harga obat menjadi tinggi. Pada 2012, hal ini berimplikasi pada angka kematian ibu di Indonesia yang mencapai 359 per 100.000 ibu hamil/melahirkan, yang sekaligus merupakan angka kematian tertinggi di kawasan Asia Tenggara. 

Kasus lain disebabkan oleh adanya praktik pungutan liar terhadap biaya pernikahan dan pengurusan akta nikah yang membuat proses menjadi mahal. Hal ini menyebabkan banyak pasangan memilih menikah secara adat/agama. Padahal, perkawinan yang tidak tercatat mengakibatkan perempuan mudah menjadi korban kekerasan dan penelantaran. Di samping itu, juga menyebabkan sulitnya memperoleh akta kelahiran bagi anak. 

Penyelewengan kekuasaan dalam bentuk lain juga terjadi di Subang dan Indramayu, yakni praktik maladministrasi dengan memanipulasi KTP anak-anak perempuan berusia 14 tahun menjadi 19 tahun untuk kemudian dijual ke Batam hingga Pekanbaru. Tindakan maladministrasi sebagai bagian dari praktik korupsi yang mengandung unsur eksploitasi ini membuat perdagangan anak perempuan merajalela dan tidak terkendali. 

Di samping itu, maladministrasi ini memiliki berbagai bentuk, yang mana juga melibatkan aparat penegak hukum (APH) dalam praktiknya. Berdasarkan data pengaduan perkara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama tiga tahun terakhir yang diwartakan Republika.co.id (2022), laporan terkait tindak pidana korupsi paling banyak berasal dari hakim, yakni sejumlah 25 orang—yang mana lebih tinggi dari laporan korupsi oleh kejaksaan dengan jumlah 11 orang, dan kepolisian dengan jumlah 3 orang. Salah satu kasus korupsi oleh APH adalah yang dilakukan oleh Hakim Agung Gazalba Saleh, yang disebut KPK kerap memotong vonis koruptor. Pemotongan vonis yang dijatuhkan Gazalba antara lain adalah saat mengadili mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Bersama Sofyan Sitompul, Gazalba menyunat hukuman Edhy Prabowo dari 9 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara karena Edhy sudah bekerja dengan baik sebagai menteri. Adapun hakim agung Sinintha Sibarani menolak sunat vonis itu dan memilih mengajukan dissenting opinion, sebagaimana dilaporkan oleh Detik.com (2022). Dalam kajian lebih lanjut, tidak menutup kemungkinan bahwa kasus maladministrasi oleh APH demikian juga dapat terjadi pada penanganan kasus perempuan korban kekerasan berbasis gender. Maladministrasi oleh lembaga layanan publik ini dalam bentuk penyuapan, misalnya, dapat dilakukan oleh pelaku kekerasan kepada APH untuk menguntungkan dirinya. Dengan demikian, proses pelayanan perempuan korban kekerasan berbasis gender tidak dapat mencapai pemenuhan hak korban sebagaimana mestinya dan posisi korban kekerasan dirugikan.

Adapun kekerasan sedemikian rupa tidak terlepas dari adanya berbagai diskriminasi yang dikenakan terhadap perempuan yang membuat perempuan secara ekonomi dan sosial tertinggal dibandingkan dengan laki-laki. Misalnya, menempatkan perempuan pada sektor domestik yang dipandang tidak produktif dan laki-laki pada posisi sebaliknya, yang juga mendorong perempuan di objektifikasi. Sehingga, perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berkembang. Situasi tersebut pada gilirannya membuat perempuan tidak mampu mendorong pemerintah untuk akuntabel dan memberikan pelayanan terhadap hak-hak mereka. Korupsi memberikan dampak buruk terhadap perempuan karena rendahnya tingkat ekonomi dan secara politik tidak berdaya, sehingga tidak mampu mengubah status quo untuk memberikan pelayanan dasar yang merupakan hak perempuan.

Di luar itu, dampak korupsi terhadap perempuan tidak berhenti di sini saja. Dalam prosesnya, tindak korupsi dilakukan melalui lobi-lobi politik antar aktor yang melibatkan perempuan sebagai imbalan, yang sekaligus merupakan tindak kekerasan seksual melalui pemerasan. Pelibatan perempuan di sini terjadi dengan menggunakan seksualitas perempuan untuk di objektifikasi—meskipun mengingat ragam fenomena seksual yang ada, tidak menutup kemungkinan dimanfaatkannya pula laki-laki sebagai objek seksual. Kondisi demikian antara lain didorong oleh budaya patriarkis dalam masyarakat, yang umum melakukan objektifikasi terhadap tubuh perempuan. Dalam situasi ini, laki-laki menduduki posisi dominan dalam berbagai aspek kehidupan. Adapun dalam konteks tindak pidana korupsi, sebagaimana dijelaskan dalam Jurnal Perempuan (2012), didapati bahwasanya mayoritas pelaku korupsi adalah laki-laki. Hal ini disebabkan karena sebagian besar kekuasaan di sektor publik dikuasai oleh laki-laki. Sehingga, mendorong perempuan menjadi korban yang tidak berdaya dalam praktik tindakan korupsi.

