Rifka Annisa bekerja sama dengan UNTrustfund dan tiga mitra program (KKTGA-Aceh, LBH APIK Jakarta dan LBHP2I-Makasar) mengadakan penelitian awal. Hasilnya dibahas dalam semiloka 20—31 Mei 2013 yang berjudul Integrasi UU no 23 tahun 2004 tentang KDRT dan UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak ke dalam lembaga perkawinan Islam (Lembaga peradilan agama, KUA, BP4). Penelitian ini menggunakan beberapa 4 metode yaitu analisis hasil putusan Pengadilan Agama, wawancara klien mengenai layanan terhadap perempuan korban, wawancara institusi penyedia layanan terhadap perempuan korban dan kursus calon pengantin (suscatin), dan kuesioner yang disebarkan di komunitas di empat kota (Aceh, Jakarta, Gunung Kidul, dan Makasar).
Hasil dari penelitian ini adalah Sekitar 50% (Makasar)—67% (Jakarta) remaja dampingan mengaku pernah membaca artikel dan leaflet mengenai KDRT dan lebih sedikit lagi yang pernah mengikuti pelatihan, seminar terkait. Pengetahuan mengenai UUPKDRT juga kami tanyakan. Sekitar 54% (Makasar)—77% (Jakarta) mengetahui bahwa tidak memberi nafkah terhadap istri adalah kekerasan sesuai dengan UUPKDRT dan 65% (Makasar)—92% (Gunung Kidul). Suscatin dilakukan dengan cara ceramah dan diskusi non formal. Salah satu yang menarik adalah ditemukannya praktek suscatin dilaksanakan baik sebelum maupun setelah akad nikah. Kursus/konsultasi setelah pernikahan dilakukan secara informal, atas inisiatif pengguna dan petugas KUA. Konsultasi perkawinan dapat melalui SMS ataupun telepon langsung ke KUA. Cerai gugat (74%) lebih tinggi dibandingkan cerai talak (26%). Sebagian besar perkara cerai gugat diputuskan secara verstek (75%) yang berarti tanpa kehadiran tergugat.