Pada penghujung tahun 2004, tepatnya tanggal 14 September, terjadi peristiwa penting dalam legislasi nasional Indonesia, yakni dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 23/tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan disahkannya undang-undang tersebut, maka Indonesia berada dalam jajaran negara-negara di dunia yang memiliki instrumen dalam negeri untuk penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Namun demikian, belum menjamin bahwa kekerasan dalam rumah tangga menjadi tereliminir dengan segera dan perempuan menjadi terbebas dari kekerasan yang dialami, karena operasionalisasi UU memerlukan sinergisistas dari kekerasan yang dialami, baik itu di tingkat substansi UU nya (isi materi UU), struktur hukumnya (para aparat pelaksana penegakan UU), serta budaya hukumnya (masyarakat dan penerima manfaat). Demikian halnya dengan implementasi UU No. 23/Th 2004 ini, yang domain atau focus kejadiannya ada dalam setting rumah tangga.
Kini, pemberlakuan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah memasuki tahun ke-5. Jika menilik lamanya pemberlakuan ini, seharusnya UU ini telah membawa dampak positif bagi perempuan, yakni perempuan semakin terlindungi, sebagaimana landasan filosofi UU ini. Namun, apakah benar perempuan sudah terlindungi dengan UU ini? Kiranya penting untuk melihat kembali pemberlakuan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Indonesia. Untuk menarik pembelajaran apa yang seharusnya dipertahankan dan apa yang perlu dibenahi serta untuk selanjutnya merumuskan langkah-langkah kebijakan untuk memperkuat pemberlakuan UU tersebut di Indonesia.