Adapun bentuk kekerasan seksual dalam praktik korupsi ini antara lain adalah sekstorsi dan atau gratifikasi seksual. Sekstorsi atau pemerasan seksual merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan seksual—sering kali terjadi sebagai imbalan atas layanan publik, seperti layanan kesehatan dan pendidikan. Dalam isu korupsi, pemerasan seksual ini merupakan diskursus baru. Menegaskan hal tersebut, Transparency International dalam laporan Global Corruption Barometer Asia 2020 memasukkan pemerasan seksual sebagai indikator baru sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan seksual. Sekjen Transparency International Danang Widoyoko menerangkan, dalam konteks Indonesia, kasus pemerasan seksual lebih dicatat sebagai pelecehan seksual, bukan masuk ke pasal pemerasan dan korupsi. Padahal, fenomena ini telah masuk pada unsur-unsur tindak pidana korupsi. Selama ini, bentuk korupsi seperti pemerasan, dan penyuapan selalu masih hanya dikaitkan dengan hal finansial. Artinya, kerugian yang ditimbulkan oleh korupsi tidak hanya terbatas pada harta kekayaan negara dalam bentuk uang. Melainkan, faktanya terdapat penyelewengan kewenangan dalam bentuk pemerasan yang mengobjektifikasi perempuan. Sebagaimana ditemukan oleh riset Global Corruption Barometer Asia 2020, adapun Indonesia yang menempati urutan pertama kasus sekstorsi tertinggi di Asia.

Kemudian, gratifikasi seksual diartikan sebagai pemberian jasa berupa layanan seksual sebagai hadiah yang bermaksud untuk mempengaruhi suatu kebijakan atau objektivitas penyelenggara negara dalam jabatannya. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 2013 dalam Catahu-nya juga turut mencatat gratifikasi seksual yang terjadi di Indonesia, yang mana wacana tersebut muncul dari kasus tindak pidana korupsi sapi impor. Kasus tersebut membuka fenomena gunung es gratifikasi seksual yang dilakukan oleh laki-laki penyelenggara negara. Gratifikasi seksual diberikan pemilik modal untuk memuluskan kemenangan tender proyek di lingkungan penyelenggara negara. Modus yang dilakukan pun beragam, mulai dari pemilik modal yang menyediakan jasa pekerja seks saat lobi tender berlangsung, hingga penggunaan uang hasil korupsi guna membayar jasa profesional yang dilakukan oleh perempuan (baik sebagai artis, pekerja seks, dan lain-lain). 

Dalam kondisi ini, perempuan ditempatkan dalam pusara gratifikasi seksual guna mengaburkan hasil tindak pidana korupsi atau yang lebih dikenal dengan pencucian uang (money laundering) oleh pelaku tindak pidana korupsi, yang antara lain merupakan suami, teman dekat, maupun hubungan profesional dengan perempuan korban. Selain itu, juga muncul pola pengaburan barang bukti dengan modus menikahi banyak perempuan atau poligami. Bahkan, sebagaimana diwartakan Tempo.co (2013), dalam satu kasus, pernikahan kedua, ketiga, dst., pelaku tindak pidana korupsi tidak diketahui oleh istri pertama dan mengaku berstatus lajang. Padahal, syarat sah untuk seorang laki-laki dapat melakukan poligami adalah adanya persetujuan dari istri pertama. Atas tindakan tersebut, pihak berwenang hanya menjatuhkan sanksi organisasi, bukan sanksi pidana dimana terjadi kejahatan perkawinan di dalamnya.

Pengaburan barang bukti hasil korupsi juga dilakukan dengan pemberian barang (mobil, perhiasan, maupun aset tidak bergerak lainnya) yang diberikan kepada pasangan mereka. Banyak dari perempuan korban yang tidak tahu-menahu asal aset tersebut, tetapi mereka justru harus berhadapan dengan hukum karena menerima hasil tindak pidana pencucian uang. Selain itu, dampak yang ditimbulkan adalah penyitaan aset hasil tindak pidana pencucian uang, sehingga perempuan menanggung biaya hidup dirinya, suami serta anak-anaknya sendiri selama suami mereka berada di dalam tahanan.

Di samping itu, penyelewengan kekuasaan yang turut merugikan korban kekerasan berbasis gender akan sulit hilang selama praktik korupsi sendiri masih bergulir. Sementara, peringkat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dari waktu ke waktu tercatat tidak menunjukkan perubahan signifikan. Dari skor 100, di mana angka 0 menunjukkan kondisi sangat korup, sementara 100 menunjukkan sangat bersih, di lingkup Asia Pasifik, pada 2019 Indonesia berada pada skor 40/100. Tahun berikutnya, skor ini turun 3 angka, di mana Indonesia memiliki skor 37/100. Terbaru, pada 2021, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya naik 1 skor menjadi 38/100.

Oleh karenanya, penyadaran bagi publik mengenai posisi perempuan yang rentan menjadi korban dalam tindakan korupsi menjadi penting untuk diupayakan. Ini merupakan langkah awal untuk menginternalisasi nilai gender dalam isu korupsi, mengingat perlunya penghapusan objekifikasi terhadap perempuan dalam bentuk apapun. Adapun dalam jangka panjang, upaya ini dapat membangun pemberdayaan bagi perempuan.

 

Sumber Referensi

Artikel Jurnal Perempuan Edisi 72: Berantas Korupsi “Gender dan Korupsi: Mencari Titik Temu antara Gerakan Anti Korupsi dan Gerakan Perempuan” oleh Danang Widoyoko (2012)

Publikasi Cetak oleh “Saya, Perempuan Anti Korupsi!” dari Komisi Pemberantasan Korupsi dan Australia Indonesia Partnership for Justice

Publikasi Riset “Global Corruption Barometer Asia 2020” oleh Tim Transparency International Indonesia (2020)

Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2013 “Kegentingan Kekerasan Seksual: Lemahnya Upaya Penanganan Negara” oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2014)

Read 8632 times Last modified on Friday, 28 July 2023 22:39
46784549
Today
This Week
This Month
Last Month
All
63
19206
292916
343878
46784549